Kala itu Ramadhan. Sejak sebelum Subuh sudah ramai di Masjid untuk berjamaah. Hal yang ditunggu adalah petualangan pagi ke pucuk Arjuna. Pagi yang masih basah, kami anak-anak arjuna berlarian mendaki menuju puncak harapan. Kami tak gentar melewati tanaman hutan rimbun, tangan mungil kami menyibak satu persatu hingga celah-celahnya terkuak, dan lebih terang jalan kami.
Sesekali kami menengok ke bawah, tampak hamparan sawah hijau dan atap-atap di rumah di sekitarnya. Pohon kelapa seperti mendominasi pemandangan di bawah, tampak pula dari jauh pria setengah baya sedang bergelayut di atasnya. Kami mengeluarkan suara "ooooi..." mungkin terdengar samar-samar menggema sampai di bawah sana.
Lalu pucuk Arjuna menggoda kita lagi, "cepat, cepat sebentar lagi sampai". Yeay, terlihat ada batu lapak sebutan bagi batu yang lebar di bagian paling puncak. Batu tersebut sangat bermanfaat sehingga kami bisa duduk-duduk bahkan tiduran melepas lelah sambil menikmati pemandangan. Langit yang biru diselimuti awan pagi yang manja. Semilir angin memainkan rambut dan helai pakaian kita, seakan menari mengikuti irama kicauan burung disekitarnya. Di ujung kejauhan tampak hamparan laut yang indah, ombak di bibir pantai meliuk kesana kemari. Fantasi kita melayang, inilah kebesaran Allah. Sebelum pulang kami menyempatkan diri menulis harapan, entah apa itu rahasia masing-masing. Batu lapak menjadi saksi, goresan batu di batu lebar itu akankah tersimpan lama ataukah terkikis waktu.
Kita adalah anak-anak dengan segala kesederhanaan, di tempat yang jauh dari keramaian. Di Puncak Gunung Arjuna ini kita melihat luasnya KebesaranNYA. Mimpi-mimpi terbentang jauh sejauh ombak di bibir lautan itu, yang samar-samar terlihat dari puncak cahaya ini. Ya, puncak cahaya harapan akan esok yang lebih baik. Tentang esok yang gemilang, agar kami bisa mengukir kebanggaan di wajah orang tersayang. Menghela nafas panjang. Mimpi itu akan tersimpan, lalu tawa kami, keceriaan kami membuyarkan angan yang jauh. Turun dari puncak dengan senyum senang. Lelah dan keringat mulai turun karena bumi sudah dicium mesra oleh cahaya matahari pagi. Bersyukur, angin sepoi-sepoi menguranginya. Meski turun puncak, harapan tentang masa depan tak akan surut. Semangat mendaki puncak cahaya, puncak harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H