Senang bukan kepalang saya, seperti sosialita yang baru saja ngelunasin cicilan berliannya. Setelah terancam gagal berangkat karena terkena cacar air dan sempat kehilangan dompet, ujian yang berturut-turut tadi sekejap hilang diseka hiruk-pikuk suara di kepala saya di tengah perjalanan menuju Johannesburg, Afrika Selatan. Saya merasa beruntung. [caption id="attachment_267852" align="alignnone" width="240" caption="Tiket Pesawat - foto: koleksi pribadi."][/caption] Siapa yang bakal rela melepaskan kesempatan terbang gratis dengan Singapore Airlines, emaknya Silk Air, ke tujuan eksotis di belahan dunia nun jauh di sana? Iya, gratis!!! Kali ini nggak ikutan kuis, tapi perusahaan tempat saya bekerja cukup baik untuk memperbolehkan saya pergi mengunjungi salah satu kantor cabang di Afrika. Saat pesawat take off, waktu menunjukkan pukul 02:00 pagi – waktu yang memang umum untuk mayoritas penerbangan menuju Johannesburg. Setelah sempat tertidur, saya dibangunkan oleh sentuhan lembut pramugari yang menawarkan makanan dan minuman. Perut saya pun siaga satu. Saya lapar... Sembari berusaha memasukkan potongan turkey sandwich dan roti secara simultan (karena semuanya terasa lezat), saya iseng berpikir mana yang lebih menegangkan antara ditodong penjahat dengan pistol di pelataran jalan dekat Nelson Mandela Square atau dikepung gerombolan singa di Kruger National Park. Apapun itu, saya bukanlah pelari yang tangguh. Sepuluh jam berlalu dan akhirnya kami tiba di OR Tambo International Airport, Johannesburg. Nggak ada agenda khusus hari ini selain memperjuangkan penyesuaian jam biologis melawan jetlag akibat perbedaan waktu 5 jam dan mencoba istirahat. Yah, namanya juga perjalanan dinas, harus lebih santai dan fokus dengan kerjaan. Hanya saja berhubung keesokan harinya masih libur kami memutuskan untuk melakukan SAFARI!!! Nggak afdol ke bumi Mandela kalo melewatkan aktivitas yang bisa dibilang menguji adrenalin ini meskipun pada kenyataannya safari tur kami tergolong kelas menengah. Dijemput sopir di hotel dengan van ber-AC dan pake acara bawa bekal kayak anak SD pulak. Yah, perusahaan tentunya nggak ngirim kita jauh-jauh untuk jadi santapan cheetah juga kali.... Saat itu udara cukup bersahabat sekitar 20-25 derajat celcius yah mungkin kayak udara di Bandung lah. September merupakan bulan transisi atara musim dingin dan musim semi jadi matahari bersinar cukup terang namun masih terasa udara dingin sisa musim dingin. Berhubung hotel kami berada di area bandara jadilah butuh 3 jam untuk mencapai Pilanesberg National Park – salah satu dari banyak taman nasional yang menyediakan fasilitas safari. [caption id="attachment_267859" align="alignnone" width="240" caption="Township - foto: koleksi pribadi."]
[/caption] Kiri-kanan kulihat saja...banyak township – perumahan beratap seng tempat penduduk kurang mampu bernaung. Meskipun Afrika Selatan telah menerapkan BEE (Black Economy Empowerment) yang mengharuskan pengusaha untuk menyediakan kuota tertentu bagi warga kulit hitam di perusahaannya, namun ini belum bisa mengangkat tingkat ekonomi untuk mayoritas penduduk kulit hitamnya. Tingkat kriminalitas tinggi, tingkat pendidikan rendah, dan KORUPSI merupakan tantangan terbesar pemerintah. Belum lagi ditambah masuknya warga kulit hitam dari negara Afrika lainnya ke Afrika Selatan. ”Kita mungkin senasib”, batin saya. [caption id="attachment_267860" align="alignnone" width="240" caption="Compound - foto: koleksi pribadi."]
