Hikmah di Balik Pen-capres-an Rhoma
Sesungguhnya akan selalu ada hikmah di balik semua fenomena. Fenomena pencalonan Rhoma Irama sebagai Presiden pada Pemilu 2014 terselip hikmah positif bagi siapapun yang mau berpikir positif. Sudah tak terhingga jumlah cibiran, makian, sumpah serapah, terhadap Rhoma Irama yang berani-beraninya mencalonkan diri sebagai pemimpin Republik ini. Meski memiliki popularitas yang cukup tinggi, Rhoma dinilai tidak cukup punya kapabilitas dan kecerdasan untuk memahami banyak persoalan bangsa--modal dasar yang selayaknya dipunyai calon presiden. Kita bisa melihat dan membaca bagaimana nada miring atas pencapresan Rhoma itu pada situs jejaring sosial semacam facebook, twitter, dan youtube, hingga kolom komentar pembaca pada situs berita online. Bacalah kolom komentar pada video wawancara Mata Najwa dengan Rhoma di laman youtube, niscaya akan melihat begitu banyak cacian terhadap Si Ksatria Bergitar itu. Pun, begitu banyak pula tudingan terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menginisiasi pengusungan Rhoma Irama sebagai calon presiden. Banyak yang menilai, elit-elit PKB hanyalah main-main dan sekadar mendompleng popularitas Si Raja Dangdut itu demi mendongkrak suara partai. PKB yang sudah kehilangan magnet tokoh seperti Gus Dur, kemudian mencari cantolan 'tokoh' yang dianggap mampu meningkatkan pundi-pundi dukungan konstituen. Dan, kita tahu, Rhoma lah yang kemudian dipilih sebagai cantolan itu. Para pengagum Gus Dur, terlebih yang sudah kadung kecewa dengan kepemimpinan PKB saat ini, tentu tak kalah sinisnya. Gus Dur, seorang tokoh bangsa, bapak demokrasi, dewanya pluralisme, penjaga harmoni dalam keberagaman seolah tergantikan dengan sosol Rhoma yang pada beberapa kejadian justru dinilai anti pluralisme, anti perbedaan, bahkan penabur benih SARA. Begitulah kira-kira kontroversi yang lahir dari pencapresan Rhoma. Dan, kontroversi itu lumrah adanya, terutama jika kita tidak berusaha mencari sisi-sisi positif, meski sekecil biji sawi, dibalik nyapresnya Rhoma. Salah satu sisi positif itu adalah potensi Rhoma untuk kembali ke Islam tengah, setelah sekian lama dikesankan cenderung ke titik ekstrim kanan. Kita tahu semua, pada Pilkada DKI lalu, oleh sebab terlalu bersemangat mendukung Fauzi Bowo, Rhoma sempat keseleo sikap dengan meragukan ke-Islam-an ibunda Jokowi, sebuah sikap yang sungguh sulit diterima di kalangan warga Nahdliyyin yang dikenal lebih terbuka dan menghargai perbedaan paham keagamaan. Di lingkungan NU, termasuk partai politik yang memiliki kedekatan kultural dengan NU, keseleo sikap Rhoma itu sangat sulit diterima. Nah, langkah PKB mencalonkan Rhoma itu sesungguhnya membuka jalan bagi dia untuk kembali ke habitatnya: NU, muslim yang ramah. Terlepas dari semua kelemahan PKB, ada banyak politisi muda di sana yang masih sangat mengagungkan Gus Dur. Jika menelusuri lebih jauh rekam jejak Rhoma, sesungguhnya NU adalah habitat lama dia. Pada era 80'an - 90'an, Rhoma kerap menyambangi pesantren-pesantren NU, silaturahim ke Kyai-Kyai di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di sela-sela kesibukannya menggelar konser, biasanya Rhoma menyempatkan diri sambang Kyai. Pada masa itu pula, Rhoma dikenal sebagai artis dan jurkam PPP, partai hasil fusi sejumlah partai Islam--termasuk NU di dalamnya. Namun, belakangan, Rhoma justru menjauh dari Kyai-Kyai NU. Ia lebih dekat dengan tokoh agama yang-- meski amaliyah sama dengan NU--memiliki sikap yang lebih keras dan kurang menghargai non-Muslim. Inilah yang mungkin menjadi sebab musabab kenapa Rhoma kemudian berubah lebih ekstrim. Padahal, lagu-lagu Rhoma seperti "135 juta (kemudian digubah menjadi: lebih dari 200juta) penduduk Indonesia" sesungguhnya menyuarakan ke-bhinneka-an dan penghargaan kepada sesama tanpa melihat latar belakang suku, agama, dan rasnya. Dengan mencapreskan Rhoma, PKB setidaknya bisa menarik dia untuk kembali ke NU, bermetamorfosa lagi menjadi Muslim yang ramah. Para politisi muda yang banyak menimba ilmu dari GusDur memiliki potensi mengerem kecenderungan Rhoma itu balik ke titik ekstrim dan mengembalikan dia kepada visinya sendiri yang kerap ia nyanyikan: "lebih dari 200 juta, penduduk Indonesia..ada Jawa, ada Sunda,......dan banyak lainnya," sebuah lagu yang merayakan keberbedaan, menghargai ke-bhinneka-an. Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H