Yang Ilahi Menurut Penghayatan Masyarakat Tanimbar –Maluku Tenggara Barat
(Yustinus Hendro Wuarmanuk)
A. Pengantar
Kepulauan Tanimbar ini ada di dalam wilayah propinsi Maluku, tepatnya berada dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sebenarnya menurut beberapa sumber, misalnya dalam tulisan P. R. Renwarin dan P. Drabbe MSC, dikatakan bahwa kata Tanimbar sulit dipastikan artinya. Namun sumber lain menulis bahwa kata Tanimbar berasal dari kata tnebar yang berarti “laki-laki besar” atau juga “tanah rendah” atau “sesuatu yang baru muncul”.
Ada beberapa nama yang menunjuk pada kepulauan Tanimbar atau orang-orang yang hidup di kepulauan itu. Nama-nama itu ada yang diberikan oleh orang lain dan ada yang diberikan oleh orang-orang Tanimbar sendiri. Nama-namayang dimaksud adalah Timor Lao, Ntnebar, dan Tanempar.
Timor Lao berarti Timor Jauh. Nama Timor Lao tidak dikenal dan tidak dipergunakan oleh orang Tanimbar untuk menyebut dirinya. Nama ini dipakai hanya oleh orang asing untuk menyebut kepulauan Tanimbar. Ntnebar adalah sebutan dalam bahasa Fordata terhadap Tanimbar. Dan Tanempar adalah kata dalam bahasa Yamdena untuk menyebut kepulauan Tanimbar.
Di kepulauan Tanimbar terdapat empat pulau besar dengan bahasanya masing-masing yaitu pulau Yamdena, pulau Fordata, pulau Selaru, dan pulau Seluwasa. Orang-orang yang tinggal di pulau-pulau tersebut biasanya diberi nama sesuai dengan nama dari pulau tempat mereka tinggal. Mengingat ada beraneka ragam bahasa, dan sumber yang terbatas maka berikut kelompok hanya membatasi diri dan membahas penghayatan Yang Ilahi menurut Masyarakat kepulauan Yamdena dan Fordata;
B. Yang Ilahi Menurut Masyarakat Tanimbar
Orang Tanimbar (Yamdena dan Fordata) mempunyai keyakinan bahwa dunia ini merupakan ciptaandari Yang Ilahi termasuk juga manusiayang mendiaminya. Sekalipun menghayati akan Tuhan Yang satu dan sama namun berbeda dalam penyebutannya, hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan pulau (tempat tinggal) dan bahasa. Demikian ada dua model penyebutan Yang Ilahi yakni Rat’we (Pulau Yamdena) dan Ubula’a (Pulau Fordata),berikut akan dijelaskan pada bagian berikut:
1.Ra’tu
Ada beragam penyebutan istilah Yang Ilahi dengan dialeknya ada yang menyebut Rat, Ra’tu, Rat’w, namun umumnya istilah ini ditujukan untuk menyebut Tuhan Sang Pencipta yang dibedakandengan para leluhur atau ada-ada supranatural lainnya. Bukan juga dalam arti seorang permasyuri Raja yang dikenal lasimnya dengan sebutan Ratu.
Istilah Rat, Ra’tu, Rat’we adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Pulau Yamdena (Yamdena Selatan dan Utara) untuk menyebut Yang Ilahi. Belum dapat dipastikan mengapa istilah ini digunakan olah masyarakat Yamdena pada umumnya untuk menyebut Yang Ilahi, namun berdasar hasil wawancara, mungkin istilah ini digunakan untuk menyimbolkan laki-laki/bapa yang memiliki kuasa atau pengaruh besar.
Hal ini terlihat setiap kalipara tua-tua/ibu atau bapa tengah berceritera kepada anak-anak mereka. Biasanya cerita dibuka dengan kalimat “nangin-nangin o…andrit radu arat’we rafsaw beber” sebagai pendahuluan sebelum masuk pada sebuah cerita. Andrit menyimbolkan wanita/ibu, sedangkan Arat’we menyimbolkan laki-laki/bapa.
Mungkin atas latar belakang inilah sehingga istilah Ra’twe atas salah satu cara dihayati sebagai seorang bapa/symbol seorang pria pemberi hidup, karena menikah dengan Andrit seorang wanita, sehingga menghasilkan keturunan. Di sisi lain Arat’we juga dipandang sebagai titik alur pembuka dari sebuah sejarah/cerita seperti halnya Andrit.
