Pesan Nabi, tentang mati
janganlah minta mati sebelum waktunya mati
Semua orang pasti mati
hanya soal waktu
Penggalan puisi karya Taufiq Ismail di atas langsung terlintas di benakku. Hari ini, Ananda Setiabudi, kakak iparku yang tertua telah berpulang ke Rahmatullah dalam usia 54 tahun. Beliau meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Isak tangis dan kesedihan keluarga kami masih belum bisa menghapus segala kenangan dengan beliau. Kami masih tak percaya, seolah masih terasa kehadiran beliau di tengah-tengah keluarga kami.
Semalam pukul 21.00-an, beliau berangkat menunaikan tugas di daerah Jakarta Timur. Sekitar pukul 01.00 dini hari tiba-tiba pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat yaitu RS Persahabatan. Namun siapa yang bisa menduga, jika Allah sudah berkehandak? Pukul 03.30 beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tulisan ini tentu bukan hanya sekedar mengenang kematian beliau, namun lebih mengingatkan kepada kita yang masih hidup untuk mengambil hikmah dari sebuah kejadian yang namanya kematian.
Sebuah hikmah yang sangat penting untuk kedua anakku. Kejadian ini merupakan pengalaman pertama kedua anakku melihat langsung orang meninggal.
“Nak…., kematian pasti datang untuk menjemput kita. Entah kapan, baik kita sedang dilanda sakit ataupun masih sehat dan segar bugar. Datangnya kematianpun tidak memandang apakah usia kita sudah tua ataupun yang masih muda”, jawabku ketika anakku yang kecil (6 tahun) menanyakan kenapa Pakdhenya meninggal. Anakku yang pertama (13 tahun) ikut juga menyimak.
“Waktu kamu umur 2 tahun, adikmu juga meninggal sesaat setelah dilahirkan. Pada waktu itu mungkin kamu belum begitu mengerti bagaimana rasanya kehilangan saudara karena kamu memang masih terlalu kecil untuk mengerti”.
“Mengapa orang-orang berdatangan ke rumah untuk ta’ziah, karena agama kita memerintahkan kepada kita yang masih hidup untuk orang yang sudah meninggal. Kita seyogyanya menengok orang yang baru meninggal sebagai rasa bela sungkawa dan kepedulian kita terhadap sesama. Berikutnya kita diperintahkan untuk memandikan, mengafani dan menyolatkan jenazah. Yang terakhir kita diwajibkan untuk mengantarkan yang terakhir kalinya ke pemakaman untuk kemudian dikuburkan”.
“Dengan begitu kita telah memenuhi kewajiban kita terhadap sesama manusia sebagai perbuatan yang baik. Perbuatan baik tidak lantas hanya untuk orang yang meninggal saja, namun yang lebih penting justru kita lakukan pula pada orang-orang dan teman-teman kita yang masih hidup, karena itu juga perintah agama. Bisa jadi nanti kita tidak bisa menghadiri atau tidak mengetahui berita kematian teman kita. Makanya kita harus berbuat baik kepada teman kita selagi kita masih dipertemukan dan diberi kesempatan bersama-sama dengan mereka. Ingatlah…., kadang kesempatan berbuat baik kepada teman menjadi tak bermakna manakala teman kita sudah terlanjur meninggal”.
“Itu tadi merupakan hikmah yang pertama buat kita. Hikmah kedua yang harus bisa kita ambil adalah jangan menunda sholat. Sebelum berangkat kerja, Pakdhemu telah menunaikan kewajibannya yang terakhir yaitu menunaikan sholat Isya’ berjamaah di masjid. Coba kalau Pakdhe berangkat kerja kemudian meninggal dan belum melaksanakan sholat Isya’? Satu kesempatan telah hilang dan tidak bisa diulang lagi”
Hening. Aku biarkan beberapa menit untuk berdiam diri, dengan harapan kedua anakku berkesempatan merekam apa yang baru saja aku utarakan.
Semoga kelak kedua anakku akan membaca tulisanku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H