“I'm gonna love you like nobody's loved you come rain or come shine
High as a mountain and deep as a river come rain or come shine
I guess when you met me it was just one of those things
But don't ever bet me cause I'm gonna be true if you let me”
Alunan suara Billie Holiday menyusuri setiap sudut cafe ini. Bersahut-sahutan dengan rintik hujan yang menari-nari di luar sana. Dan kita terhempas di sudut cafe ini. Tentang kisah kita sendiri-sendiri. Ya, kisahmu, kisahku, mempertemukan kita. Kisahmu tentang hidupmu dan kisahku dengan hidupku. Yang semua dimulai dengan tanda tanya. Ya tanda tanya.
Bukankah ini tidak adil, bagaimana bisa atas nama iman dan agama kemudian cinta dan perasaan mengalah? Kalau Tuhan penentu takdir, kenapa Tuhan harus menginjinkan aku bertemu dengan dia lalu berujung pisah? Apakah Tuhan sejahat itu? Lalu aku harus bagaimana lagi?
Aku capek!
Begitulah kamu memulai kisahmu dengan tanya. Sekejap aku menatap bola matamu yang indah itu. Seperti golongan rol film yang kau simpan di sana. Jauh di dalam matamu. Siap kamu putarkan kapan saja. Ya, aku bisa melihat capekmu itu. Matamu menjelaskan semua. Tapi di satu sisi, matamu banyak menyimpan misteri yang harus aku sibak satu – persatu.
Kamu menarik nafasmu dalam-dalam. Seperti ada beban yang menahan. Tanganmu meraih telinga cangkir kopimu. Perlahan didekatkan ke bibirmu. Lalu kamu menyeruput lagi kopi Toraja kalosi. Perlahan kamu menghempaskan tubuhmu dengan pasrah di sandaran kursi.
Terus kamu mau seperti apa hidupmu? Apakah terus menyalahkan keadaan?
Kali ini aku yang mulai mengambil bagian dalam setiap tanyaku padamu. Mencoba mengambil alih pembicaraan ini. Berharap kamu menjawab. Kalaupun tidak, tak mengapa.
Dan kamu masih mengarahkan pandanganmu keluar. Entah apa yang kamu lihat. Orang-orang yang lalu lalang menghindari hujan di luar sana. Ataukah kekecewaanmu yang kau leburkan bersama hujan yang menari-nari di luar. Aku tak tahu.
Kamu menoleh. Kali ini aku bisa melihat kamu tersenyum. Ya, sejujurnya aku iri pada senyummu itu. Seolah ada ketegaran dibaliknya. Aku kagum pada senyummu. Seolah semua pesona tentangmu berawal dari situ. Ah, ingin rasanya menciummu di bawah hujan.
“Aku yaa aku, jalani saja seperti ini. Apa yang mau terjadi, terjadilah. Que sera sera, whatever will be, will be.” Katamu sambil mengetuk-ngetuk bibir cangkir dengan ujung kuku telunjukmu.
Aku tertawa kecil dalam hatiku. Que sera sera! Ah, bagaimana kamu bisa mengatakan itu. Judul lagu vintage yang ditulis Jay Livingston dan Ray Evans tahun 1956. Jadi populer di film detektif Alfred Hithcock, “The man who knew to much” yang diperankan Doris Day dan James Stewart.
“Tapi kenyataannya tidak seperti yang kamu bilang itu.” Kataku sambil menatap wajahmu dengan dalam.
“Maksudmu?” Kali ini kamu mencoba menggeser posisi tubuhmu agak ke depan. Sepertinya kamu penasaran dengan apa yang baru saja aku ucapkan.
“Kalau kamu berserah atas hidupmu, harusnya kamu ngga mempersalahkan Tuhan atas apa yang kamu alami sampai saat ini. Mungkin jalan pikiran Tuhan bagi kita manusia ngga bisa diselami maksudnya apa. Ya, ambil hikmahnya saja dari semua ini. Memang serba salah juga sih.” Aku mencoba menjelaskan dengan bijak.
"Aku pusing. Bingung dengan semua ini." Katamu
Lalu kita berdua diam sesaat. Aku mencoba mereka-reka, seperti apa dirimu. Kamu adalah tanda tanyaku. Dan kamu tenggelam dalam kisahmu. Tanda tanya apalagi dari Tuhan yang masih akan berlanjut dalam kisah hidupmu.
You're gonna love me like nobody's loved me come rain or come shine
Happy together unhappy together and won't it be fine?
Days may be cloudy or sunny
We're in or we're out of the money
Hari semakin menua di langit Jakarta. Hujan seperti tak ada sopan-santunnya. Datang lalu lupa kembali ke awan. Cafe inipun makin sunyi. Menyisakan dua pasangan. Salah satunya adalah kita yang masih bertahan di sudut ini.
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini!
Aku mencoba memecahkan keheningan. Kamu menoleh lagi. Ah, lagi-lagi matamu seolah menelanku bulat-bulat. Benar-benar aku tak berdaya dibuatmu.
“Oh ya?” tanyamu.
“Ya, kita semua pernah mengalaminya. Mencintai orang yang salah, menjalani kisah yang salah, dalam posisi serba salah dan menyalahkan keadaan.”
“Aku pernah melewati itu semua. Dengan mantanku sekarang.” Kamu menanggapiku.
“Dia pria yang bisa mengertiku tanpa aku bicara siapa aku. Dia bisa membuatku bahagia. Dia bisa membawaku ke tempat-tempat yang mungkin selama ini hanya ada dalam impianku. Tapi sayang.....” kamu menoleh sejenak keluar. Seperti berat untuk mengungkapkan.
“Karena beda agama dan prinsip.” Aku melanjutkan kata-katamu yang terputus tadi. Dan kamu hanya mengangguk pelan.
“Terus sekarang, kamu dengannya bagaimana?” Aku melanjutkan tanyaku.
“Aku berusaha profesional. Dia juga. Meski kita masih tetap traveling bersama.” Kali ini kamu terlihat tenang. Laksana pelari yang menang atas perlombaan. Kamu seolah menang atas dirimu sendiri. Atau juga atas mantanmu.
“Sebentar, kamu masih bisa jalan dengannya, berhari-hari atas nama profesionalisme? Terus, perasaan yang pernah ada itu kamu taruh di mana?” Ah, bagiku ini nonsense!
“Ya sulit memang sebagai perempuan normal, ini ngga mungkin bisa. Tapi seperti yang aku bilang tadi. Que sera sera.”
Aku menyeruput kopiku yang menjadi dingin. Sedingin malam ini. Perempuan macam apa di depanku ini yang dapat mengendalikan perasaannya dengan begitu hebat? Padahal hidupnya laksana musim yang berganti-ganti. Kadang kemarau lalu berganti musim semi lalu sekejap menjadi hujan. Tapi dia tetaplah dia.
I'm gonna love you like nobody's loved you come rain or come shine
High as a mountain deep as a river come rain or come shine
I guess when you met me it was just one of those things
But don't ever bet me cause I'm gonna be true if you let me
“Ini gila. Aku ngga percaya.” Aku membuka lembar berikut dari bab demi bab kisah malam ini.
“Maksudmu?” tanyamu
“Kamu dan mantanmu adalah kisah yang salah dan kini aku dan kamu adalah kondisi yang salah.”
“Hey, maksudnya apa?” Kali ini kamu yang mencoba menyibak tanya atasku.
“Salahkah, jika aku terlanjur mencintaimu bukan kisahmu?” Ini ucapan paling getir yang harus aku ucapkan. “Maafkan aku.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku ngga punya hak atas perasaan orang lain atasku.” Jawabmu.
Dan aku mulai menatapmu sekali lagi dengan penuh tanya. Perempuan macam apa yang bisa menjawab seperti ini? Aku ngga pernah mendengar kata-kata seperti ini dari seorang perempuan dalam posisi seperti ini. Jawabanmu menambah lagi daftar kekagumanku padamu.
“Lalu? Hanya itu reaksimu?” Aku mencoba memancing.
“Aku menghargaimu, tapi seperti yang kamu bilang sebelumnya. Keadaan kitalah yang salah. Aku yang harus menjaga perasaaanku padamu. Karena aku tahu, semuanya sudah salah dari awal..”
Getir. Lagi-lagi jawabanmu getir. Ah malam, entah di mana aku harus lari bersembunyi atas semua kisah ini.
------------------------
Malam di rumah seperti malam-malam sebelumnya. Aku kembali dengan kisahku. Kamu kembali dengan kisahmu. Orang bilang ini takdir, aku bilang ini bukan kebetulan. Atau hanya terjadi begitu saja? Bukankah yang kebetulan juga bagian dari rencana Tuhan meski dalam kisah yang salah?
Malam di rumah seperti malam-malam sebelumnya. Aku merenungi setiap jejak langkah kaki di hidupku sampai saat ini. Terlalu banyak tanda tanya.
Lalu pada buku sampul abu-abu ini aku menggoreskan semua.
“Kamu tahu Dee, kamu adalah tanda tanya dalam hidupku. Dan selalu menjadi tanda tanya. Kalau ada yang perlu aku salahkan, maka waktulah yang perlu aku salahkan. Kenapa hadirmu di saat bunga sedang merekah di musim semi? Atau kenapa aku harus hadir di saat kamu mengalami musim hujan dan aku tidak bisa memberikan keteduhan? Tapi seperti katamu, Que sera sera, whatever will be will be.
(Jakarta, Java Jazz Coffee, Hujan bulan Januari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H