Konflik antara Ukraina dan Rusia merupakan salah satu isu geopolitik paling signifikan dan kompleks di abad ke-21, dengan akar sejarah yang dalam dan beragam faktor yang saling berinteraksi. Hubungan antara kedua negara ini telah dibentuk oleh sejarah panjang yang mencakup berbagai periode, mulai dari masa Kievan Rus pada abad ke-9, di mana keduanya berbagi warisan budaya dan sejarah, hingga era Uni Soviet yang menyaksikan Ukraina menjadi salah satu republik yang terintegrasi dalam struktur kekuasaan Moskow. Setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, Ukraina meraih kemerdekaannya dan berusaha untuk menegakkan identitas nasionalnya yang terpisah dari pengaruh Rusia.Â
Latar Belakang Konflik
Ketegangan mulai meningkat pada akhir 2013 ketika Presiden Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych, mengambil keputusan untuk menunda penandatanganan perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa. Keputusan ini memicu protes besar-besaran di Kiev yang dikenal sebagai Euromaidan, di mana rakyat Ukraina menuntut integrasi lebih dekat dengan Eropa dan penegakan reformasi anti-korupsi. Protes ini berlanjut selama beberapa bulan dan berujung pada penggulingan Yanukovych pada Februari 2014. Situasi politik yang tidak stabil ini dimanfaatkan oleh Rusia untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan tersebut. (RagamInfo, 2023)
 Pada Maret 2014, Rusia melancarkan aneksasi terhadap Semenanjung Krimea setelah mengadakan referendum kontroversial yang dianggap ilegal oleh banyak negara. Tindakan ini memicu kecaman internasional dan sanksi ekonomi terhadap Rusia, serta meningkatkan ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat. Setelah aneksasi Krimea, konflik bersenjata meletus di wilayah Donbas, Ukraina timur, di mana kelompok separatis pro-Rusia di Donetsk dan Luhansk mendeklarasikan kemerdekaan. Rusia dituduh memberikan dukungan militer dan logistik kepada kelompok separatis ini, meskipun Kremlin membantah terlibat secara langsung. (Oktarianisa, 2022)Â
Salah satu faktor utama yang memperburuk konflik adalah keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa. Bagi Rusia, hal ini dipandang sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Dalam pandangan Kremlin, perluasan NATO ke arah timur dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian pasca-Perang Dingin yang seharusnya menjamin bahwa aliansi militer tersebut tidak akan bergerak lebih dekat ke perbatasan Rusia. Di sisi lain, banyak warga Ukraina melihat integrasi dengan Barat sebagai langkah penting untuk memastikan kedaulatan dan kemerdekaan negara mereka dari pengaruh Rusia. (Bustomi, 2024)
 Meskipun beberapa upaya perdamaian dilakukan melalui Perjanjian Minsk pada tahun 2014 dan 2015, implementasinya gagal membuahkan hasil yang signifikan. Ketegangan terus meningkat dengan terjadinya pelanggaran gencatan senjata secara berkala dan meningkatnya aktivitas militer di sepanjang garis depan. Pada akhir tahun 2021 dan awal 2022, Rusia mulai mengerahkan pasukan besar-besaran di perbatasan Ukraina, menimbulkan kekhawatiran akan invasi lebih lanjut. (Bustomi, 2024)Â
Puncak dari konflik ini terjadi pada Februari 2022 ketika Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina. Invasi ini tidak hanya menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah dengan jutaan pengungsi yang melarikan diri dari negara tersebut, tetapi juga mengubah lanskap geopolitik global. Negara-negara Barat merespons dengan memberikan dukungan militer dan ekonomi kepada Ukraina serta memberlakukan sanksi ekonomi yang lebih ketat terhadap Rusia. Konflik ini telah menyebabkan gangguan signifikan dalam pasokan energi global dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi di seluruh dunia.
 Dinamika Geopolitik Â
 Perang antara Ukraina dan Rusia telah memunculkan dinamika geopolitik yang kompleks, mengubah tatanan keamanan Eropa sekaligus memengaruhi keseimbangan kekuatan global. Invasi Rusia pada Februari 2022 tidak hanya memperdalam keterlibatan NATO di kawasan, dengan Swedia dan Finlandia yang sebelumnya netral kini bergabung, tetapi juga memicu lonjakan belanja pertahanan di negara-negara Eropa. Di sisi lain, isolasi Rusia akibat sanksi ekonomi besar-besaran yang diterapkan oleh Barat, termasuk pembatasan akses ke sistem keuangan global dan embargo energi, memaksa Moskow mempererat hubungan dengan Tiongkok dan negara-negara Global South yang enggan berpihak secara eksplisit. Konflik ini juga menciptakan dampak besar pada rantai pasokan global, di mana ekspor gandum dan bahan pangan Ukraina yang terganggu memicu krisis di negara-negara berkembang, sementara melonjaknya harga energi memperburuk inflasi di seluruh dunia. (Muhaimin, 2024)
 Konflik juga ini menjadi ajang uji coba teknologi militer modern, seperti drone dan senjata presisi tinggi, yang tidak hanya memengaruhi jalannya konflik tetapi juga mendikte perkembangan teknologi perang di masa depan. Sementara itu, solidaritas Barat terhadap Ukraina, melalui bantuan militer dan diplomatik, memperkuat posisinya di panggung internasional, tetapi juga menimbulkan reaksi keras dari Rusia yang berusaha mencari sekutu baru di antara negara-negara seperti Iran dan Korea Utara.w Dalam konteks domestik, Rusia menghadapi ketegangan internal berupa protes anti-perang dan gelombang emigrasi, sementara Ukraina menjadi simbol perlawanan terhadap agresi, memperkuat dukungan global terhadap prinsip kedaulatan negara. Konflik ini juga mempercepat pergeseran ke dunia multipolar, di mana negara-negara seperti India dan Turki memanfaatkan netralitas mereka untuk memainkan peran mediasi dan memperkuat pengaruh geopolitik mereka. Dengan semua dampak ini, perang Ukraina dan Rusia bukan sekadar konflik regional, melainkan katalis perubahan tatanan global di tengah persaingan ideologi, ekonomi, dan militer di abad ke-21.Â
Peran IGO Dalam Menagani Kekerasan Seksual Terhadap Konflik