KAITAN PEMIKIRAN FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE DENGAN FENOMENA KASUS OKNUM USTADZ
Biografi Friedrich Wilhelm Nietzsche
Seorang tokoh filsafat atau filsuf yang sangat terkenal dari Jerman bernama Friedrich Wilhelm Nietzsche atau yang dikenal dengan Nietzsche. Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Lokensaxony, yang pada waktu itu daerah Lokensaxony adalah daerah bagian dari Kerajaan Prusia. Nama lengkap Nietzsche sendiri diambil dari nama raja yang berkuasa di daerah Prusia, raja tersebut bernama Raja Friedrich Wilhelm dan alasan nama Nietzsche diambil dari sang raja dikarenakan lahirnya bertepatan dengan hari ulang tahun sang raja. Ayah Nietzsche yang bernama Karl Ludwig Nietzsche memberikan nama tersebut kepada anaknya karena kekaguman dan memberikan rasa hormatnya kepada pada Raja Prussia yang berkuasa pada saat itu yaitu bernama Friedrich Wilhelm. Nietzsche lahir dari sepasang kekasih yang bernama Karl Ludwig Nietzsche (1818-1849) dan Fransiska Oehler (1826-1897). Dia lahir dan hidup latar belakang keluarga yang taat dan hangat dalam hal agama. Agama yang dianut keluarga Nietzsche adalah Kristen, hal ini ditunjukkan dari latar belakang ayahnya yang seorang pendeta Kristen yang sangat taat yang berasal dari suatu desa Rocken dekat dengan Lutzen dan ibunya adalah seorang yang menganut Lutheran (Kristen Protestan) yang sangat taat dari latar belakang pendeta juga.
Pada masa remaja, Nietzsche memiliki bakat dalam memainkan alat musik dan pelajar bahasa yang suka menulis. Nietzsche pada saat remaja, kehilangan keyakinan terhadap agamanya yakni agama Kristen Protestan. Nietzsche meninggalkan sekolah tinggi teologinya yang kemudian Nietzsche menekuni kebudayaan klasik khususnya filologi. Di usianya 25 tahun tepat pada tanggal 1869, Nietzsche diangkat menjadi seorang professor filologi klasik di Universitas Basel. Nietzsche mengalami perjalanan hidupnya sebagai seorang filsuf terbilang cukup berkembang dan yang sangat menentukan adalah ketika ia membaca buku Arthur Schopenhauer yang berjudul “The World as Will and Idea” (1818), yang kemudian buku itu memberikan inspirasi pemikiran filosofinya sekaligus meneguhkan atheismenya. Selain Arthur Schopenhauer, pemikir yang mempengaruhi pemikiran filosofi Nietzsche adalah tokoh bernama Richard Wagner. Hal ini dapat terlihat dari persembahan Nietzsche kepada Wagner atas buku karyanya yang berjudul “The Bird of Tragedy” (1872). Mengutip dari jurnal Misnal Munir Dosen Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Nietzsche memiliki 12 karya diantaranya Die Geburt Der Tragodie (Kelahiran Tragedi) – 1872, Unzeitgemasse Betrachtungen (Pandangan Kontemporer) - 1873-1876, Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, Terlalu Manusiawi) - 1878-1880, Morgenröthe (Merahnya Pagi) – 1881, Die Fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang Gembira) -1882, Also Sprach Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra), Jenseits Von Gut Und Böse (Melampaui Kebajikan dan Kejahatan) – 1886, Zur Genealogie Der Moral (Mengenai Silsilah Moral) – 1887, Der Fall Wagner (Perihal Wagner) – 1888, Götzen-Dämmerung (Menutupi Berhala) – 1889, Der Antichrist (Sang Antikristus) – 1889, Ecce Homo (Lihat Sang Manusia) – 1889.
Nietzsche gemar menulis suatu karya. Karya pertama yang dituliskan Nietzsche pertama kali yaitu tentang filologis untuk Rheinisches Museum yang berkiblat kepada Arthur Schopenhauer sehingga Nietzsche menganggap dirinya sebagai pengikut Arthur Schopenhauer. Dari pengakuan tersebut, Nietzsche beralih dari seorang filolog menjadi seorang filsuf. Karya Nietzsche sempat menjadi kontroversial, karya tersebut berjudul “The Will to Power”. Karya itu adalah proyek sastra terbesar dan yang paling berambisi dari tahun akhir Nietzsche dan itu adalah proyek yang dipertimbangkan oleh Nietzsche yang dikerjakan selama bertahun-tahun karena itu adalah proyek yang dikerjakannya secara konsisten. Pada tanggal 25 Agustus 1900 tepat di usianya 56 tahun, Nietzsche meniggal dunia sehingga karyanya tidak segera untuk terbit. Adik perempuan Nietzsche yang bernama Elizabeth Frost (1846-1935), yang pada akhirnya memiliki peran penting terhadap penerbitan karya sang kakak laki-lakinya karena Elizabeth menyebarkan gagasan dan karya milik Nietzsche. Karya Nietzsche yang diterbitkan oleh adik perempuannya pasca meninggal yaitu karya yang berjudul The Antichrist (1895) dan Ecce Homo (1906). Namun sayang, karya Nietzsche yang diterbitkan oleh Elizabeth menjadi kontroversial karena adanya teks yang dianggap provokatif dalam karya Nietzsche, alasan karya itu dianggap sebagai provokatif adalah Nietzsche pada masa hidupnya selalu memberikan kritik terhadap kemapanan dari kalangan agama atau kalangan modernism.