2.Ubula’a
Bila Masyarakat Yamdena menyebut Yang Ilahi sebagai Rat’we, berbeda dengan masyarakat Fordata. Istilah Ubula’a digunakan secara khusus oleh Masyarakat Fordata/Selaru/Seluwasa) untuk menyebut Yang Ilahi. Ubula’a berasal dari kata: Ubu: Leluhur dan Ila’a: Agung, besar, sehingga Ubuila’a berarti leluhur agung atau besar. Ada kalanya Yang Ilahi disebut saja dengan nama Ubula’a atau Ubu.
Gambaran tentang Ubula’a ini didasari atas pandangan masyarakat Fordata tentang Ubu Nusin (leluhur). Ubu nusin adalah leluhur yang telah meninggal, dan diharapakan dapat membantu masyarakat dalam kesulitan hidup seperti: dalam perjalanan laut, menunjukan obat-obatan, bagaimana membuat busur anak panah, tombak, berburu, bercocok tanam, mengajarkan cara menenun memintal dan membuat tikar, atas salah satu cara Ubula’a dilihat berdasar pada sifat-sifat Ubunusin ini.
Sehingga berdasar pada sifat-sifat Ubu nusin sebagai interpretasi Ubula’a kita dapat menyimpulkan bahwa Ubula’a adalah Dia Yang menguasai seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari pertanian (bercocok tanaman), sakit penyakit, darat (nuhu) dan laut (tahat), keamanan dan kesejaterahan bersama.
C. Ekspresi Penghayatan Orang Tanimbar akan Yang Ilahi
Orang Tanimbar dalam penghayatannya akan Yang Ilahi menganut suatu Monoteis (Yang Ilahi hanya satu). Namun paham monoteis ini dihayati secara heterogen. Yang Ilahi, Yang Esa itu dihayati secara berbeda-beda dan penghayatan itu pula sangat antropomorfis sifatnya. Orang tanimbar mengambil sebagai titik tolak hubungan-hubungan di antara mereka, untuk melukiskan Yang Ilahi. Kelompok hanya akan mengambil istilah-istilah yang umum dan lasim di ungkapkan antara lain: Tuhandihayati sebagai Ompak Lanit/Lanit vavan, Lerebulan/Lere Wulan, Nduan, danMele. Heterogenitas penghayatan ini akan dibahas satu-persatu.
1.Yang Ilahi dihayati sebagai Ompak Lanit-Saryamrene /Lanit Vavan,
Ompak lanit Bumi-Langit-Saryamrene (Yamdena), Lanit Vavan (Fordata) yang artinya: Tuhan pencipta Alam semesta, Tuhan yang menguasaai jagat raya atau dengan kata lain Tuhan sebagai penguasa langit dan bumi. Dalam filosofi hidup orang Tanimbar Ompak-Lanit dipahami sebagai kesatuan antara pria dan wanita. Ompak dianggap sebagai penjelamahan wanita, dan lanit sebagai penjelamaan pria. Kedua element ini bersatu dikala peristiwa hujan. Hujan dianggap sebagai benih-benih yang turun dari langit dan datang untuk menyuburkan bumi (Ompak) sehingga tanaman-tanaman tumbuh.
Pandangan ini yang mendasari sehingga setiap kali masyarakat Tanimbar hendak membuka kebun baru atau memanen hasil kebun biasanya mengadakan acara-acara syukuran di kebun atau juga di kampung sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan penguasa langit dan bumi (Ompak-Lanit) atas berkat yang diberikan (hujan, pupuk, perlindungan terhadap hama-penyakit) selama mengolah kebun hingga memperoleh hasilnya hal ini juga berlaku untuk hasil laut.
Dalam syukuran bersama hasil kebun baru, nampak ungkapan syukur dan terima kasih atas penyertaan Yang Ilahi lewat rumusan doa sbb:O…mangkuase ko ane: O…Yang berkuasa;Ratu ko dasa no, Tuhan yang ada di atas sana; O…ra’twko ne mlompring kam: O…Tuhan Engkau mengasihi kami. Kemudian setelah mengucapkan doa-doa syukur hasil kebun dibagi dan dimakan secara bersama (Yamdena).Sedangkan dalam Masyarakat Fordata nampak lewat ungkapan: O…Ubu Na’a Surga Ralan, Oa muflaahar am imam tinemun na’a ohoini ; O…Tuhan dalam Surga, Engkau menjaga kami semua di dunia ini.
