Mohon tunggu...
Yusuf Dwiyono
Yusuf Dwiyono Mohon Tunggu... profesional -

Kumpul sama orang gila nggak ketahuan warasnya ......\r\nKumpul sama orang waras, baru ketahuan gilanya .......\r\n(Albert Kenthir)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bukan Humor] Selasa, 22 April 2087

22 April 2012   14:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335104315966754310

Sudah satu jam lebih, Hermavaldi, seorang kakek yang sudah amat renta, mengayuh sepeda tuanya. Dengan sangat pelan menyusuri Jalan Susilo Bambang Yudhoyono, sebuah jalan cukup besar yang membelah tepat di tengah kota Pacitan, Jawa Timur. Udara panas begitu menyengat. Sesekali Hermavaldi menyeka peluh yang tak henti-henti mengalir dari pori-pori keningnya. Ditambah teriknya sinar matahari yang makin terasa pedih membakar kulit lengannya.

Sepi tanpa suara. Tak ada satupun tanda-tanda kehidupan. Rumah-rumah di sepanjang jalan sepertinya sudah tidak terurus, kotor dan berdebu. Beberapa tulang-belulang bangkai hewan ternak terhampar di rerumputan kering yang terbakar panas. Sungguh memilukan.

Beberapa kali, udara panas angin laut meniup dengan perlahan dan menyisakan suara pelan beberapa derit pintu yang telah lama rusak. Desisan daun kering di tanah sesekali terdengar menyayat hati.

Hermavaldi menghentikan laju sepedanya tepat di sebuah rumah tembok besar yang tak berdaun jendela. Masih nampak sebuah pohon besar yang sudah terlihat rapuh dan mengering. Gersang tanpa daun satu helaipun. Sampah plastik bercampur sisa daun dan ranting kering berserakan hampir di seluruh pelataran. Bahkan selokan kecil di pinggir jalan itu telah penuh dengan berbagai macam sampah yang berserakan menyatu dengan halaman, bahkan dengan rumah itu.

Sebuah rumah yang telah menorehkan kenangan indah bagi Hermavaldi. Di rumah inilah ia pernah tinggal. Di rumah ini pulalah, empat puluh tiga tahun yang lalu, ia pernah mengenal seseorang. Salimatu namanya. Seorang gadis yang akhirnya telah mengisi hidupnya hampir 40 tahun lamanya. Masih terngiang kata-kata Salimatu sebelum bencana kekeringan melanda hampir seluruh kota di Pulau Jawa ini. Tak terkecuali kota kelahirannya, Pacitan.

“Pa .., semua tetangga sudah pergi mengungsi,” kata Salimatu sambil berurai air mata. Sembari memegang tangan suaminya, Salimatu meminta untuk yang kesekian kalinya.

“Rombongan terakhir tinggal kita berdua dan keluarga Pak Walikota. Aku mohon dengan sangat Pa…. ,”

“Sudahlah Ma .., Seperti yang aku bilang, aku tidak akan pernah meninggalkan Pacitan Ma. Aku lahir dan hidup di sini, dan aku juga ingin mati di sini.”

Isak tangis Salimatu bertambah keras. Tak rela hatinya harus meninggalkan suaminya yang begitu keras kepala tetap ingin tinggal. Sambil mengusap air matanya, Salimatu masih berupaya untuk meyakinkan Hermavaldi, suaminya.

“Nanti siapa yang akan mengurus Papa? Sudah tidak ada lagi orang lain yang mau tinggal di sini.”

“Biarlah takdir yang menjawab Ma, sisa umurku juga sudah tak lama lagi. Sekarang saja umurku sudah 72 tahun, sudah waktunya sepertinya ……..” kata Hermavaldi datar.

Namun hatinya tak dapat dibohongi. Tak terasa, air mata Hermavaldi mulai merambat turun perlahan menyentuh pipinya. Terasa dingin. Sedingin tekadnya untuk tidak hengkang dari tanah ini, tanah kelahirannya. Pandangannya sedikit kabur. Oh kenangan itu. Setetes air mata membangunkan dari lamunannya.

Hermavaldi segera menyeka pipi dengan tangan keriputnya. Semua yang di depannya kembali jelas. Dialihkan pandangannya menuju seberang jalan. Tak jauh berbeda. Nampak rumah-rumah kosong tak berpenghuni berpadu dengan serakan sampah!

***

Di sebuah Musholla kecil. Pagi baru saja menampakkan garis cakrawala. Di ufuk timur terlihat langit masih kelabu. Hanya ada sedikit sinar pudar yang sepertinya enggan nampak. Sudah lebih dari tiga puluh tahun lamanya, Hermavaldi menyambut pagi tanpa ada suara kokok ayam maupun kicauan burung. Pun tak terdengar lagi suara gonggongan anjing seperti saat-saat dulu. Saat sebelum alam marah karena ulah manusia. Saat sebelum Pulau Jawa kehabisan pasokan air bersih.

Usai menunaikan sholat shubuh, Hermavaldi menuju tembok di samping kirinya. Sebuah tembok warna putih yang penuh dengan coretan-coretan angka di sana sini. Diraihnya spidol hitam yang terikat dengan benang warna putih kusam.

Dengan tangan agak gemetar, Hermavaldi menuliskan sesuatu. Menuliskan sebuah puisi.

Tuhan …,

entah apa dosaku selama ini

sehingga Kau hukum aku

dengan segala kepahitan hidup

Tuhan …,

kenapa Kau timpakan kepadaku

sebuah luka yang sangat pedih

selama hampir empat puluh tahun

Tuhan …,

di usiaku yang ke-112 tahun ini

kenapa tidak Kau akhiri saja dunia ini …

Hari Bumi Sedunia 2087

Selasa, 22 April 2087

*)Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati Hari Bumi Sedunia, 22 April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun