Mohon tunggu...
Yusuf Maulana
Yusuf Maulana Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta novel detektif yang punya hobi di Forensik-Makna-Foto.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Boediono yang Terkendali untuk Lari

11 Oktober 2011   06:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:05 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Larilah, Boed! Capai garis di depanmu itu!"

Siang itu aku, Boediono, sebenarnya tengah mencoba lintasan lari atletik di areal Jakabaring Sport City Palembang. Aku tak sedang lari seperti Suryo Agung Wibowo atau Usain Bolt. Aku sekadar menuruti titah Pak Beye yang sedang sibuk hari-hari menjelang perombakan kabinet.

Aku teringat saat berumur dua tahun, lazimnya anak-anak seusiaku, belajar lari dengan disemangati ayah ibuku. Acungan jempol dan tubuh-tubuh di belakangku saat di Palembang mengingatkanku 66 tahun lalu saat aku mencoba latihan perang-perangan di era revolusi kemerdekaan.

Dulu, ayah ibu dan kakek nenekku cukup berteriak nyaring memompaku agar melatih otot kaki. Kemarin, orang-orang di belakangku antusias.

Tapi, aku terheran jadinya manakala melihat foto Kompas jepretan AlifIchwan. Aku seperti diriku di usia dua tahun. Aku jadi fokus perhatian orang-orang, keluargaku. Di foto itu aku tampak bak anak-anak yang ditunggui orang dewasa. Tak perlu wajah mereka tampil, yang penting setiran keberadaannya padaku ada.

Bukankah aku seperti 'dikendalikan' mereka? Begitulah aku duku tak merasakan ayah dan ibu melakukannya. Lain halnya ketika di foto Alif. Gambaran aku yang mandiri dan intelektual seperti ditiup angin stadion lantaran ketidakmandirian aku di tengah orang-orang. Aku yang pejabat direpresentasi tak ubahnya orang yang inferior.

Aku juga baru sadar, ada si biru batik, si hitam, si putih, si biru langit, si merah-semua ini adalah mitra yang mendukung aku dan Pak Beye. Mereka yang selama ini berada di balik putusan dan sekian perdebatan, rupanya juga 'ikut' mengontrol keberadaan bahkan pilihanku untuk mencoba lintasan atletik.

Ah, dasar Kompas bisa saja merekam kepusinganku dan Pak Beye hari-hari ini dan ke depan. Mengganti menteri ini dengan itu, mengganti ini dengan ini dan itu; harus mendengarkan suara putih, biru, merah, hitam (kuning), dan seterusnya. Sama kayak aku di usia dua tahunan ketika keluargaku berteriak memerintahkan ini dan itu, padahal aku sendiri menikmati jalan dan lari ala aku.

Ternyata, dikendalikan pihak lain itu tak enak. Apalagi bila aku ingin berlari cepat di lintasan politik nasional. Banyak wajah tak terlihat kepalanya, dengan warna-warni partai dan kepentingannya siap menghadang. Eh, meski aku sekarang jadi Wakil Presiden aku tak tebersit untuk maju sendiri menggantikan Pak Beye. Baru jadi Wapres saja aku sering diawasi, foto Ichwan itu contohnya![]

Mohon maaf, Pak Boed, narasi di atas sekadar imajinasi penulis untuk menggambarkan suasana batik usai melihat foto di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun