"Pernikahan adalah 'ayat' wujudnya Allah yang absolut, karena hanya Allah-lah dzat yang tidak membutuhkan pasangan." ~ KH. Said Aqil Siraj Selama sepekan terakhir kita membaca sejumlah berita di media massa mengenai kelangkaan buku nikah. Di berbagai daerah, sejumlah pasangan terpaksa belum menerima buku nikah seperti bukti tertulis bahwa mereka sudah mengikrarkan diri menyatu dalam sebuah perkawinan agung. Berita mengenai kelangkaan buku nikah ini memang bukan isu mainstream di media massa yang saat ini lebih banya diisi oleh korupsi dan manuver politisi. Tapi berita ini tentu saja menggugah rasa penasaran kita dan membuat publik bertanya-tanya: kenapa soal yang sepele tetapi penting seperti 'buku nikah' bisa terbengkalai? Apakah terlalu berat permasalahan dan tugas yang diemban Kementerian Agama sehingga timbul kelangkaan buku nikah? Dari berbagai media online--tribunnews, republika, kompas, dan lain-lain--saya membaca kelangkaan buku nikah hampir merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah yang frekuensi pernikahannya cukup tinggi seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bengkulu. Bahkan, berdasarkan penelusuran wartawan kompas, kelangkaan buku nikah tidak hanya terjadi dalam minggu-minggu ini. Disebutkan, kelangkaan buku nikah sudah dirasakan warga di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini. Berdasarkan konfirmasi resmi kepada Menteri Agama Suryadharma Ali, kelangkaan buku nikah tersebut diakibatkan oleh keterlambatan tender percetakan dan tender distribusi buku ini. Keterlambatan itu disebutkan sebagai imbas "keberhati-hatian pemerintah dalam mengelola anggaran negara." Kelangkaan buku nikah tentu saja kurang bisa diterima akal sehat karena buku nikah adalah kebutuhan rutin yang semestinya mudah diantisipasi. Alasan "keberhati-hatian mengelola anggaran" juga dapat dikesankan mengada-ada karena tender percetakan dan distribusi buku nikah adalah pekerjaan rutin aparatur Kementerian Agama. Kita semua mungkin spontan menggumam,"begitulah birokrasi di negeri ini." Kelangkaan buku seolah menjadi hal biasa..Bukan sekali ini saja kita mendengar ada "sesuatu" yang langka? Dari BBM, kedelai, hingga jengkol-petai. Dan sekarang buku nikah yang menjadi hak mempelai. Tapi melazimkan sesuatu yang tak lazim itu lebih tidak lazim. Dalam pembuka tulisan, saya mengutip pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj dalam Tausyiah Pernikahan sahabat saya Muhammad Nabil Harun, keponakan kyai dan budayawan Nadlatul Ulama KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang dilangsungkan sore tadi hingga malam ini (Minggu, 3 November 2013) di Masjid Al-Bina, Senayan. (Tulisan ini saya bikin sambil berdiri saat resepsi pernikahan sedang berlangsung). Lazimnya Tausyiah Pernikahan, isinya soal pesan-pesan moral mengenai keluarga sakinah mawaddah wa rohmah. Di luar pesan-pesan moral tersebut saya menyitir bagian dari khotbah Kyai Said yang menurut saya layak quote karena memiliki nilai filosofi cukup dalam. "Pernikahan adalah 'ayat' wujudnya Allah yang absolut, karena hanya Allah-lah dzat yang tidak membutuhkan pasangan." Jika quote tersebut kita ambil sebagai kerangka teoritis ataupun kerangka paradigmatik dalam memandang dan menilai soal kelangkaan buku nikah, kita bisa mengambil hipotesa: buku nikah ada simbol formal pengakuan akan wujudnya Allah yang absolut. Kelangkaan (baca: membuat langka) buku nikah adalah pertanda bahwa aparatur kita abai akan tanda-tanda atau ayat wujudnya Allah, Sang Maha Satu, Dzat Yang Tidak Bisa Diduakan, Dzat Yang Tidak Membutuhkan Pasangan. Wallahu A'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H