2.Lere-Bulan/Lere Wulan
Suatu atribut lain yang diberikan kepada Yang Ilahi adalah Lere-Bulan berarti; Matahari dan Bulan, dalam bahasa Selaru disebut; Hula-Sou, sedangkan di Fordata; Lera-Wulan. Lere (matahari) disimbolkan sebagai pria, dan bulan sebagi wanita.
Ada tiga titik acuan yang dapat ditempuh untuk memahami Lere-Bulan. Pertama, Lere-Bulan dipersonifikasikan sebagai persatuan antara pria dan wanita. Lere adalah symbol pria yang punya tenaga dan kuasa, symbol kekuatan, keperkasaan sedangkan Bulan adalah symbol wanita, lemah, feminim.
Kedua, Lere-Bulan dilihat sebagai symbol kekuasaan Yang Ilahi sebagai pengatur waktu siang dan malam, terang dan gelap, mengatur waktu manusia, mengatur pergantian hari dan itu berarti dimulai sesuatu yang baru lagi; mengatur kerja manusia dan member arah serta langkah. Ini menandakan otoritas dari Lere-Bulan. Ketiga, Lere-Bulan dilihat sebagai symbol Tuhan yang berkuasa dan penuh kemuliaan karena berada di tempatnya yang jauh tinggi dari manusia Transendens), namun juga dekat dengan manusia, karena mengatur waktu/hari-hari hidup manusia.
3.Yang Ilahi dihayati Sebagai Nduan/Duan
Dasar dari penghayatan ini adalah perkawinan. Yang Ilahisebagai Nduan (Yamdena) atau Duan (Fordata) mengikuti konsephubungan Nduan-Lolat (Yamdena), Duan/Yanat (Fordata), di mana Nduan/Duan bertindak sebagai pemberi wanita, sedangkan Lolat/Yanat adalah pihak penerima wanita. Tuhan dihayati sebagai Nduan karena Tuhan dilihat sebagai yang memberikan wanita dalam sebuah perkawinan kepada manusia (Lolat). Iamemberikan seorang anak perempuannya untuk kawin dengan manusia. Yang Ilahi sebenarnya mau ditampilkan sebagai pemberi kehidupan dan kesuburan.
Konsep Nduan-Lolat sangat sentral dan menjiwai kehidupan orang Tanimbar dalam praksisnya pihak Nduan adalah pihak wanita, keluarga ibu. Sedangkan Lolat adalah pihak laki-laki. Sehingga perhatian dan peran Nduan begitu penting baik dari kelahiran, perkawinan sampai kematian.
Pihak Nduan juga dipandang sebagai fandiririn, tampa putus napas artinya bahwa bila seorang anak hendak melanjutkan study, pergi merantau, atau hadir dalam sebuah angrie (acara adat) pihak Nduan (keluarga ibunya) yang mendoakan untuk kesuksesan, dan keselamatannya. Bila tidak melewati pihak Nduan maka si anak tersebut akan mengalami kendala dalam studinya, atau di perantauan.
4.Yang Ilahi dihayati sebagai Mele/Mela.
Mele dihubungkan dengan kata lanit (langit) untuk menegaskan posisi tertinggi dari Mele, sehingga tak jarang muncul ucapan Mele lanit yang merujuk pada Yang Ilahi sendiri sebagai penguasa langit. Mele dalam masyarakat Tanimbar dihayati sebagai kaum bangsawan, artinya bahwa di dalam lingkungan leluhurnya tidak terdapat budak-budak (kawar),
Mele (Yamdena) atau Mela (Fordata) dapat diartikan sebagai penguasa. Di Tanimbar kelompok yang disebut Mele ini menduduki tempat yang paling terhormat karena mereka adalah turunan dari kepala-kepala kampung/adat. Sedangkan Kawar (Yamdena) atau Iri (Fordata) ini adalah masyarakat biasa, yang hanya mendengar dan melaksanakan perintah Mele.
Istilah yang lebih halus digunakan yakni: Keyai dan famudi dalam bah. Yamdena(yang pertama dan yang bungsu/kemudian) atau juga dalam bah. Fordata: Iyaan/Iwarin ditujukan kepada mereka yang pertama/kemudian masuk dan mendiami sebuah kampung. Jadi mereka yang pertama masuk disebut sebagai keyai sedangkan mereka yang datang kemudian disebut sebagai famudi mungkin hal inilah yang melatarbelakangi penyebutan Mele dan Kawar.
