Sebetulnya enggan untuk komen, karena topiknya sensitif.
Saya juga gak nyaman dengan istilah pelakor. Yang memunculkan istilah itu pasti sedang sangat emosi dan merasa menjadi korban.
Tapi saya setuju dengan pendapat bahwa dalam kasus pelakor pasti terdapat andil dari kedua belah pihak, dari wanitanya maupun  lelaki beristri (saya lebih nyaman menyebutnya demikan) yang terlibat.  Tak perlu diperdebatkan siapa yang memulai, bisa jadi wanita yang menggoda duluan, lelaki beristri menanggapi atau malah lelaki yang telah beristri tersebut lupa kalau sudah punya istri sehingga menggoda wanita lain yang menarik hatinya. Bisa jadi pula terkondisi oleh lingkungan,  awalnya mungkin tak ada niat  untuk terjebak ke situasi terlarang itu, namun karena intensitas pertemuan yang terlalu sering, lemahnya iman antara keduanya dan longgarnya adab pergaulan yang seharusnya dijaga akhirnya memunculkan benih asmara yang tidak seharusnya tumbuh.Â
Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa. Witing tresno jalaran ora ono liyo, cinta tumbuh karena cuma dia satu-satunya wanita yang ada (karena kondisi tertentu_ LDR misal). Sang wanita  penasaran dan merasa menang karena berhasil memalingkan  lelaki beristri itu dari istrinya, sang lelaki beristri  sudah pasti  puas dan terpenuhi egonya berhasil menundukkan hati wanita (lagi), bukti bahwa dirinya masih punya pesona.
Apa kabar dengan istri sahnya? Â
Sakit hati itu pasti, perasaan dikhianati, dibodohin, tak dicintai lagi, tak dianggab. Reaksi dari sakit hatinya itu yang  beragam, tergantung kepribadian dan bentukan akhlaknya.  Ada yang reaktif meletup-letup emosinya seperti adegan di video yang sedang viral saat ini, ada yang nampak diam  namun penuh dengan manuver rencana melampiaskan emosi, dan mungkin ada sebagian kecil yang merenung sambil introspeksi diri, apa yang tidak sempurna  dalam dirinya hingga suami berpaling ke lain hati?
Apapun wujud pelampiasan sakit hatinya, memaki/menyerang/mempermalukan bahkan menguploadnya menjadi konsumsi umum tanpa batas, tindakan tersebut  tak akan menyelesaikan masalah.  Sebenarnya tidak hanya pelakor yang merasa malu dan jatuh harga dirinya, suami dan istri sah pun akan ikut menanggung rasa tersebut, bahkan anak-anak dan keluarga besar.
Kira-kira pasca emosi terlampiaskan dengan cara yang kurang apik tersebut, apa yang akan terjadi di antara mereka? Â Kemungkinannya bisa jadi seperti ini :
- Wanita yang merebut perhatian lelaki beristri merasa terhina, memutuskan hubungan dan sangat mungkin melakukan pembalasan kepada istri sah;
- Lelaki beristri bisa jadi masih melakukan pembelaan terhadap gebetannya dan berupaya memberi janji-janji manis lainnya (gak kapok);
- Lelaki beristri menyadari kesalahannya, dan bertekuk lutut di depan istri sahnya;
- Istri sah sesaat merasa puas berhasil mencurahkan semua kekecewaan dan kemarahan yang menggumpal;
Namun masih bisa kah hubungan suami dan istri tersebut menjadi mesra kembali ? Jalinan cinta suci itu apakah akan tetap terajut sempurna? Noda itu mungkin akan selalu menjadi mimpi buruk di kehidupan rumah tangga mereka selanjutnya.
Lelaki dengan fitrahnya sebagai pemimpin masih bisakah dijadikan panutan untuk dihormati oleh istri dan anak-anak? Â Dan istri yang bisa menerima kembali suaminya setelah penghianatan tersebut pastilah hatinya seluas samudra, sangat lapang.
Apa kabar dengan anak-anak?Â