Jika jarimu tak mampu menjamah langit maka biarlah buku yang mewakilkannya. Mungkin seperti itu yang bisa saya gambarkan ketika menyaksikan antusiasme anak anak pelosok dusun Simpar Tirtosworo Giriwoyo Wonogiri Jawa Tengah. Harapan untuk bisa menjadi manusia yang berilmu seperti jeniusnya manusia yang berhasil menjejakkan kakinya di bulan. Bagaimana tidak takjib? Disaat kebanyakan orang di usia mereka lebih asyik masyuk dengan gadget yang menawarkan berbagai kenikmatmatan maya, justru mereka memilih menjamah buku. Menatapnya penuh khidmat hingga lupa sedang berada dimana. Kebersamaan di atas tikar untuk sejenak beralih dunia.
Dunia yang tertata apik dalam deretan kata dan kalimat hingga kadang membuat dahinya berkerut, sesekali tersenyum bahkan tertawa. Tenggelam dalam barisan kalimat yang menyuburkan imajinasi, menyisipkan pesan, hingga kadang menariknya jauh untuk mampu menyusun kesimpuan sendiri atas bacaan yang telah dilahapnya.
Bocah bocah pelosok yang jauh dari suara bising kendaraan, nyaris bersih asupan oksigen yang mengisi paru parunya. Jalan setapak yang belum beraspal dengan gundukan gundukan bebatuan seperti mengajak warganya untuk tak salah injak. Untuk selalu waspada atas setiap langkah yang diambilnya. Sebagaimana renungan hidup untuk tidak salah langkah.
Lebat pohon pohon yang masih perawan bersanding dengan bukit bukit yang penuh batu adalah alam yang mengitari segala yang dibutuhkan. Perlakuan bijak yang selalu diutamakan terhadap lingkungan menjadi perekat hubungan. Alam yang yang menghidupi dan penuh dengan pesan persahabatan. Bukan alam yang dieksploitasi hingga meringis gundul lalu tiba tiba ada murka disana. Pada saatnya jeritan alam itu menggilas yang ada dibawahnya. Menelan semua peradaban.
Wahyudi sosok dibalik geliat minat baca itu. Gelisah terhadap dusunnya yang tidak cukup memiliki sarana untuk dibaca. Tidak lantas diam membiarkan keadaan, namun terpantik keinginan kuat untuk berbuat. Setidaknya hal kecil. Itu saja!. Bersama rekan rekannya berbagai upaya dilakoni untuk mewujudkan satu persinggahan yang penuh buku buku untuk dibaca warganya. Modal yang ada ia gunakan tanpa berpikir apa yang dilakukan itu sebuah kesalahan bila ditilik dari sisi motif ekonomi.
Berbuah manis juga. Gubuk kecil itu bersanding dengan bukit. Ruang mungil yang teduh buat siapa saja yang ingin bercengkerama dengan buku. Hatinya membuncah bahagia manakala gubuk kecil itu penuh dengan anak anak yang memegang buku buku diantara sendau gurau yang mengaum membentur dinding dinding bukit. Menjadi warna tersendiri bagi kampung nan pelosok itu oleh asupan buku buku yang penuh dengan ilmu.
Rumah baca sang petulang telah berdiri koko bersanding dengan pepohonan yang merimbunkan bukit. Kokohnya oleh siraman ilmu yang terbaca hingga menghujam ke bumi. Auranya terserap langit hingga berkah itu turun bersama orang orang yang memuliakan ilmu. Menyikirkan kebodohan dan kemalasan. Peradaban hanya bisa diubah dengan memperbaiki pengetahuan masyarakatnya. Kebodohan itu sumber dari segala sumber keburukan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan.
Wahyudi hanya pemuda biasa namun niatnya kuat untuk berkontribusi bagi lingkungannya. Cibiran dan sindiran atas yang diperbuatnya sering jatuh ke telinganya. ‘’ kenapa begitu memikirkan orang lain? Piker saja masa depanmu, karena keluagamu bukan keluarga berada.” Itulah omongan omongan yang berseliweran seperti menasehati orang yang tidak waras. Namun semua tak lebih dari pemantik bagi semangatnya saja. Senyum tulus itu sebuah jawaban tidak perlu batahan atau berdebat. Dia berpikir, jika harus menunggu sukses lalu sampai kapan ia mampu berbuat bagi lingkungannya?
Kini angin semilir bak dikirim dari surge menghampirinya. Respon positip dari berbagai pihak makin menguatkan tekadnya untuk memajukan desanya dengan dunia baca. Bahkan sebentar lagi lewat program yang digulirkan pemerintah pusat, kampungnya terpilih menjadi desa literasi. Sebuah pencapaian yang sungguh luar biasa. Desa percotohan bagi yang lain. Ia bersama rekan rekannya telah membidik posyadu sebagai wahana bagi dunia literasi. Lewat posyadu pojok baca disana akan segera terbentuk. Dua belas posyadu akan ramah bagi pencinta buku.
Sekali lagi. Mimpinya adalah melihat semua warganya doyan baca buku. Mencintai buku sebagai santapan diantara rutinitas warganya. Wahyudi mungkin potret salah satu anak bangsa yang patut kita jadi rujukan untuk kembali menggugah masyarakat kita untuk bergairah lagi dengan dunia baca melalui buku. Jangan sampai budaya baca itu tamat lantaraan tidak ada lagi kepedulian dari semua pihak untuk menjaga dan mewariskannnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H