[caption id="attachment_135022" align="aligncenter" width="524" caption="Repro: Kompas 14/9 hlm. 5"][/caption]
Telunjuk kanan Antasari Azhar terpagut di bibir dan di bawah kumisnya yang menjuntai rapi. Gigi putihnya tampak berjajar tergetar. Antara harap-harap cemas dan jengkel tertahan, jemarinya menempel di dagu; mewartakan mimik yang menyuratkan perjuangan dan kegetiran. Posisi lensa kacamata yang menjuntai tak simetris menegaskan bahwa mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tidak sedang bermain-main di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Profil perjuangannya pun masih terekam lewat posisi badan Antasari yang condong tidak statis, atau tidak bermaksud menyemburatkan kepercayaan dirinya atas kemenangan dalam peradilan Selasa (13/9) lalu. Sebaliknya, pose tubuh yang tampak berubah dan menempel pada salah satu pengacaranya menghajatkan bantuan bagi Antasari. Kegamangan di sela-sela perjuangan melahirkan gestur keraguan di tangan kiri. Posisi tangan Antasari tidak coba ditutupi, dan ia gelontorkah secara waspada. Ia tak berniat menopengi kegelisahan atas perjuangannya dalam mengajukan Peninjauan Kembali (PK) hari itu. Ujung jemari kirinya dilekatkan kuat di sisi meja. Mencoba santai tapi sebenarnya dalam pikirannya tengah terjadi peperangan antara keyakinan diri atas ketidakbersalahannya dan ketidakpercayaannya pada pihak yang mencoba mengadilinya dengan tepat.
Bila saya redaksi halaman muka Kompas, saya perjuangkan foto bidikan Alif Ichwan itu sebagai tampilan menyolok harian ini. Betapa tidak, foto yang sekilas biasa-biasa saja itu sejatinya menyembulkan kesan emosional dan pergulatan sebenarnya dari figur Antasari dan pihak-pihak yang terkait. Mari kita simak penataan semiotik dari foto cerdas itu.
Dalam suasana batin yang terekam tadi, Antasari dipilih Ichwan (juga redaksi) dalam posisi menyendiri. Fokus bagian depan ada ada tubuh Antasari sehingga mengesankan kepedihan dan kesendirian dalam perjuangannya. Aksentuasi ini ditangkap baik oleh sang juru foto lewat bayangan hitam di arah diagonal, yang dari foto tampilan Kompas seperti tak sejajar bahkan mengatasi pundak hingga telinga fisik asli Antasari. Praktis, Antasari tidak dengan (manusia) siapa-siapa secara keintiman fisik, selain dengan bayangannya sendiri. Dus, betapa mendalam kesan orang yang selama ini dipandang memasukkan para pejabat penting ke sel namun kini balik disangka sebagai penjahat. Nyanyian Antasari bahwa dirinya korban konspirasi seolah dipercaya dan 'diikuti' bayangannya belaka.
Jadi, meski tengah berjuang, foto Ichwan itu memberikan kesan gelap akan pangkal hasilnya. Dan bayangan diri Antasari nan gelap itu pulalah yang sepertinya ingin ditampilkan selaku penegas dari ikon ketidakjelasan. Lihat saja si bayangan--berbeda dengan fisik Antasari-lebih vertikal dan menghadap corak batik bergaris Antasari yang berwana hitam, putih, dan abu-abu. Seperti itulah 'kegelapan' nasib Antasari setidaknya sampai detik ini.
Dalam bayangan nasibnya tak menentu, Antasari memang tidak sendiri terekam. Ada figur aparat kepolisian yang mengawal (dua orang) dan dua juru kamera serta satu orang anonim. Mari simak posisi Pak Polisi di sebelah kiri Antasari (dalam foto di kanan).
Perjuangan dan ketidakpastian yang dihadapi Antasari rupanya masih memiliki relasi dengan citraan di belakangnya. Satu sisi, dia direpresentasi sebagai fokus dan figur yang disendirikan mengingat arti penting upaya dan narasi perjuangannya. Namun, kesedirian itu memiliki makna tambahan dengan figur Pak Polisi di kirinya. Kesendirian dan ketidakjuntrungan upaya menagih keadilan, Antasari tak hanya berhadapan dengan pembelokan, pembiasan, atau bahkan penutupan fakta, tetapi juga figur lain. Ya, dialah Polisi, pihak yang selama kasusnya suka atau tidak suka bermain dengan keberadaan dan posisinya sekarang.
Sang perwira terekam dan ditampilkan Ichwan seolah sosok percaya diri. Dialah pengawas dari kesendirian dan kegigihan Antasari. Dalam pergulatannya, Antasari juga dibatasi oleh waktu (lihat tampilan jam di pergelangan tangan si perwira!). Sementara buku-buku jemari kiri Antasari mungkin tak menentu menanti putusan pengadilan, arloji si perwira dengan gagah menanti, seakan berbicara: "Kau berpacu dengan waktu, mampukan kau selamatkan dirimu, Hai Bekas Pahlawan?!"
Saksamai garis tangan dari pundak kiri dan jemari kiri Antasari, lalu di titik itu kita tarik garis imajiner yang beririsan dengan lengan berarloji si perwira; juga lurus. Pola terbentuk adalah huruf V! Ya, Victory! Tetapi Victory itu masih sempurna belum terjalin (lihat ruang antara jari si perwira dengan jari kiri Antasasi di meja. Pun demikian lebih-lebih dengan masih gelapnya proses kemenangan bagi mantan Ketua KPK itu karena V masih bersamaan dengan bayang-bayang hitam diri (pro) dan si perwira (kontra).
Sementara itu, (empat) figur lain yang ditampilkan di foto Ichan makin menegaskan kesan kesendirian dalam perjuangan Antasai, di tengah bayangan dan arogansi aparat terkait. Bahkan satu perwira dengan presisi ditampikkan 'mengatasi' postur Antasari. Para awak media dan publik pun sekadar riuh dan sibuk dengan urusan dirinya sendiri.