Filsafat Friedrich Wilhelm Nietzsche
Filsafat Nietzsche dikenal dengan filsafat yang memiliki cara pandang tentang suatu kebenaran atau dikenal dengan filsafat perspektivisme. Nietzsche dikenal sebagai “Sang Pembunuh Tuhan” dalam karya Also Sprach Zarathustra. Nietzsche memprovokasi dan memberikan kroitik terhadap kebudayaan Barat dengan melakukan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi (Umwertung aller Werten) pada zaman yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran tokoh Plato dan sebuah tradisi Kekristenan yang dimana keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan. Filosofi dari Nietzsche tentang kematian Tuhan, merupakan sebuah paradigm kehidupan setelah kematian dan filosofinya tidak menjadikan sebagai filosofi nihilisme (Uberwindung der Nihilismus) dengan mencintai secara utuh tentang kehidupan (Lebensbejahung) dan memposisikan manusia sebagai manusia yang unggul (Ubermensch) dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Nietzsche mulai mempelajari tentang filsafat setelah membaca karya tokoh yang dikaguminya yaitu Arthur Schopenhauer, oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Arthur Schopenhauer memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran filsafat Nietzsche. Schopenhauer dan Nietzsche memiliki pandangan yang sama, karena filsafat dilandaskan pada “kehendak”. Namun ada perbedaan diantara keduanya, Schopenhauer mendasari bahwa kehidupan manusia pada kehendak untuk hidup (Wille zur Leben), sedangkan Nietzsche mendasari bahwa kehidupan manusia pada kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht). Menurut Nietzsche sendiri, kemauan untuk berkuasa merupakan motif dasar dari tindakan manusia dan merupakan titik pusat dalam memahami etika. Nietzsche menegaskan bahwa pengetahuan merupakan suatu alat untuk mencapai kekuasaan. Kemauan untuk mendapatkan pengetahuan atau kemauan untuk tahu dan mencari tahu, tergantung dari besar dan kecilnya kemauan untuk berkuasa. Tujuan untuk mendapat pengetahuan bukan semata-mata untuk mengetahui arti kebeneran mutlak, tetapi untuk berkuasa. Tujuan mendapat pengetahuan bukanlah semata-mata untuk tahu dalam arti kebenaran mutlak, melainkan tujuan untuk berkuasa.
Dunia adalah kehendak untuk berkuasa dan tidak ada yang lain kecuali itu. Oleh karenanya, manusia adalah salah satu wujud kehendak untuk berkuasa. Gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa adalah gejala dari dunia yang sesungguhnya. Dunia dan alam semesta adalah satu proses kejadian tentang kehendak untuk berkuasa dan kehendak itu sudah seharusnya memang sudah demikian ada. Kehendak berkuasa yang pertama mewujudkan diri sebagai daya perasaan dan yang kedua menjadi daya perasaan. Secara garis besar, daya yang “menjadi” tidak dapat disamakan dengan kualitas daya dan dia adalah menjadi diri kualitasnya sendiri, kualitas kehendak untuk berkuasa (Deleuze, 2002:90). Tingkat dalam masyarakat menurut Nietzsche ditentukan oleh kekuasaan. Yang dapat diartikan berkuasa atau tidaknya individu, atau besar dan kecilnya kekuasaan individu dalam masyarakat ditentukan oleh kehendak atau keinginan untuk berkuasa. Semakin besar kekuasaan individy semakin tinggi juga kedudukannya dalam tatanan masyarakat. Kekuasaan yang besar yang diperoleh individu tidak datang sendiri, tetapi kekuasaan itu merupakan sesuatu yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh dan itu merupakan sesuatu yang lahir dari dorongan kehendak berkuasa. Menurut Nietzsche tujuan akhir dari kehendak adalah untuk menjadi manusia yang unggul (Ubermensch). Puncak dari manusia yang unggul (Ubermensch) dalam filsafat Nietzsche adalah “matinya Tuhan”. Jika Tuhan mati, maka manusia sendiri yang menjadi seperti “Tuhan” (Hamersma, 1983).
Pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche