Mohon tunggu...
Yusuf Siswantara
Yusuf Siswantara Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Pemerhati Pendidikan

Menyukai penelitian dan pendidikan nilai dan karakter

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut di Tengah Bara

28 Agustus 2024   10:55 Diperbarui: 28 Agustus 2024   11:05 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegelapan malam itu menyelimuti kota Jakarta, namun api yang membara di sudut-sudut jalan memberikan kilauan tak lazim di langit. Rumah-rumah dan toko-toko yang dahulu berjajar rapi kini berubah menjadi puing-puing. Serangkaian suara teriakan dan pecahan kaca terdengar di kejauhan, menggema di antara gedung-gedung yang terbakar. Suasana penuh ketakutan dan ketidakpastian. Namun, di tengah-tengah kekacauan itu, ada satu tempat yang menyimpan kisah cinta yang tak pernah sempat berkembang.

Li Mei berdiri di ambang pintu rumahnya, menggenggam foto lama dengan tangan gemetar. Ia tahu malam ini bisa menjadi akhir dari segalanya. Foto itu, satu-satunya benda yang ia pertahankan saat semua barang berharganya dihancurkan oleh segerombolan massa, menampilkan wajah seorang pria muda yang pernah mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Wajah seseorang yang tidak pernah ia sangka akan berakhir menjadi kenangan pahit yang terbungkus dalam tragedi.

Lima tahun yang lalu, tepat di tempat ini, Li Mei dan Budi pertama kali bertemu. Budi, seorang aktivis mahasiswa yang penuh semangat, sering mengunjungi toko kelontong milik keluarga Li Mei. Awalnya, mereka hanya berbicara tentang hal-hal ringan---harga beras yang naik, isu-isu politik yang kian memanas, dan bagaimana masa depan negara tampak suram. Seiring berjalannya waktu, perbincangan mereka berkembang menjadi lebih personal. Li Mei, yang selalu berusaha menjaga jarak karena sadar akan perbedaan budaya dan status sosial mereka, perlahan-lahan membuka hatinya untuk Budi.

Namun, hubungan mereka tidaklah mudah. Ayah Li Mei, seorang imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, selalu menentang kedekatan mereka. "Beda, Mei. Kita beda. Beda budaya, beda bangsa. Kamu harus ingat itu," ujar ayahnya suatu hari saat melihat Li Mei tertawa bersama Budi di toko. Tetapi cinta mereka tak terbendung oleh batas-batas yang diciptakan oleh sejarah dan prasangka. Budi dan Li Mei terus bertemu, meski mereka harus sembunyi-sembunyi dari pandangan mata ayah Li Mei.

Satu hari, Budi membawanya ke sebuah pertemuan mahasiswa di kampus. Li Mei awalnya ragu, tetapi Budi meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Ini bukan sekadar tentang politik, Mei. Ini tentang masa depan kita, tentang hak kita sebagai warga negara," kata Budi dengan penuh semangat. Di sana, di tengah kerumunan yang penuh dengan harapan dan cita-cita, Li Mei merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya---ia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melampaui batasan etnis dan budaya.

Namun, ketika reformasi mulai membara, segalanya berubah. Ketegangan rasial yang lama terkubur kembali muncul ke permukaan. Tiba-tiba, Li Mei dan keluarganya menjadi target kebencian. Toko mereka dirusak, rumah mereka dilempari batu, dan mereka diancam dengan kekerasan. Dalam kekacauan itu, Li Mei hanya bisa bersembunyi di rumah, takut keluar, takut ditemukan oleh mereka yang membencinya hanya karena ia Tionghoa.

Suatu malam, Budi datang ke rumahnya. Wajahnya tampak cemas, tetapi di matanya, Li Mei melihat tekad yang tak tergoyahkan. "Kita harus pergi, Mei. Sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat," kata Budi dengan nada mendesak. Li Mei bingung. Pergi ke mana? Dengan siapa? Dan bagaimana dengan keluarganya? 

"Kamu tidak mengerti, Budi. Aku tidak bisa meninggalkan mereka. Ayahku... ibuku... mereka membutuhkan aku," jawab Li Mei sambil menahan air mata. Budi menggenggam tangannya erat. "Aku tidak akan pernah membiarkan sesuatu terjadi padamu, Mei. Kita akan pergi bersama. Kita bisa memulai hidup baru di tempat lain," katanya, mencoba menenangkan Li Mei.

Tapi Li Mei tidak bisa meninggalkan keluarganya. Budi, dengan perasaan yang bercampur aduk antara kesedihan dan cinta, akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri, berharap bisa kembali suatu hari nanti dan membawa Li Mei bersamanya. Tapi hari itu tidak pernah tiba.

Li Mei mendengar kabar bahwa Budi ditangkap saat sedang memimpin demonstrasi. Beberapa hari kemudian, tubuhnya ditemukan di pinggir jalan, dengan luka-luka yang menunjukkan bahwa ia telah disiksa sebelum akhirnya dihabisi. Li Mei terkejut, hatinya hancur. Ia tidak pernah bisa mengucapkan selamat tinggal, tidak pernah bisa mengatakan betapa ia mencintainya. Cinta mereka berakhir tragis, terhenti oleh kekejaman dunia yang lebih besar dari mereka berdua.

Kini, di tengah-tengah kekacauan yang sama seperti malam ketika Budi meninggalkannya, Li Mei merasakan kesedihan yang mendalam. Tidak ada yang tersisa baginya di kota ini. Rumah dan tokonya telah hancur, keluarganya telah pergi ke tempat yang lebih aman, meninggalkannya sendirian. Tapi Li Mei tidak ingin pergi, tidak ingin meninggalkan tempat di mana ia terakhir kali melihat Budi, tempat di mana kenangan mereka masih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun