Matahari terbit dari ufuk timur mengantarkan remang-remang cahaya menuju celah-celah dinding bambu di kamarku. Suara adzan Subuh sudah berkumandang sejak setengah jam yang lalu. Asap dari dapur beraroma masakan melayang menyelinap keluar dari atap kamarku. Mamaku yang sedang memasak mengeluarkan suara lengkingan khasnya.
“Yutiiiiii, banguuuuun....!!”
“Oaaam, masih ngantuk.. eeeh hari ini aku ada ujian praktek olahraga, oh tidaaak” teriakku.
Dengan sigap aku bangun dan berlari menuju gentong coklat yang sudah sedikit berlumut. Di bawahnya ada lubang kecil yang diganjal oleh kayu bulat berukuran 3 cm. Di dalam gentong terdapat air yang khusus digunakan untuk mengambil wudhu, kalau di desaku namanya “padasan”.
***
Jilbab sudah rapi, seragam dengan rok panjang warna biru dan atasan putihku juga sudah rapi. Sandal jepit merek swallow sudah terpasang di kakiku yang mungil. Ya! Aku berangkat sekolah memakai sandal jepit ini, sementara sepatuku kutinggal di sekolah karena perjalanan jauh dan kondisi jalan yang becek serta berembun yang akan menyulitkanku untuk memakai sepatu dari rumah.
-
Suara bergema itu memanggilku, melewati bentangan sawah-sawah suara temanku meliuk memantul sampai ke rumahku. Rumahnya dan rumahku sama-sama berada di perbukitan dan di tengah-tengahnya terdapat daratan rendah yang merupakan areal persawahan sehingga tak ayal membuat suaranya menggema sampai ke rumahku. Lewat celah-celah pepohonan di depan rumahku, aku melihat di kejauhan gadis berkerudung putih itu berdiri di halaman rumahnya.
“Oiiiii, yutiiii ayoo kita berangkaaaaat...” teriaknya
“Yuhuuuuu.. aku sudah mau jalan... ketemu di gerdu yaaa.. “
“okeeeee....” sahutnya.
Di tengah perjalanan sudah ramai dengan murid-murid lainnya. Jika dihitung sekitar 10 orang yang berjalan kaki melewati jalanan setapak dengan pemandangan rumput dan pepohonan di kanan dan kirinya.
Jika berjalan sendiri, maka akan terasa sangat sepi. Hanya kicauan burung yang mengiringi langkah kaki.
Pagi ini terasa ceria, kaki-kaki mungil kami dengan lincahnya berjalan ringan dan mengeluarkan suara tapak khas dari sandal jepit yang kami pakai. Hampir semua mengenakan sandal jepit, bahkan ada dua orang anak laki-laki yang bertelanjang kaki karena sandalnya putus.
Ada yang tertawa cekikikan, ada yang berlari saling mendahului, ada yang dengan seriusnya berjalan sambil membaca buku. Sementara aku berjalan di barisan paling belakang sambil mengamati mereka semua.
Kami melewati hutan yang masih hijau dan sepagi ini tidak ada orang yang lewat selain kami. Pada siang atau sore hari, hanya ada beberapa orang yang mencari kayu bakar untuk memasak atau mencari dedaunan untuk kambing dan sapinya.
Perjalanan kami juga melewati areal perkebunan kacang tanah dan jagung, kemudian areal persawahan, areal lapangan bola, perbukitan yang naik turun, sungai sampai akhirnya sampai di Dusun lain dan di sanalah sekolah menengah kami.
Saat sampai di sekolah, kami sibuk mengganti sandal jepit dengan sepatu. Berlarian menuju kamar mandi dan membasuh kaki agar bersih dan nyaman ketika mengenakan sepatu.
Sandal jepit kami simpan rapi untuk dikenakan kembali saat pulang nanti. Sandal jepit menjadi saksi bagaimana kami meretas harapan dan impian. Sandal jepit menjadi teman sejati langkah berharga kami, hingga kami bisa mengenal dunia.
(kisahku, tahun 2002 di salah satu desa di Kebumen)
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H