Ditempat duduk yang disediakan tepatdi sebelah kasir sebuah toko buku ternama di kota solo beberapa tahun yang lalu, kenikmatan saya membaca sedikit terusik dengan kehadiran sesorang.Pria bertubuh gempal dengan ramput cepak itu duduk sedikit merapat.Sayapun sedikit bergeser untuk memberikan jarak.Saya kembali melanjutkan membaca buku dan tak memperdulikannya. Namun baru mendapatkan setengah halaman, orang tersebut menanyakan sesuatu. “ Mas jam berapa ya?”cukup melirik jam tangan sayapun memberinya jawaban dan bermaksud melanjutkan membaca.Pria itu rupanya ingin membuka obrolan dengan melanjutkan pertanyaan selanjutnya.
Saya menutup buku dan memberikan kesempatan untuknya.Dari obrolan pertama itu entah kenapa saya begitu terbawa dengan semua yang diucapkannya. Dan tidak layak jikadisebut obrolan, karenaselanjutnya ia yang mendominasi percakapan. Seperti sebuah tesmoni yang cukup panjang.Bila ia bersama istri dan kedua anaknya baru saja terkena musibah. Dikatakannya, jika tas besar yang penuh dengan barang-barang berhargalupa tidak diturunkan dari bus ketika mereka turun di terminal.Kenyataan itu, membuat nasib mereka terlunta-lunta mengingat bekal uang dan lain sebagainya ada dalam koper besar terebut, tinggal menyisakan uang yang tak seberapa dan handphone yang digenggamnya.Dia sudah berusaha untuk menemui pihak berwajib untuk sedikit membatu masalah yang dialami tersebut, namun hasilnya tak seperti yang diharapkan.
Sebenarnya tujuan mereka dari medanbukanlah ke solo, namun ke surabaya.Daripada bolak-balik mereka memutuskan untuk singgah sementara ke solo untuk belanja. Keputusan mendadak itu akhirnya membuat mereka lupa akan barang bawaannya.Pria itupunberusaha menghubungi sanak kerabatnya yang berada di bali untuk menjemput mereka.Butuh waktu yang cukup lama untuk menunggu kedatangan jemputan tersebut, sementara bekal sudah menipis.Saya benar-benar tertegun dengan cerita itu. Dengan wajah datar dan kadang-kadang menyiratkan duka itu, sungguh menggetarkan rasa empati.“ Nah ini anak perempuan saya,, dan istri dengan bayi yang masih kecil..” ucap pria gempal tersebut.
Sejenak pria itu terdiam. Seperti sengaja untuk memberikan saya komentar atau sebuah tanggapan yang sekiranya dapat meringankan masalah yang dihadapinya. Sementara saya masih tertegun.Bingung apa yang bisa saya lakukan untuk membantu permasalah ini, sementara saya tak cukup resensi untuk menganjurkan sesuatu.“ Bingung,apalagi kami belum sempat makan siang sementara uang tinggal sepuluh ribu..”kata pria itu kembali. Sesuatu yang teramat dalam untuk segera disikapi.Ini bukan lagi bercerita, namun sebuah curhat permohonan yang tersirat.Jujur pada waktu itu saya benar-benar tak memegang uang yang cukup. Jika saya berikan takut menghina karena besarnya tak seberapa.Perang batin bergemuruh.Saatnya berbagi kasih kepada sesama yang membutuhkan. Tapi perasaan malu untuk berbagi dengan uang yang tak seberapa itu membuat saya bertahan untuk tidak melakukannya.
Danketika saya terlalu lama membuat keputusan, membuat orang terlihat sedikitkecewa.Ia tak lagi bercerita, dan saya memilih untuk kembali membuka buku. Diantara konsentrasi membaca itu, pria itu berlalu bersama anak perempuannya. Perasaan saya tak nyaman.Pantaskah saya ini disebut orang yang pelit? Terhadap sesuatu yang memilukan seperti itu saya tak ikut berkontribusi? Hingga pertemuan dengan pria itu membuka lembar kelam bagi identitas hati ini.Tak cukup respon terhadap permasalahan orang yang dililit kesulitan.
Dua hari berselang saya berkunjung lagi ke toko buku yangsama. Di rak buku-buku yang bergenre sastra, saya begitu terkejut. Pria bertubuh gempal itu tengah memilih buku.Sapaan saya, membuat iacukup terkejut. Dengan wajah memerah, pupil mata yang melebar ia gugup tak karuan.“ Kok ndak jadi dijemput mas?” ia pun menjawab singkat, dan seperti terburu-buru iamenghilang di balik rak.Saya heran dengan kenyataan itu, namun segera berlalu dengan keasyikan membaca buku-buku. Hingga saya bertemu dengan rekan saya yang bekerja di balai lantai bawah.Obrolan itupun sambung ketika saya bertanya apakah melihat pria bertubuh gempal dengan potongan rambut cepak?Teman saya membenarkannya.bahwa baru saja ia memberikan sejeumlah uang untuk membantu musibah yang dialaminya. “ Dia bercerita baru saja?” teman saya mengangguk.Sungguh janggal cerita yang samayang pernah diceritakan kepada saya, diulang dilain waktu.Sangat tak mungkin ketikaperistiwa tragis bisamelewati batas waktu kejadian.
Saya yakin ini adalah penipuan yang berkedok peristiwa tragis.Entah sudah berapa orang yang telah berhasil dikelabuhinya. Saya membayangkan jika pada waktu membawa uang yang cukup pasti akan mengalami nasib yang sama.Pengalaman inipun membuat saya terkesima.Betapa dekatnya kebenaran dan kepalsuan itusaat didramatisasi.Hati anak manusia cenderung peka terhadap sesuatu yang berbau kemanusiaan.Tak butuh paksaan atau ilmu penghilang kesadaran, kadang cukup dengan kata-kata yang menyakinkan dan sedikit penjiwaan untuk membuat seseorang mudah tergerak untuk mengulurkan kebaikan dan kedermawaannya.Penipuan menyaru dalam bentuk apapun untuk dapat memperdaya korbannya. Yang dibutuhkan adalah daya kritis danjangan membuka diri terhadap seseoarng di ruang publik yang tidak kita kenal.Ladeni saja seperlunya, jika ada gelagat tak wajar, sebaiknya mengambil langkah jauh.Dan jurus yang sering saya gunakan adalah, mengambil handphone di saku.Selanjutnya akting layaknya orang yang menerima telepon.Berdiri sedikit menjauh lalu bercakap-cakap sebagaimana lazimnya orang menerima telepon.Dan segera berlalu dari orang tersebut dengan alasan ada kepentingan mendadak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H