Berbicara mengenai penentuan harga BBM akan lebih baik apabila dimulai dengan teori dasar tentang tentang harga suatu barang/jasa. Secara sederhana harga dapat ditentukan melalui:
- Pasar (interaksi konsumen dan produsen). Disini interaksi antara konsumen dan produsen yang menentukan harga, apabila harga relative rendah permintaan naik tapi suplai turun dan apabila harga relative tinggi permintaan turun tapi suplai naik, yang pada akhirnya akan ketemu pada satu titik harga yang biasa disebut sebagai harga pasar. Dalam sistem harga pasar inilah effesiensi (alokasi dan produksi) dapat terjadinamun memerlukan syarat diantaranya yaitu (a) penjual dan pembeli dalam jumlah banyak; (b)barangnya sejenis (standar); (c) Informasi yang sempurna ttg harga dan suplai (konsumen dan produsen sama pinter dan tahu-nya); (d) tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar; dan (e) konsumen dan produsen adalah “price taker”.
- Monopoli (produsen). Disini harga ditentukan oleh produsen karena produsen memiliki kekuatan utk melakukannya karena tidak ada kompetisi di dalamnya (monopoli) sehingga konsumen hanya bisa pasrah (mau membeli atau tidak).
- Regulasi (pemerintah). Secara umum regulated price akan terjadi saat: (a) industry yang ada bersifat natural monopoli; (b) ada “amanat khusus” yang diemban oleh regulator utamanya terkait dengan pendukungnya (bisa produsen ataupun konsumen). Disini tujuan dari pengaturan bukan semata-mata efisiensi tetapi juga masalah fairness dan equity (keadilan).
Berdasarkan uraian tersebut, terkait dengan harga BBM, Negara-negara di dunia memiliki preference masing-masing, ada yang memilih kompetisi (harga pasar), atau regulated (diatur).
Menurut pendapat saya, harga BBM utk saat ini lebih baik tetap diatur (note: diatur bisa berarti mendekati harga pasar). Hal tersebut karena syarat terjadi pasar yang sempurna tidak dipenuhi diantaranya adalah adanya OPEC yang mengatur jumlah produksi minyak (crude oil) bagi anggotanya dan BBM pada dasarnya bersifat inelastic good (hampir tidak ada substitusinya). Bahkan di Amerika yang notabene sebagai penganut paham ekonomi pasar, seiring dengan terus meningkatnya harga BBM (bukan jenis premium) muncul ketidakpuasan dan keberatan dari masyarakat terhadap pemerintah (saat ini harga BBM di Amerika sekitar USD 4 per galon).
Selain itu, BBM tidak hanya semata sebagai sebuah produk (hasil dari proses produksi) tetapi juga merupakan input bagi produksi. Penentuan harga BBM bersamaan dengan kebijakan energy nasional dan kebijakan pembangunan bidang lainnya harus saling mendukung. Sehingga harga BBM tidak hanya didasarkan pada proses politik semata (yang tidak sehat) tetapi juga harus mempertimbangkan kelangsungan industry BBM itu sendiri, industry energy secara keseluruhan, dan industry lainnya, yang pada muaranya adalah terciptanya masyarakat sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dalam UUD 1945.
Hal lainnya, empirik studi [1] dan [2] tentang hubungan antara energy (termasuk BBM) dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia menyatakan bahwa terdapat hubungan searah antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energy (tidak berlaku utntuk arah sebaliknya). Yang berarti bahwa pemakaian energy di Indonesia masih boros. Dengan kata lain, sektor-sektor pemboros harus diberikan disinsentif sedangkan sector yang bukan pemboros harus diberikan dukungan (penyediaan energy yang cukup).
Secara makro, apabila kita lihat Solow growth model, terlihat bahwa "balanced growth path" ditentukan oleh interaksi "actual investment" (saving/kapital) dan break-even investment (effective labor dan teknologi). Jadi disinilah arti penting dari jumlah penduduk (labor), yang apabila disertai dengan tingkat pemanfaatan teknologi (efisiensi produksi) yang tepat akan membawa kita ke tingkat/level GDP yang lebih tinggi. Kebijakan harga BBM (masuk kategori kapital dalam faktor produksi) harus dapat diarahkan untuk mendorong hal tersebut.
Seharusnya menjadi jelas bahwa pengaturan harga BBM tidak semudah seperti hanya menghitung subsidi atau selisih antara harga “politik” dan harga internasional tetapi lebih kompleks. Dengan demikian pemerintah (regulator) harus lebih pintar dan tegas (konsisten). Rencana tahunan, jangka menengah dan panjang harus jelas dan terintegrasi bukan piecemeal dan sektoral. Banyak sekali alternative yang dapat digunakan terkait dengan pengaturan harga BBM sebagai contoh misalnya pengaturan teknologi untuk mobil (kewajiban pemasangan converter kit), penetapan pajak kendaraan yang lebih tinggi, tariff parkir yang lebih tinggi, dan sebaginya. Tentunya hal tersebut harus diikuti dengan kebijakan lainnya seperti penyediaan transportasi masal, infrastruktur gas bumi, dukungan terhadap industry nasional.
Pada akhirnya, perdebatan antara yang pro dan kontra tentang kenaikan harga BBM dapat terjembatani. Masing-masing pihak memiliki argumentasi yang mendasar dan sungguh-sungguh ingin membuat negara ini lebih baik. Sekarang tinggal pemerintah, apakah mampu untuk menterjamahkannya atau hanya melihatnya sebagai sekedar rutinitas yang lain?
Sebagai kesimpulan, tulisan ini sependapat dengan ide kenaikan harga BBM pada tingkat tertentu (misal Rp. 6500) namun dengan catatan bahwa pemerintah harus bekerja keras untuk menyiapkan kebijakan-kebijakan lainnya yang lebih integrated.
Pemikiran yang sepertinya masih terlalu sederhana dan dangkal dengan tingkat pengetahun yang terbatas. Untuk itu masukan dan tanggapan sangat diharapkan untuk dapat menyempurnakannya.
References:
1.Asafu-Adjaye, J. (2000). The relationship between energy consumption, energy prices and economic growth: time series evidence from Asian developing countries. Energy Economics , 615-625.
2.ASLAN, A., & KUM, H. (2010). An investigation of cointegration between energy consumption and economic growth: Dynamic evidence from East Asian countries. Global Economic Review , 431-439.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H