http://www.flickr.com/photos/yusufdaud/7641317082/
Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Muhammad Hasan Tjik di Tiro, nama ini begitu akrab bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Bagi orang Aceh, nama Hasan Tiro berasal dari kaum terhormat, ibarat raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya, hingga kepergiannya pun untuk berpulang ke Rahmatullah diantar oleh ribuan rakyat Aceh dan ditangisi oleh jutaan lainnya. Sementara itu, rekan seperjuangan almarhum yang saat ini menjabat sebagai Pemangku Wali, Malik Mahmud juga dianggap sebagai figur bersih dan berwibawa yang membawa kedamaian bagi rakyat Aceh atas kepemimpinan dan tauladannya. Tapi benarkah demikian kenyataannya? Bagaimana jika itu semua adalah bualan semata dengan cara memanipulasi sejarah dan merekayasa keadaan supaya berpihak kepada keuntungan pribadi? History, bisa berarti HIS STORY.
SYAHDAN, adalah seorang "sultan" yang hendak memegang tampuk kepemimpinan di Aceh, dengan nama monarkis yang terlampau panjang: Al Mudzabbir Al Maulana Al Malik Al Mubin Profesor Doktor Sultan Di Tiro Muhammad Hasan Ibnal Sultan Maat di Tiro. Memang panjang gelarnya itu. Sepanjang riwayat bualannya dari Swedia dan perjalanan sejarah Aceh yang bersimbah darah akibat ulah Sultan "jadi-jadian" ini.
Nama berbaris-baris itu terdengar jumawa. Anehnya, Hasan mengangkat anak tunggalnya, Karim Tiro, sebagai putra mahkota untuk menggantikan posisinya sebagai "raja" Aceh. Cara yang feodalistis dan dinastik ini sangat bertentangan dengan sikap masyarakat Aceh yang egaliter dan demokratis. Manipulasi sejarah ini ditetapkan Hasan Tiro yang menjadi landasan pengukuhan dirinya sendiri sebagai wali nanggroe dan rekan sejawatnya Malik Mahmud sebagai Pemangku Wali dalam rapat rahasia sigom donya di Stavanger Norwegia. Lucunya lagi, rapat tersebut dijadikan landasan oleh DPRA yang memang sebagian besar merupakan kader yang berasal dari Partai eks kombatan GAM, Partai Aceh. Klop sudah kebohongan dan bualan yang diundangkan.
Fakta Sejarah
Semasa hidupnya, Hasan Tiro sering mengaku sebagai keturunan ulama Di Tiro, bahkan berani mengklaim dirinya sebagai pewaris tunggal Teungku Chik Di Tiro. Padahal, menurut catatan sejarah, ahli waris Teungku Chik Di Tiro (dari garis keturunan laki-laki) berakhir pada 5 September 1910. Yakni, setelah wafatnya Teungku Chik Mayet di Tiro yang gugur membela Indonesia melawan Belanda. Bukan seperti Hasan Muhammad Tanjong Bungong yang lari ke luar negeri diuber-uber tentara republik. Lelaki bertubuh kurus pendek ini lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, sebagai putra kedua Leubee Muhammad Tanjong Bungong, pada 1923. Tidak sebuah riwayat pun yang menukilkan ayahnya, Leubee Muhammad, sebagai seorang ulama maupun berdarah biru. Juga tidak ada pertautan dengan Teungku Chik Di Tiro. Hasan lahir sebagai anak petani.
Hasan Tiro= Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong
Jika merunut garis keturunan, maka Hasan mesti menyebut nama lengkapnya Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong, bukan Hasan Tiro, konon katanya pula sultan Aceh. Bahkan ada sumber yang menyebutkan bahwa sesungguhnya ia juga keturunan Jawa-Banten. Aneh dan lucu bukan? Jika semasa hidupnya ia menjadikan kebodohan dan kekurangan orang Jawa sebagai bagian dari propaganda negatif yang selama ini ditebar di Aceh hingga membuat orang Aceh percaya sebuah kebohongan daripada kebenaran dan fakta. Ibarat menjilat ludanya sendiri, Hasan Tiro semasa hidupnya telah menyebarkan kebencian demi keuntungan pribadinya sendiri
Sekarang, Hasan Tiro telah wafat, ketika rakyat Aceh telah terlanjur memercayai segala hal yang menjadi rekayasa politik demi keuntungan pribadinya semata. Sejarah yang dalam bahasa inggris adalah History yang saya plesetkan dalam kasus ini menjadi HIS STORY( ceritanya=bualannya). Bualan Hasan Tiro yang berhasil menempatkan dirinya pada posisi yang begitu terhormat di mata rakyat Aceh. Setelah Hasan Tiro tiada, masihkah bualan dan kebohongan ini berlanjut? Mungkin masih, karena Pemangku Wali, Malik Mahmud Al Haytar sangat mungkin menjadi suksesor manipulasi sejarah Aceh, entah sampai kapan.
Yusuf Daud
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H