Dengan foto Budi dalam genggamannya, Li Mei melangkah keluar rumah, ke jalan yang dipenuhi asap dan api. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti instingnya. Di kejauhan, ia melihat bayangan seorang pria, mirip dengan Budi. Bayangan itu melangkah ke arahnya, semakin dekat, namun ketika ia hampir mencapainya, bayangan itu menghilang dalam kabut.
Li Mei berhenti, menatap ke arah bayangan yang telah menghilang. Air mata mengalir di pipinya, mencampur dengan abu dan debu yang memenuhi udara. Ia tahu bahwa bayangan itu hanyalah ilusi, namun di dalam hatinya, ia berharap bahwa Budi benar-benar ada di sana, menunggunya, membawanya pergi dari semua ini.
Tapi kenyataan tidak pernah seindah mimpi. Li Mei kembali ke rumahnya yang telah hancur, duduk di lantai yang dingin, dan memeluk foto Budi dengan erat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, tidak tahu ke mana hidup akan membawanya. Tapi satu hal yang pasti, cinta mereka tidak akan pernah padam, meskipun dunia telah berusaha untuk menghancurkannya.
Malam itu, di tengah bara api reformasi yang membakar, Li Mei menemukan kedamaian dalam kenangan. Dalam kabut yang pekat, ia akhirnya menyadari bahwa cinta mereka, meskipun tragis, adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H