[/caption] Selang beberapa kilometer, pemandangan berganti menjadi fondasi perumahan dan mall sedang dalam tahap pembangunan. Ya, fakta berkata bahwa Johannesburg merupakan kota terkaya di Afrika sebagai penyimpan kekayaan alam emas, platina, dan berlian. Kekayaan Johannesburg menarik investor sebagai ladang mencari peluang bisnis. Lalu ada juga compund – kompleks perumahan mewah yang dikelilingi tembok bata tinggi dengan kawat listrik di atasnya, lengkap dengan pos sekuriti di pintu masuknya. ”Rumah saya baru saja dirampok...tv dan laptop anak saya raib” kata rekan kerja saya yang tinggal di salah satu compound di Johannesburg. Dia penduduk asli Johannesburg – bule. ”Bagaimana bisa? Maksud saya, mungkin nggak masalah melompati tembok, tapi lompat tembok dengan tv dan laptop?”, tanya saya heran. ”Ya, namanya juga usaha, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Coba saja waktu itu ada senjata api di tangan saya”, katanya berang. Oya, dalam kasus ini penembakan dapat dibenarkan – dengan alasan pembelaan diri – asalkan terjadi di dalam rumah di empunya senjata. Dia juga menambahkan bahwa polisi tidak bisa berbuat banyak dengan alasan ”Tempat Kejadian Perkara” sudah berubah saat mereka tiba. Memang banyak peringatan ditujukan pada turis sehubungan dengan keamanan di Johannesburg. Kota ini bukanlah tipikal kota di mana kita bisa ber-eksperimen layaknya ”Lost in Translation”, apalagi untuk wanita. Katanya penodongan bersenjata mungkin terjadi bahkan di tempat-tempat umum. Ini sedikit banyak terbukti saat saya mampir di toko suvenir lokal – serombongan warga kulit hitam berbadan besar bemuka sangar sontak menawarkan dagangannya dengan sedikit memaksa. Dengan menggunakan keteguhan hati dan bacaaan ayat-ayat suci, akhirnya saya berhasil menolak tawaran mereka tanpa sedikitpun luka bacok di tubuh ini. Agak traumatis memang.... [caption id="attachment_267863" align="alignnone" width="240" caption="Pilanesberg National Park - foto: koleksi pribadi."]
[/caption] Tapi sudahlah. Kami pun tiba di Pilanesberg National Park dan memulai ”perburuan kamera”. Biasanya target sebuah safari adalah menemukan the Big Five, yaitu singa, gajah, badak, kerbau Afrika, dan leopard. Sedikit pesimis karena kami tiba di siang hari yang cukup terik sedangkan singa dan leopard terkenal cukup malas untuk berkeliaran pada waktu seperti ini. [caption id="attachment_267864" align="alignnone" width="240" caption="Jerapah - foto: koleksi pribadi."]
[/caption] Di pintu masuk, kami sudah menemukan impala, hewan sejenis antelop atau rusa dengan garis cokelat memanjang di mukanya – mirip make up khas suku Afrika. Tidak lama kemudian mobil kami hentikan untuk mengambil foto seekor jerapah yang kebetulan sedang makan siang di pohon dekat jalur safari kami. [caption id="attachment_267865" align="alignnone" width="240" caption="Zebra - foto: koleksi pribadi."]
[/caption] Setiap berhasil menemukan hewan yang berkeliaran, saya dan si bos girang bukan kepalang. Apalagi dari kejauhan kami melihat badak – meskipun hanya pantatnya tapi paling tidak satu dari the Big Five sudah bisa kami contreng. Sekali lagi kami berteriak “Waw!” saat berpapasan dengan zebra – pertama kali bagi saya begitu dekat, begitu nyata dengan warna hitam-putihnya yang berkilau indah di bawah terpaan sinar matahari. Di area danaunya, terlihat springbok – sekilas mirip dengan impala – yang bisa dibedakan dengan melihat model tanduk penjantannya. Mereka nggak sendiri. Ada kuda nil, buaya, segerombolan impalan, zebra, wildebeest. Kata Mas sopir, zebra biasanya selalu berdekatan dengan wildebeest sebagai pengalih perhatian karena predator biasanya akan lebih mengincar wildebeest dibanding zebra. Ini namanya temen-makan-temen... Cukup lama berputar-putar, kami dan perut lapar kami beranjak menuju pondok persinggahan di dalam lokasi safari, namanya Zebra Crossing. Sedikit kecewa karena mereka tidak menyajikan menu daging zebra, makanlah kami sambil menikmati hamparan ladang gersang dengan sedikit pohon dan tempat pemandian. Sesekali jerapah, burung unta, dan babi Afrika melintas. Mereka tidak mendekati pondok tempat kami makan karena mereka memang dibiasakan untuk mencari makan sendiri (self feeding) dan pengunjung safari pun tidak diperbolehkan untuk memberi makan hewan-hewan di wilayah taman nasional. [caption id="attachment_267867" align="alignnone" width="320" caption="Leopard - foto: koleksi pribadi."]
[/caption] Saat kami selesai makan, hari sudah mulai sore. Cuaca mulai cukup bersahabat seiring keberuntungan kami menemukan badak, kali ini dari jarak yang cukup dekat. Lalu ada juga segerombolan gajah yang sedang spa pasir dan tak lama kemudian kami bertemu leopard yang asik bergunjing di bawah naungan pohon. Sekitar dua jam kemudian perjalanan dinyatakan berakhir. Hari yang cukup melelahkan selayaknya matahari yang juga mulai lelah bersinar dan siap beristirahat di balik ufuk fajar. Hari ini saya hanya berhasil mencontreng tiga dari the Big Five tapi setidaknya saya mendapatkan banyak pengalaman yang tidak ada dalam daftar – cara bertahan hidup a la Afrika dan satu lagi hal penting... …saya tiba dengan selamat! [caption id="attachment_267868" align="alignnone" width="480" caption="Sunset - foto: koleksi pribadi."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya