Masih ingatkah dengan peristiwa kelam tahun 1965, enam jenderal TNI Angkatan Darat dan satu perwira menjadi korban dari kejinya peristiwa ini yang dilakukan oleh organisasi yang disebut PKI. Tepatnya di Lubang Buaya di daerah Cipayung, Jakarta Timur.Â
Peristiwa yang dikenal dengan sebutan G30S/PKI atau Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia membuat terjadinya krisis nasional sehingga berujung dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno yang menjabat sebagai presiden kala itu, ketika peristiwa tersebut terjadi.Â
Tanggal 30 September 2019, tepat 55 tahun sudah peristiwa itu terjadi dan kelamnya peristiwa itu masih dapat teringat oleh kakek, nenek maupun orang tua kita yang menjadi saksi sejarah saat peristiwa itu terjadi.
Setelah dua sampai tiga hari berlalu ditemukanlah sumur tua itu dengan batang pohon pisang menancap di atasnya, para jenderal ditemukan dalam keadaan mengenaskan dalam sebuah lubang sumur tua yang dalamnya 12 meter dan lebarnya 75 sentimeter.Â
Sumur tua tersebut ditemukan di daerah yang bernama Lubang Buaya. Tempat dengan latar hutan pohon karet yang lebat dan penuh semak belukar menjadikan Lubang Buaya sangat mencekam, ditambah peristiwa kelam G30S/PKI yang menjadi bumbu tersendiri di tempat tersebut.Â
Beberapa tahun berlalu setelah kejadian tersebut, pada tahun 1973 Presiden Soeharto meresmikan tempat yang sekarang dikenal dengan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.Â
Kompleks tersebut berisi antara lain: Monumen Pancasila Sakti, sumur tua tempat para jenderal ditemukan, Museum Paseban, dan Museum Pengkhianatan PKI. Walaupun sudah memiliki nama resmi, beberapa masyarakat sekitar sampai sekarang pun tetap mengenal tempat peristiwa tersebut dengan nama Lubang Buaya.
"Tempat dengan latar hutan pohon karet yang lebat dan penuh semak belukar menjadikan Lubang Buaya sangat mencekam, ditambah peristiwa kelam G30S/PKI yang menjadi bumbu tersendiri di tempat tersebut."
Nama Lubang Buaya sendiri bukan muncul karena disebabkan peristiwa berdarah tersebut, melainkan karena adanya cerita turun-temurun warga setempat, dulu banyak warga tinggal di bibir sungai dan ketika mereka mendayung rakit di sungai ada rakit yang tidak bergerak, setelah dilihat ternyata ada buaya lapar yang memakan dayung sehingga rakit tersebut tidak dapat bergerak.Â
Jadi, orang-orang memberi peringatan agar tidak ke sana sebab ada buaya lalu menjadi lubang buaya dan seiring berjalannya waktu jadilah nama daerah tersebut Lubang Buaya, dan bukan dikarenakan sumur tua tempat peristiwa berdarah tersebut terjadi.