Mohon tunggu...
Yusuf Lauma
Yusuf Lauma Mohon Tunggu... Pekerja lepas

Bekerja lepas bukan ASN berkecimpung di masyarakat pemerhati masalah keluarga dan anak, menyukai sosiologi, dan suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anas bin Malik r.a Menangis

17 November 2023   10:15 Diperbarui: 17 November 2023   10:20 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam epik yang melankolis, Anas bin Malik, sahabat mulia Rasulullah, menjadi pahlawan penuh tragedi. Setiap kenangan akan kemenangan di Pertempuran Tustar menyelimuti pikirannya, namun dalam bayangan kemenangan itu terukir tangisan yang melahirkan kepedihan.

Tustar, kota megah Persia, bertahan setengah tahun lamanya menghadapi gempuran pasukan Islam. Ketika pintu kebesaran terbuka di bawah cahaya fajar, lautan prajurit Muslim melanda kota. Pertempuran sengit berkecamuk di antara tembok kokoh Tustar, di mana tiga puluh ribu jiwa Muslim bersua dengan seratus lima puluh ribu prajurit Persia. Darah dan tulang menyatu dalam hentakan pedang, dan teriakan bergabung dengan lengkingan putus asa.

Tiap serangan pedang membawa risiko, dan setiap detik terasa beban kematian yang menggigit bagi pasukan Muslim. Meski di ambang keputusasaan, Allah menulis kemenangan bagi mereka yang beriman.

Gemuruh kemenangan menggema setelah sang fajar bersinar, namun dalam kemenangan itu terpahat duka yang menusuk hati. Salat Subuh, pusat spiritual para pejuang, terlupakan di tengah gemuruh perang.

Anas bin Malik, dengan air mata yang merayap perlahan, menggambarkan kehilangan yang dalam. Bukan sekadar kekalahan di medan perang, melainkan kehilangan saat-saat suci dalam Salat Subuh. Di tengah ribuan prajurit yang bergelut dalam peperangan yang dahsyat, di saat pedang dan doa menyatu, terjadi kehilangan besar: kehilangan Salat Subuh, kehilangan kebersamaan dengan Sang Pencipta.

Dalam tragedi ini, Anas bin Malik menangis, bukan karena kelemahan pasukan, melainkan kehilangan yang lebih dalam. Ia meratapi momen yang luar biasa di mana bahkan para pejuang terhebat terpaku dalam kerinduan akan hubungan spiritual dengan Allah.

Pengorbanan besar terjadi, di mana pedang dan doa bersatu dalam jihad, tetapi merelakan kehilangan yang mungkin lebih berharga -- Salat Subuh. Kisah ini bukan hanya tentang kemenangan di medan perang, tetapi juga tentang kehancuran jiwa karena kehilangan ruh spiritualnya.

Ini adalah pengingat epik tentang betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan agama, bahkan dalam puncak perang. Jangan sampai kita lupa akan kedekatan dengan Sang Pencipta di awal hari. Bagi kita, apakah kita bersedia mengorbankan sejumput waktu tidur untuk meraih kemenangan, bahkan dalam kemenangan Gaza Palestina?

Dalam doa kita, semoga Allah membimbing kita ke jalan yang Dia cintai dan ridhai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun