Di saat masyarakat ramai membicarakan wacana redenominasi saya jadi teringat cerita seorang teman. Teman saya ini adalah seorang lulusan Magister Manajemen yang memutuskan untuk meneruskan usaha almarhum bapaknya sebagai petani tebu. Lahan yang dia sewa untuk menanam tebu mencapai 20 hektar. Sementara pekerja yang membantunya dalam mengelola bisnis tebu ini sekitar 10 orang, bisa bertambah banyak kalau tiba musim panen. Kalau musim panen tiba maka setiap hari dia harus ke kebun untuk mengawasi proses panen tebu tersebut. Menurutnya saat ini susah sekali mencari pekerja untuk panen tebu. Kalau pun ada tidak sedikit dari mereka ini memiliki potensi untuk berbuat curang, misalnya mengambil dan mengumpulkan beberap batang tebu. Oleh karena itu harus tetap diawasi.
Katanya meski cukup berat juga bekerja sebagai petani namun ada hal-hal unik yang banyak dia temui yang bisa dijadikan hiburan sekaligus refleksi diri. Ada salah satu hal unik yang diceritakannya dan mengingatkan saya pada wacana redenominasi yang saat lagi banyak memancing komentar para ekonom-ekonom kelas wahid di negeri ini, baik yang pro maupun yang kontra. Ceritanya terkait dengan salah seorang pekerjanya yang masih cukup muda. Anak muda ini merasa tidak memiliki kemampuan bersaing di dunia kerja karena belum pernah mengenyam pendidikan. Pada saat melamar sebagai pekerja di kebun tebu, anak muda ini menyampaikan keinginannya bahwa dia ingin sekali beli sepeda motor. Oleh karena itu dia minta kepada kawan saya ini untuk tidak usah memberikan gajinya tapi supaya gajinya disimpan saja. Harapannya ketika uang gajinya telah mencukupi untuk membeli sepeda maka dia akan ambil uang itu.
Kawan saya ini agak merasa heran juga dengan keinginan sang anak muda ini. Mungkin merasa ada raut keheranan yang tersembul pada muka kawan saya ini tiba-tiba saja sang calon pekerja ini mengaku kalau tidak tidak tahu soal uang. Sekejap kemudian kawan saya mengeluarkan uang lembaran seribu rupiah dan ditanyakan kepada pemuda tadi. Tanpa dinanya-nanya dia menjawab kalau itu uang gambar pedang. Loh??!!. Selanjutnya kawan saya mengeluarkan uang lembaran lima puluh ribuan. Pemuda itu mengatakan kalau itu uang biru. Lho...lho...lho. Ternyata pemuda itu memaknai uang dari simbol dan warna yang ada pada uang tersebut. Lembaran seribuan, misalnya, dia memaknai dan menamai uang itu dari gambar yang ada pada lembaran seribuan itu. Kebetulan gambar yang ada pada lembaran seribuan adalah gambar pahlawan nasional Kapitan Patimura yang sedang membawa pedang maka gambar pedang itulah yang dijadikan indikator uang seribuan. Dia tidak tahu berapa nilai uang itu, meskipun ada angka yang tertera di dalam lembaran uang tersebut sebagai penunjuk nilai uang. Bisa jadi kalau pemuda itu saat ini ditanya soal redenominasi maka mungkin dia akan menjawab dengan pertanyaan, “So What Gitu Loh?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H