Bisa bayangkan apa yang terjadi bila masyarakat terus menerima mentah-mentah seluruh pesan yang disampaikan suatu media? (sumber foto: regionalpost.com)
Kehadiran media massa yang berkembang pesat saat ini baik cetak, elektronik, maupun internet sebagai media baru telah mengubah model penyampaian informasi menjadi lebih masif dan lebih cepat. Selain menjadi alat pemenuh kebutuhan masyarakat akan informasi yang tinggi, media juga berfungi sebagai untuk mengontrol, mengawasi, dan menghibur. Runtuhya era orde baru yang diikuti dengan era reformasi tentu menjadi salah satu faktor penting berkembang pesatnya kuantitas media saat ini di Indonesia. Salah satu ciri yang menonjol dan membedakan antara era otoritarian dan demokrasi ialah adanya kebebasan informasi dan adanya hak bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi. Jika pada masa orde baru media sangat dikuasai oleh pemerintah sebagai alat kekuasaan, tentu hal itu tidak sesuai dengan prinsip era reformasi sebagai perwujudan nilai demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak tiap orang untuk mendapat informasi dan bebas menyampaikan informasi. Jadi, rasanya memang tidak berlebihan jika menyebut informasi adalah oksigen demokrasi seperti yang diungkapnkan oleh sosiolog Prancis, Alexis de Tocqueville. Tanpa sistem informasi yang baik dan transparan, demokrasi tidak akan berjalan sesuai prinsipnya.
Kebebasan informasi di Indonesia telah berpengaruh pada kuantitas media massa itu sendiri. Sejak berakhirnya era Soeharto pada tahun 1998 lalu, media massa Indonesia tumbuh bak jamur di musim hujan. Semakin bertambahnya kuantitas media, maka semakin beragam pula informasi-informasi yang disampaikan kepada khalayak. Namun, peningkatan kuantitas tersebut ternyata belum mampu diimbangi dengan peningkatan kualitas pesan yang ada di dalamnya. Tidak jarang, pelaku media mengkomodifikasikan keberagaman informasi tersebut sebagai bisnis yang menggiurkan sebagai alat pendulang keuntungan. Inilah yang disebut dengan industri media.
Sebagai industri, media diorientasikan sebagai sebuah industri yang mencari keuntungan dengan modus “menjual” informasi kepada khalayak. Tidak jarang, media tidak memperdulikankepentingan publik sebagai penerima pesan karena tersandera oleh kepentingan kapitalis.Memang, kita tidak dapat memungkiri bahwa tanpa adanya modal yang besar, maka media massa tidak dapat menjalankan fungsinya. Menurut Firly (2014) komunikasi massa mempunyai ciri antara lain terstruktur, pesan yang disampaikan bersifat satu arah, dan membutuhkan modal yang besar. Namun, hal itu bukanlah alasan bagi media untuk mengkomodifikasikan pesan dan mengabaikan kepentingan publik. Banyaknya media massa yang ada di Indonesia telah telah memunculkan persaingan bisnis di antara media-media massa. Media berlomba-lomba menampilkan pesan yang dikemas dengan beragam guna merebut hati khalayak.
Sangat disayangkan ketika pesan yang disampaikan media yang tidak jarang melanggar undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang pers. Sebagai contoh, banyaknya media yang menampilkan konten yang seharusnya dilarang oleh peraturan perundangan seperti kekerasan, mistik, dan pornografi. Belum lagi soal netralitas media yang menjadi pertanyaan besar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan media oleh orang-orang yang memiliki kaitan dengan politik telah menyalahgunakan media menjadi alat politik kelompok tertentu, klimaksnya tentu masyarakat masih ingat saat pemilihan umum presiden tahun 2014 lalu ketika dua media besar Indonesia secara kelewatan telah memanfaatkan media sebagai alat politik masing-masing partai politik.
Seberapa penting literasi media?
Seorang Executive Producer sebuah stasiun televisi swasta nasional pernah mengatakan bahwa komposisi khalayak penerima pesan media khususnya televisi di Indonesia terbagi menjadi lima bagian yaitu kelompok A, B, C, D, dan E. Setiap kelompok khalayak dibedakan berdasarkan beberapa indikator, antara lain berdasarkan tingkat pendidikan dan status sosial. Kelompok A dan B adalah kelompok khalayak yang relatif memiliki tingkat pendidikan dan status sosial yang tinggi, kelompok ini biasanya cenderung lebih memilih program-program acara yang berkualitas dalam artian program tersebut, kelompok ini memiliki tingkat kesadaran media yang tinggi sehingga mereka tidak asal menerima pesan yang disampaikan media. Sedangkan kelompok C, D, dan E ialah kelompok khalayak yang relatif memiliki tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, kelompok ini biasanya cenderung lebih suka memilih program-program acara yang asalkan dapat membuat mereka terhibur tanpa harus memilah-milah mana program yang berkualitas atau tidak. Kelompok C, D, dan E ini merupakan kelompok mayoritas penduduk Indonesia, maka tidak heran apabila media berlomba-lomba agar masyarakat yang tersegmen dalam kelompok ini suka dengan program acara yang ditawarkan demi mendongkrak rating. Dengan rating yang tinggi, maka kesempatan meraih pemasukan melalui jasa iklan lebih banyak. Lagi-lagi ujung-ujungnya adalah uang dan uang.
Dari pemaparan Executive Producer televisi swasta di atas setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa angka melek media masyarakat Indonesia masih sangat minim. Inilah tantangan bagi siapapun yang mengaku peduli dengan kesadaran masyarakat Indonesia akan media sebagai agen literasi media. Yang dimaksud dengan literasi media ialah “ability to access, analize, evaluate and communicate the content of media messages”(Rahmi, 2013). Literasi media ialah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi isi dari pesan yang disampaikan oleh media. Khalayak sebagai konsumen media massa perlu memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut sebab apa yang disampaikan oleh media harus disadari dengan baik dengan kata lain pesan tidak langsung diterima mentah-mentah namun harus dimaknai apa maksud dari pesan tersebut sehingga pada akhirnya khalayak mampu membedakan mana pesan yang layak untuk diterima dan tidak.
Diam Bukanlah Pilihan
“Kita memiliki banyak masalah itu bukan karena semata orang jahat yang banyak, tetapi karena orang-orang baik hanya diam dan mendiamkan”. Kurang lebih seperti itu kata mutiara yang pernah diucapkan oleh Anies Baswedan, seorang akademisi yang sekarang menjabat sebagai menteri pendidikan.
Jika kita maknai kalimat tersebut, memang benar jika sekarang banyak orang yang memilih diam ketika ada suatu hal yang tidak sesuai dengan hal yang semestinya. Berbagai pelanggaran terus membumbui dunia media Indonesia. Walaupun telah ada teguran dari pemerintah namun hal itu saja ternyata tidak cukup untuk membendung sisi gelap media Indonesia. Lembaga independen pemerintah seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers juga belum mampu menjadi anjing penjaga yang siap menggonggong keras jika ada sesuatu yang tidak beres. Seringkali kita berkata bahwa media massa merupakan pilar keempat demokrasi yang siap mengawasi dan mengontrol jalannya tiga pilar demokrasi lainnya –eksekutif, legislatif, dan yudikatif-. Pertanyaaannya sekarang ialah bagaimana jika sang pilar keempat tersebut justru tidak mampu menjalankan fungsi yang seharusnya ia lakukan? Jawabannya adalah kita. Kita adalah pengawas dan pengontrol pilar keempat tersebut –bahkan menjadi pengawas keempat pilar tersebut sekaligus-.