Mohon tunggu...
Yustri Samallo
Yustri Samallo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri Ambon.

"Pencerahan selalu bertujuan membebaskan manusia dari rasa takut dan menegakkan kedaulatannya. Namun, negeri yang benar tercerahkan itu menyebarkan kejayaan malapetaka."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Samratulangi

8 Februari 2020   23:01 Diperbarui: 8 Februari 2020   23:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Suatu hari sambil melihat-lihat ramainya kota. Saya menemukan anak kecil duduk di depan salah satu kedai kopi yang tak jauh dari Kantor Gubernur, sembari memeluk koran dagangannya.

Saya berpikir tidak secara kebetulan anak itu jadi luar biasa. Sudah hampir jam 11 malam, namun, ia masih setia duduk di pintu kedai itu. Korannya tinggal tiga eksemplar, saya ambil satu dan sisahkan dua padanya. Tak ada kembalian, di tangannya hanya ada uang tiga ribu rupiah yang ia gulung seperti sebatang rokok.

Sama halnya anak itu, saya pun tak punya uang pass. Akhirnya saya serahkan sepuluh ribu itu padanya. Saya dan Fernando pun melanjutkan perjalanan menuju Masjid Alfatah untuk melaksanakan bakdah isya.

Kisah anak itu tak bersangkut paut dengan kondisi politik di kota. Mungkin saja jualan koran adalah alasan supaya dapat menambah uang jajannya. Betapa prinsipiel kehidupan anak itu.

Arus-arus tak terkendali di kota. Kehadiran yang nyaman dan tak nyaman dirasakan di antara gedung-gedung dan kendaraan. Saya merasa nyaris tak bersikap baik hati padanya. Seharusnya saya bisa berbicara lebih banyak dengannya.

Tetapi sewaktu membayari dagangannya, anak itu sudah lebih dulu meninggalkan saya dan Fernando. Tak banyak-banyak untuk memahami anak-anak seperti itu. Anggap saja bahwa yang dilakukan mereka adalah bagian dari proses kreatif.

Perlu untuk memahami kebetulan dan nasib. Jika kehidupan bagai roda seperti kata pepatah, maka suatu ketika, anak itu akan merasakan bagaimana kebahagiaan dan hibah.

Tak lama kemudian setelah salat, saya dan Fernando kembali ke kedai tempat anak itu duduk. Tidak untuk menjadi tamu di kedai tersebut. Hanya menumpang pada emperan tokoh dekat kedai itu. Tetapi pesanan kami belum juga ada. Padahal kami pesan sebelum ke Masjid Alfatah. Tapi perlu cukup bersabar, sebab, pesanan tersebut dikasih secara cuma-cuma.

Tidak begitu lama. Kopi kami sudah datang, seorang perempuan yang hatinya milik bang Billy, membawakannya dengan penuh keramahan. Fernando yang lebih dulu menikmatinya. Saya memilih membakar sebatang rokok lebih dulu sebelum menyeruput kopi ala Neo Caffe & Bistro-- salah satu kedai kopi ternama di Jalan Samratulangi.

Pengamen jadi-jadian tak lama kemudian memadati ruas jalan. Bang Billy jadi gelisah memandangi mereka. Namun, kreativitas itu dibangun dari diri sendiri. Bang Billy pun jadi bercerita banyak hal mengenai pengalamannya selama di Batavia--menjadi petualang kota yang tanpa tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun