Mohon tunggu...
Yusuf Cahyono
Yusuf Cahyono Mohon Tunggu... Freelancer - Suka menulis danembaca

.Hidup Harus Berkontribusi...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Giriwoyo Menuju Kampung Literasi

17 April 2017   11:16 Diperbarui: 17 April 2017   20:00 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika  jarimu tak mampu menjamah langit maka biarlah buku yang  mewakilkannya. Mungkin  seperti itu yang  bisa saya  gambarkan  ketika menyaksikan antusiasme anak anak  pelosok dusun Simpar Tirtosworo Giriwoyo Wonogiri Jawa  Tengah.  Harapan untuk bisa menjadi manusia yang berilmu   seperti jeniusnya manusia  yang berhasil  menjejakkan kakinya di bulan.  Bagaimana tidak takjib? Disaat kebanyakan orang di usia mereka lebih asyik masyuk dengan gadget yang menawarkan berbagai  kenikmatmatan maya, justru mereka memilih menjamah  buku.   Menatapnya penuh khidmat hingga lupa sedang berada dimana. Kebersamaan di atas tikar  untuk sejenak  beralih dunia. 

Dunia yang  tertata apik dalam deretan kata dan kalimat hingga kadang membuat dahinya berkerut, sesekali tersenyum bahkan tertawa. Tenggelam dalam  barisan kalimat yang  menyuburkan imajinasi, menyisipkan pesan, hingga kadang menariknya jauh untuk  mampu menyusun  kesimpuan  sendiri atas bacaan yang  telah dilahapnya.

Bocah bocah pelosok yang jauh dari suara bising kendaraan, nyaris bersih asupan oksigen yang  mengisi paru parunya.  Jalan setapak yang belum beraspal dengan  gundukan gundukan bebatuan seperti mengajak warganya untuk tak salah injak.  Untuk selalu waspada atas setiap langkah yang diambilnya. Sebagaimana renungan hidup untuk tidak   salah langkah. 

 Lebat pohon pohon yang masih perawan bersanding dengan bukit bukit yang  penuh batu  adalah alam yang  mengitari segala yang dibutuhkan.  Perlakuan bijak yang selalu diutamakan terhadap lingkungan  menjadi perekat hubungan. Alam yang  yang menghidupi dan penuh dengan pesan persahabatan. Bukan alam yang dieksploitasi hingga meringis gundul lalu tiba tiba ada murka disana.  Pada saatnya  jeritan alam itu menggilas yang ada dibawahnya. Menelan semua peradaban.

Wahyudi sosok dibalik geliat minat baca itu. Gelisah terhadap dusunnya yang  tidak cukup memiliki sarana  untuk dibaca. Tidak lantas diam membiarkan keadaan, namun  terpantik keinginan kuat untuk berbuat. Setidaknya hal kecil. Itu saja!.  Bersama rekan rekannya berbagai upaya dilakoni untuk  mewujudkan satu persinggahan  yang penuh buku buku untuk dibaca warganya. Modal yang ada ia  gunakan tanpa berpikir apa yang dilakukan itu sebuah  kesalahan bila ditilik dari sisi motif ekonomi.

Berbuah manis juga. Gubuk kecil itu bersanding dengan bukit. Ruang mungil yang teduh buat siapa saja yang ingin bercengkerama dengan buku. Hatinya membuncah bahagia manakala  gubuk kecil itu penuh dengan  anak anak yang  memegang buku buku diantara sendau gurau yang  mengaum membentur dinding dinding bukit. Menjadi warna tersendiri  bagi kampung nan pelosok itu oleh asupan buku buku yang penuh dengan ilmu.

Rumah baca sang petulang telah berdiri koko  bersanding dengan pepohonan yang merimbunkan bukit. Kokohnya  oleh siraman  ilmu yang  terbaca hingga menghujam ke bumi. Auranya terserap langit hingga berkah itu  turun bersama orang orang yang memuliakan  ilmu.  Menyikirkan kebodohan dan   kemalasan. Peradaban hanya bisa diubah dengan memperbaiki pengetahuan masyarakatnya.  Kebodohan itu sumber dari segala sumber keburukan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan.

Wahyudi hanya pemuda biasa namun niatnya kuat untuk berkontribusi bagi lingkungannya. Cibiran dan sindiran atas yang diperbuatnya sering  jatuh ke telinganya. ‘’ kenapa begitu memikirkan orang lain?  Piker saja masa depanmu, karena keluagamu bukan keluarga berada.”  Itulah omongan omongan yang berseliweran seperti menasehati orang yang tidak waras. Namun  semua  tak lebih dari pemantik  bagi semangatnya saja. Senyum tulus itu sebuah jawaban tidak  perlu batahan atau berdebat.  Dia berpikir, jika  harus menunggu sukses lalu sampai kapan ia mampu berbuat bagi lingkungannya?

Kini angin semilir bak dikirim dari surge menghampirinya. Respon positip dari berbagai pihak makin  menguatkan tekadnya untuk memajukan desanya  dengan  dunia baca. Bahkan sebentar lagi lewat program yang digulirkan pemerintah pusat, kampungnya terpilih menjadi desa literasi. Sebuah pencapaian yang sungguh luar biasa. Desa percotohan  bagi yang lain.  Ia bersama rekan rekannya telah membidik posyadu sebagai  wahana bagi dunia literasi. Lewat posyadu pojok baca disana akan segera terbentuk. Dua belas posyadu akan ramah bagi pencinta buku.

Sekali lagi. Mimpinya adalah melihat semua warganya doyan baca buku. Mencintai buku sebagai  santapan diantara  rutinitas warganya. Wahyudi mungkin  potret salah satu anak bangsa yang patut kita jadi rujukan untuk kembali menggugah masyarakat  kita untuk  bergairah lagi dengan dunia baca melalui buku.  Jangan sampai budaya baca itu tamat lantaraan tidak ada lagi kepedulian dari semua pihak untuk menjaga dan mewariskannnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun