Mohon tunggu...
Yusuf Cahyono
Yusuf Cahyono Mohon Tunggu... Freelancer - Suka menulis danembaca

.Hidup Harus Berkontribusi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kalender Mak Ijah

7 Januari 2014   10:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mak ijah menatap dinding rumahnya. Tepat di kalender yangterpasang sedikit miring. Di sebelah jam dinding yang berdetak nyaring ketika malam.Terdiam lama, entah apa yang terenung di pikirannya.Kelender itu adalah satu dari sekian banyak perabot peninggalan suaminya tercinta. Di ingat betul ketika mendiang suaminya nampak gusar saat dinding rumah itu teramat keras untuk dilubangipaku.Paku-paku itu selalu bengkok ketika beradu dengan martil dan tembok.Hingga ia putuskan untuk mengebornya.

Kalender besar di awal tahun.Sebagai penanda hitungan hidup yang terus berjalan.Meski akhirnya di hitungan bulan ketiga suaminya meninggal dunia.Tewas di jalan setelah truk besar menghimpit tubuhnya.Nyaris tak berbentuk, dengan wajah yang sulit dikenali. Hanya baju dan celananyalah yang mampu menyakinkan jika ia benar-benar suaminya.Dunia serasa menutup dengan kesuraman yang kelak menjemut.Ya, disela haru biru itu, mak ijah sempat melingkari tanggal dimana suaminya pergi untuk selama-lamanya.Tinta biru yang ia lingkarkan dengan perasaan remuk redam. Membanyangkan bagaimana ia harus sendirian membesarkan dua anak mereka.Tulang punggung tempat mereka menaruh harapan hidup lebih baikkini takada lagi. Dengan tergopoh, mak ijah memutuskan untuk menjadi penerus harapan bagi buah hatinya. Entah bagaimana ia akan mengawalinya, yang pasti garis hidup telah menegaskan jika tak ada pilihan lain kecuali terus melanjutkan hidup.

Maka di penghujung tahun, mak ijah menaruh harap bisa menjemput impian-impian kecilnya.Tahun baru dengan harapan baru.Tinggal beberapa potong hari lagi, kalender itu akan segera dilepas dan diganti dengan yang baru.Melepasnya, berarti melepas satu peninggalan dari suaminya tercinta. Hanya ujung paku yang menonjol itu saja yangtersisa.Mak ijah, ragu-ragu untuk melepasnya. Bukankah, di kalender itu jejak-jejak suaminya masih tertinggal disana.Sepotog kisah hidup yang ia saksikan sebelum bulan berganti dan mengambil suaminya dari sisinya.Tidak! Bagaimanapun,kalender itu tak boleh lepas dari dinding itu.Ia layak berada disana sebagaimana foto dalam bingkai yang terpasang.bulan dan angka-angka itu masih mampu bercerita tentang kisah hidup. Untuk sekali-kali dibuka kebelakang. Melihat lembar-lembar bulan yang sudah terlampaui.Ia akan kembali merasakan tahun dimana suaminya masih hidup.Tentuseperti memutar layar kehidupan untuk singgah kembali disana.Kalender ituadalah lubang waktu yang mengantarkan nostalgi.Dan mungkin juga serupa dengan makam. Ada taggal dan ada kenangan tentang kehidupan seseorang.

Mendiang suaminya dulu, selalu memungut kalender yang habis masa berlakunya.Menumpuknya dengan kertas-kertas yang lain.Suatu saat suaminya akan merubahnya menjadipotongan kertas yang berjilid.Menyerahkannya pada buah hatinya untuk menjadi kanvas kecil bagi pena-pena mewujudkan gambar-gambar kreasi.Ya, itulah sifatsuaminy, yang tak ingin membuang sesuatubegitu saja.Ada beribu cara untuk membuatnya bermanfaat hingga barang-barang itu benar-benar habis nilai manfaatnya. Pelajaran kecil yang membuat mak ijah tersadarkan untuk berhemat dari uang yang diberikan suaminya. Bahwa ada tanggung jawab yang besar agar semua bisa tercukupi tanpa harus berhutang.Pernikahan yang agak terlambat dari usia idealnya, membuat mak ijah menua sebelum anak-anaknya tumbuh dewasa.Dua anak dari buah cinta mereka terlahir sehatmeski di awal-awalnya ketakutan luar biasa. Takut tak bisa membesarkannya jika maut dahulu menjemput.Sampai akhirnya ketakutan itupun terjadi.Maut datangsebelum ragaitu itu menua benar. Musibah itu merengguksemuannya

Mak ijah berdiri, menyentuh lebar kalender dengan gemetar.Mengusapnya dengan pelan dan lembut.Aneh, ia merasa seperti tengah bercakap dengan mendiang suaminya.Ada getaran yang merambat dari ujung-ujung jemarinya.Memandangi angka-angka yangsebentar lagi terlampaui oleh masa yang terus berganti.Bulan terakhir dari bulan-bulan yang ada. Meski terakhir, sesungguhnya ia begitu dekat dengan bulan yang pertama.Hanya berselisih detik saja kiranya. Mak ijah lalu membuka lembar-lembarbulandi sebaliknya. Sampai di bulan dimana ada tanggal yang berlingkar pena. Matanya berkaca-kacaseketika.Bergemuruh oleh kerinduan dan kehilangan.Sungguhandai ia berkuasa ingin rasanya menghapus satu angka di bulan itu.Hingga tak ada cerita duka di bulan tersebut. Tak ada firasat sedikitpun jika kepergian suaminya di pagi buta itu adalah untuk selama-lamanya.

Ikhlas dan tabah itu yang selalu dititipakan orang-orang kepadanya, meski itu bukan hal yang remeh dan mudah dilakukan sebagaimana mudahnya bibir berucap.Bagaimana harus menghapus seseorang dari kamus hidupnya, sementara telah begitu banyak coretan yang telah dibuatnya? Pun ia telah memaafkan sopir bengal itu meski ia harus mempertanggung jawabkannya di balik jeruji penjara. Andai saja sopir bengal itu sedikit bersabar, tentu ia tak akan menjadi algojo pemisah kehidupan rumah tangganya.

“ Ibu,,, kenapa dengan kalendernya? Aku dapat dari sekolah,tinggal beberapa hari saja aku ganti dnegan yang baru ya?”si cemplo datang tergopoh dari sekolahnya.Mak ijah menatap anaknya itu dengan penuh kasih sayang.“ Besuk saja, kan belum berganti tahunnya?”jawab mak ijah. “ Ndak apa-apa ibu, kan tanggal tersisa bisa dihafal?Lagian kalender itu sudah terlihat usang, tak menarik lagi dengan warna dinding..” kata cemplo.Mendesir mak ijah ketika mendengar ucapan itu.Bagaimana bisa cemplo memandang kelendersebagai lembar yang usang?Itu adalah peninggalan dari ayahnya. Sedikitpun cemplo tak menaruh rasa di kalender itu. “ Tidak cemplo, ibu tak ingin kalender itu terlepas dari dinding, ini peninggalan ayahnya, jika ingin memasang yang baru, sebaiknya kau buat gantungan baru disebelahnya saja..” ucap mak ijah.“ Apa ibu? Dimana-mana kalender yang sudah habis pasti dilepas dan dibuang. Kenapa harus dipasang?Ibu aneh..” jawab cemplolalu meniggalkan mak ijah yang masih terbengong dalam nikmat mengingat mendiang suaminya.

Mak ijah tersadar denganapa yang diucapkan cemplo.Dimana-mana kalender yang habis itu dilepas dan dibuang.Benar juga apa yang dikatakan cemplo. Sesuatu yang lucu manakala orang-orang melihat kalender lama yang masing terpasang. mak ijah mendesah lembut.Namun perasaanya tak bisa ia halangi.Boleh saja kelender di rumah-rumah orang-orang berganti, karena tak ada kenangan yang terpatri.Tapi kalender di rumah ini adalah rajutan kenangan yang tak bisa begitu saja disingkirkan. Ada cerita dan memori yang ingin terus dirawatntya hingga ia benar-benar sebagai bentuk pengabdian cinta yang tak terputus.Akan sulit menjelaskan hal ini kepada cemplo.Anak itu tumbuh dengan akal yang kuat namun lemah nuraninya.Sulit membendung niatnya yang selalu meledak-ledak tanpa mau meresapi beningnya hati.

Mak ijah tak ingin membuat buah hatinya kecewa, namun ia juga tak ingin menghapus memori indah tentang mendiang suaminya. Jika orang-orang memilih untuk melumpuhkan ingatannya akanmasa lalu yang tak bisa terulang, mak ijah justru ingin merajutnya menjadi kenangan yang selalu melintas di kehidupannya.Dan satu gerakan kecil dibuat mak ijah.Kalender itu lepas dengan sobekan. Gantungana paku itu terlalu tinggi dari jangkauan tangannya.“ Biar terpasang di dinding kamar saja, di dekat kaca hias.Disana ia bisa tetap bersolek di cermin datarserasa ditemani suaminya.Kegemarannya berhias tak akan pernah berhenti untuk tetap menjaga seraut wajah ayunya yang tersisa. Bukan untuk siapa-siapa,untuk menjadi saksi bagi lembar-lembar kalender peninggalan suaminya itu. Bahwa cintanya tak akan terhapus oleh pergantian tahun yang selalu berulang itu. “ Ibu,,dengan paku ini ibu tak perlu lagi melepas kalender peninggalan ayah...” ucap cemplo yang datang membawa paku besar dan martil.Cemplo terkejut ketika melihat kelender itu sudah tergulung di tangan ibunya, dengan bekas sobekan.Ibu dan anak itu hanya saling pandang. Mak ijah tak kuasa menahan air matanya lalu mendekap putra tercintanya itu.Isak tangis saling berbalas.Tahun baru itupun seperti merenggut nostagi yang ingin selalu abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun