Mohon tunggu...
Yusuf Warsyim
Yusuf Warsyim Mohon Tunggu... -

Konsultan politik hukum|pernah aktif PP Muhammadiyah|mantan aktivis mahasiswa|pecinta & penyayang 1 org wanita

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Gerakan 1 Hari Tanpa Media (G1TA)

3 Juni 2014   17:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan penilaian terhadap posisi media dalam hiruk pikuk proses politik menuju Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Ada lima media penyiaran yang dinilai KPI tidak netral dalam menyiarkan kegiatan capres-cawapres. Selain porsi pemberitaan lebih banyak, kelima televisi itu juga memberikan durasi penyiaran lebih panjang untuk pasangan capres-cawapres tertentu. Kelima lembaga penyiaran itu adalah TVOne, RCTI, MNC TV, TV Global dan Metro TV.

TV One, RCTI, MNC TV dan TV Global dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Prabowo-Hatta. Durasi penyiaran pasangan Prabowo-Hatta juga lebih panjang dibandingkan dengan durasi penyiaran untuk pasangann Jokowi-JK. Sebaliknya, satu media televisi, yaitu Metro TV, dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Jokowi-JK. Durasi penyiaran untuk pasangan nomor urut dua itu juga lebih panjang daripada untuk pasangan Prabowo-Hatta.



Kondisi yang sama sebelumnya dalam Pemilu Legislatif pada 9 April lalu, sejumlah media juga menjadi partisan politik. Sebenarnya apabila mau dianalisa secara keseluruhan baik media penyiaran maupun media cetak, sebagaimana dalam pemilu legislatif dan proses politik pemilu presiden saat ini, rata-rata media melakukan keberpihakan kepada kontestan politik tertentu.

Dalam proses pemilu legislatif sebenarnya KPI sebagai lembaga publik yang berwenang mengawasi prilaku media penyiaran publik, telah memberikan teguran dan peringatan, seperti tayangan iklan politik bernuansa kampanye belum waktunya, kapada media penyiaran yang menayangkan iklan tersebut. Lebih dari satu kali teguran dilayangkan oleh KPI ke lembaga penyiaran yang menayangkan iklan kampanye tersebut terasa tak bergeming. Teguran telah masuk diterima, namun sajian iklan kampanye tak berhenti bersliweran.

***

Begitulah prilaku media kita saat ini tidak lagi steril sebagai ruang publik semenjak berkolaborasi dengan kekuatan politik (partai politik) tertentu. Kepemilikan media oleh pimpinan partai politik tertentu telah mengakibatkan independensi media untuk kepentingan publik menjadi lemah.Berbagai debat publik di televisi ataupun di koran tidak memenuhi syarat-syarat dari debat rasional kritis sebagaimana konsep Jurgen Habermas, kecuali memenuhi kepentingan agenda politik pemilik. Ruang publik menjadi ruang kuasa politik pemilik dengan menggeser kuasa publik. Kombinasi kuasa politik dan kuasa modal mengambil alih fungsi ruang publik (Chesney, 1997).

Di ruang publik media memiliki peran kritis dengan menciptakan perdebatan rasional kritis tentang masalah masalah politik yang berkaitan dengan problem hajat hidup orang banyak. Sebagaimana Kritisisme Habermas, fungsi ideal media massa seperi itu tidak bertahan lama. Televisi dan berbagai media elektronik telah mengisolasikan warga negara dari warga negara lainnya, sehingga ruang publik telah kehilangan fungsi politiknya.

Berharap menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat didalam debat rasional, media telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya, seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya. Politisi yang tidak bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama.

Para politikus pemilik media meyakini untuk melemahkan kuasa rival atau lawan politik, ruang publik harus dikuasai. Di ruang publik, lawan politik harus diserang dengan berbagai opini tentang kesalahan atau dikemas seolah olah salah sekalipun mengandung unsur fitnah. Menguasai ruang publik dianggap telah setengah memenangi pertarungan.

Walhasil massifikasi iklan dilakukan yang walaupun harus nabrak larangan waktu yang diizinkan oleh peraturan pemilu. Belum lagi storytelling dalam konstruksi berita politik tentang lawan politik, yang juga cukup massif efek terpaan berita tersebut bagi konstruksi persepsi negatif publik. Lawan politik telah diulas ulas dalam pemberitaan kasus korupsi yang padahal belum ditetapkan sebagai tersangka korupsi, masih sebatas diminta penjelasan sebagai saksi oleh KPK. Hingga mundurpun seorang menteri dari kebinet karena alasan mau fokus mengikuti konvensi calon presiden, dibuat opini sebagai celah dan kesalahan dengan konstruksi berita yang isinyalari dari tanggungjawab.

Inilah era media milik partai tertentu memainkan peran kuasa politik sang pemiliknya dalam berburu rente kekuasaan. Agenda setting media tunduk kepada agenda pemiliknya. Media yang berfungsi dan berperan bagi publik untuk lebih banyak memiliki preferensi politik yang memadai telah terkontaminasi dalam perwujudannya. Maka dalam konteks ini, moratorium iklan kampanye ilegal patut diapresiasi dan mendesak tegas dijalankan guna sterilisasi ruang publik. Karena publik sangat mendambakan media berkarakter publik bukan media berkarakter politis.

***

Kekuasan media massa sejatinya di tangan kuasa publik. Maka media memposisikan diri sebagai ruang publik. Tetapi dalam trennya kuasa publik oleh media itu rentan dengan penyerobotan oleh rezim kekuasaan negara dan kekuatan modal. Rezim Orde Baru telah mengkooptasi media, dan sekarang di Orde Reformasi media dalam cengkeraman kekuasaan kaum pemodal. Sekarang media lebih ngetren sebagai ruang kuasa politik pemodal. Ironis sekali publik menjadi terabaikan oleh media.

Jika demikian, publik sudah saatnya menunjukan sikap ketidaksetujuan dan ketidakterimaan atas prilaku serampangan media penyiaran dalam menggunakan frekwensi milik publik untuk kepentingan politik dan bisnisnya belaka. Sebagai wujud ketidaksetujuan dan ketidakterimaan publik terhadap perlakuan media massa yang telah meninggalkan publik, wajar jika publik harus melakukan gerakan sabotase terhadap media. Metodenya, mari kita matikan TV, Radio atau media elektronik lainnya dan tidak membaca koran & majalah atau media cetak lainnya selama 1 hari. Mari kita gelorakan #Gerakan1hariTanpaMedia(G1TA). Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun