Satu inci lebih tinggi letak dagumu dari dahiku, tak membuatku canggung untuk tetap asyik bercerita denganmu. Â Siang ini matahari terik, namun ruangan berpendingin tak menyadarkan kami betapa panasnya di luar sana.Â
Sepuluh menit, aku membuka percakapan namun kemudian ia memandangku dengan tatapan agak aneh. Alisnya mengernyit.
Mendadak sontak, nuraniku memperingatkan adanya ketidakberesan akan  tampak depan wajahku ini. Apakah ia menemukan bintik jerawat yang baru tumbuh, ataukah bedakku tidak tersapu rata, apakah olesan lipstikku tak tepat?
Aku tak melanjutkan perbincangan dan memilih diam. Aku sedikit - hanya sedikit saja - agak tersinggung dengan cara menatapnya itu.
"Ada apa, Di? Mukaku jadi lebih jelek?" tanyaku tak bisa menyembunyikan nada gusarku.
"Bukan begitu, tapi kok ada yang aneh..," ucapnya.
Aku mencoba memverifikasi prasangkaku sendiri. Ini pasti tentang jerawat yang memang tiba-tiba tumbuh tadi pagi, yang baru kusadari ketika sedang menata rias saat hendak ke kantor.
"Baiklah. Silakan lihat lebih dekat," aku menyela cepat. "Ini wajahku..."
Aku menyorongkan mukaku padanya.
Ia agak terperanjat, namun segera tersenyum lebar. Apakah perasaanku tidak salah, apakah ia akan mengejekku lebih lanjut?
"Bukan begitu, Ren. Aku sekadar memastikan. Kamu kelihatan sedikit murung pagi ini. Itu saja," jawabnya ringan.