Kuliah ke luar negeri merupakan impian saya semenjak kuliah S1 di UNS Solo. Sejak lulus kuliah tahun 2003 saya sering mencari informasi beasiswa s2 ke luar negeri melalui internet atau menanyakan langsung teman-teman yang pernah kuliah di luar negeri. Saya menyadari kuliah ke luar negeri lewat jalur beasiswa bukanlah perkara mudahk karena dari tahun ke tahun peminatnya semakin meningkat sehingga persaingan amat kompetitif. Karena itu, sebelum mencoba mendaftar saya mempersiapkan diridengan berusaha melengkapi persyaratan yang akan diperlukan terutama persyaratan administratif dan kemampuan bahasa Inggeris karena hampir semua beasiswa luar negeri mensyaratkan kemampuan bahasa Inggeris atau menyertakan sertifikatToefl minimal 500 atau 550.
Karena untuk melengkapi persyaratan tidak mudah, maka saya belum berani mencoba mendaftar.Setelah tiga tahun menjadi PNS yang ditugaskan di MAN Leuwiliang, Kab. Bogor sebagai guru Ekonomi/AKuntansi tahun 2008 saya memberanikan diri mendaftarbeasiswa ke berbagai negara namun, setelah tiga kali mencoba saya tetap gagal. Ketiga program beasiswa yang saya ikuti sebanarnya persyaratannya mudah dan bukan program pavorit. Awalnya saya mengirabeasiswa yang tidak mensyaratkan nilai toefldan bukan negara maju akan lebih mudah meraihnya tapi ternyata sulit juga. Pada tahun 2011 saya mulai melirik beasiswa India. Meski jatah beasiswa hanya 20 orang untuk jenjang S1, S2 dan S3 dan mensyaratkan nilai TOEFL 500 saya mencoba mendaftar.Setelah mengikuti tes bahasa Inggeris dan wawancara, sebulan kemudian saya dinyatakan lulus tahap pertama. Kemudian berkas saya dikirim ke lembaga pemberi beasiswa, ICCR (Indian Commission for Cultural Relation) New Delhi bersama pelamar yang lulus dari seluruh Indonesia. Empat bulan kemudian saya dinyatakan lulus tahap ke dua. Saya diterima di University of Mysore, Program Master of Commerce (M.Com). Sebenarnya saya kurang yakin bisa lulus karena pesaingnya cukup banyak terutama dari kalangan dosen universitas negeri, peneliti, pegawai perusahaan dan guru sekolah elit sedangkan saya hanya seorang guru madrasah aliyah dipelosok. Namun, mungkin Allah memiliki kehendak lain sehingga saya termasuk diantara 20 orang yang lulus dan saya satu-satunya guru.
Semenjak memulai kuliah di University of Mysore, saya mendapatkan banyak pengalaman berharga berkaitan dengan budaya dan kebijakan pendidikan India. Meski Mysore bukanlah kota besar seperti New Delhi atau Bangalore, namun suasana kota tersebut sudah mencerminkan suasana internasional sebab banyak sekali pelajar dari berbagai negara datang. Mereka tidak hanya belajar di universitas tapi juga belajar kesenian, budaya dan yoga di lembaga-lembaga lainnya. Sejarah Mysore sebagai salah pusat kerajaan di India selatan menjadi daya tarik. Begitupula tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat wisata mendukung hal tersebut. Yang tak kalah penting adalah hawa kota mysore yang sejuk dan beriklim tropis membuat hampir semua mahasiswa asing bisa beradaptasi karena cuacatidak kontras antara musim dingin dengan musim panas.
Satu semester kuliah di India saya merasakan keunikan dan penuh tantangan. India sebagai negara berkembang memiliki masalah yang kompleks tapi saat ini sedang mengalami perkembangan yang pesat terutama dibidang ekonomi dan teknologi informasi. Dengan penduduk yang berjumlah lima kali dari Indonesia atau lebih 1, 2 milyar dan wilayah hampir dua kali lipat Indonesia, pemerintah India mampu mengelola pendidikannya sedemikian rupa sehingga bisa dinikmati ratusan juta warganya. Meski 1/3 penduduknya miskin, di India kesempatan kuliah dari S1, S2 dan S3 amat mudah karena pemerintah memberikan subsidi yang besar bagi warganya sehingga biaya pendidikan terjangkau. Makanya tidak aneh, di India lulusan master terutama bidang teknik dan IT jumlahnya pulahan ribu tiap tahunnya. Begitupula mudah ditemukan pula orang yang menyandang gelar Doktor.
Meski bangunan kampus kampus India sederhana dan biayanya terjangkau, uniknya pembelajarannya menggunakan bahasa Inggeris dengan kurikulum standard Internasional terutama mengacu ke sistem Inggeris. Namun, terkadang metode pembelajaran amat ‘jadul’ karena pembelajaran tidak inovatif. Contoh kecil, setiap tugas harus ditulis tangan, begitu pula masih banyak kelas-kelas menggunakan kapur tulis dan penggunaan media masih jarang meski peralatan tersedia. Perkuliahan amat padat, Pengalaman saya tatap muka setiap mata kuliah dilaksanakan tiga kali dalam setiap minggunya. Sehingga perkuliahan harus dilksanakan lima hari penuh dalam satu minggu. Bahkan rekan saya di college yang lain ada yang harus mengikuti perkuliah selama enam hari dalam seminggu. Keunikan dalam ujian pun saya temukan. DI India kita harus terbiasa menjawab soal ujian panjang lebar tergantung berapa bobot nilai setiap soalnya. Pengalaman saya pada ujian semester kemarin, setiap mahasiswa diberikan satu buku jawaban soal yang berisi 36 halaman. Padahal soal hanya 5 soal tentang pengertian/konsep dasar, 5 soal uraian dan 1 soal studi kasus yang harus diselesaikan 2 jam.
Namun, ditengah ‘kejadulannya’ kuliah di India bisa juga mengasyikan karena harga buku lebih murah dianding dengan negara lainnya terutama yang berbahasa Inggeris terbitan penerbit amerika atau eropa karena buku-buku tersebut dicetak di India atas licensi penerbit tersebut. Pengalaman saya, jika buku teks harganya bisa 1/3 atau kurang dari harga yang di beli di Indonesia. Keasyikan lainnya, biaya riset terutama bagi mahasiswa S3 tersedia luas namun sayangnya itu khusus warga India. Satu poin lagi, banyak dosen-dosen India yang go ‘internasional’ menjadi dosen tamu diberbagai kampus di Negara-negara maju padahal mereka mayoritas adalah lulusan local. DI Mysore University sendiri hampir semua dosen mengenyam pendidikan S1,S2 dan S3 di kampus tersebut namun banyak diantara mereka ‘manggung’ di luar India minimal presentasi hasil penelitian mereka di forum internasional.
Keunikan India karena beragamnya suku, agama, budaya dan kondisi sosial ekonomi India, menjadi daya tarik mahasiswa asing untuk belajar ke India. Puluhan ribu mahasiswa asing datang dari lebih 100 negara. Umumnya mereka berasal dari Iran, Cina, Arab, Afrika, bekas pecahan uni soviet, Asean dan negara-negara maju meski jumlahnya tidak dominan. Namun sayangnya jumlah mahasiswa Indonesia ‘amat langka’ dibanding dengan negara lain termasuk dengan Negara maju seperti Amerika. Saya tidak tahu kenapa mahasiswa Indonesia tidak tertarik belajar ke India. Bahkan, saya temukan mahasiswa Indonesia yang sedikit itu saja seringnya ‘mengeluh’ karena mereka tidak tahan dengan kondisi india baik sistemnya maupun masyarakatnya. Ini India, teman! Kata rekan-rekan mahasiswa asing.
Apapun kondisi masyarakat India, saya berharap bisa menambah wawasan dan pergaulan global meskipun nantinya saya aplikasikan dalam konteks lokal yaitu, sekolah tempat saya mengajar yang ada di daerah pedesaan. Saya yakin pola pendidikan atau kebijakan lainnya di India lebih mudah diterapkan karena kondisinya hampir sama dengan negara kita. Berbeda jika saya belajar dinegara maju. Saya yakin setelah lulus saya akan kebingungan menerapkan ilmu yang saya dapatkan karena konteks masyarakat dan kondisi negaranya amat berbeda. Saya tidak ingin seperti banyak teman-teman yang semakin asing dan bingung setelah pulang kampung kuliah. Jika anda suka tantangan, belajarlah ke India.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H