Konsep mele dan kawar ini sering diungkapkan dalam acara-acara adat musyawara interen kampung, atau pada perkawinan. Dalam hal perkawinan memilih pasangan pria atau wanita, berlaku juga hal ini namun tidak semua kampung di Tanimbar masih memegang kebiasaan ini hanya pada kampung-kampung tertentu saja.
Penutup
Demikian kelompok mencoba memaparkan secara garis besar penghayatan Yang Ilahi menurut masyarakat Tanimbar dalam hal ini masyarakat Yamdena dan Fordata. Besar harapan kelompok semoga uraian singkat ini da
pat bermanfaat bagi para pembaca untuk memiliki gambara dan pemahaman yang cukup tentang konsep dan penghayatan masyarakat Tanimbar (Yamdena-Fordata) tentang Yang Ilahi.
Daftar Pustaka
Sumber Tulisan:
P. R. Renwarin, Life In The Saryamrene, An Anthropological exploration of the Yamdena, Leiden: University of Leiden, Institute of Cultural and social studies, 1989.
P. Drabbe M.S.C, Etnografi Tanimbar, Terj. Karel Mouw, Jakarta, 1981.
Yohanes Purwanto, dkk.,Antropologi danEtnobiologi Masyarakat Yamdena di Kepulauan Tanimbar, Jakarta: The TLUP Tech. Ser. no 4, 2004.
P. Amry Wuritimur, Yang Ilahi Menurut Penghayatan Orang Tanimbar,STF-SP, 1993
Nara Sumber:
Bpk. S. Batlyol, Selasa 27 Oktober 2009, pkl. 15.45 Wita, Perum.Kilu Permai-Paniki.
Bpk. Dionisius Wuarmanuk, melalui via Telepon, senin, 28 september 2014, pkl. 20.00 WIB
Lih., P. R. Renwarin, Life In The Saryamrene, An Anthropological exploration of the Yamdena, (Leiden: University of Leiden, Institute of Cultural and social studies, 1989), hlm. 105; P. Drabbe M.S.C, Etnografi Tanimbar, Terj. Karel Mouw, (Jakarta, 1981), hlm. 19.
Yohanes Purwanto, dkk.,Antropologi danEtnobiologi Masyarakat Yamdena di Kepulauan Tanimbar, (Jakarta: The TLUP Tech. Ser. no 4, 2004),hlm. 3.
P. Drabbe M.S.C, Etnografi Tanimbar, Terj. Karel Mouw, hlm. 19.
P. R. Renwarin, Life In The Saryamrene, hlm. 105.
Ibid. hlm. 106.
Dunia ciptaan dalam pandanganmasyarakat Tanimbar dipahami sebagai ruang yang amat luas jangkauannya. Dari ruangan tersebut mereka membaginya menurut 2 sudut pandang: secara vertikal dan horizontal. Dunia secara Vertikal terdiri atas “dunia atas” (lanit=langit) dan “dunia bawa” (Saryamrene/ompak=bumi), yang dalam dialek Fordata disebutlanit vavan. Sedangkan secara Horizontal terdiri atas “dunia kehidupan” dan dunia “tanpa kehidupan” yang terletak di seberang laut.Dunia kehidupan yang dimaksud adalah tempat tinggalnya manusia, sedangkandunia tanpa kehidupan adalah dunia orang mati (nitu) Lih.P. Amry Wuritimur, Yang Ilahi Menurut Penghayatan Orang Tanimbar, ( STF-SP, 1993),hlm.61-67
Nangin-nangin o…(ada sebuah kisa), Andrit radu Arat’we (seorang pria dan wanita) rafsaw beber (kawin baru), data diperoleh lewat wawancara dengan Bpk. S. Batlyol, Selasa 27 Oktober 2009, pkl. 15.45 Wita, Perum.Kilu Permai-Paniki.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh keberadaan masyarakat Tanimbar sebagai petani ladang yang sangat tergantung dari kesuburan tanah dan curah hujan. Langit membagikan resekinya yang disimbolkan dengan hujanuntuk menjamin kesuburan di bumi. Dan bumi menyiapkan benih-benih tanaman dan menghasilkan berbagai jenis makanan dan buah guna menjamin kehidupan, Yang Ilahi diidealkan menyerupai ompak-langit ini. Ibid. P.Amry Wuritimur, hlm. 100
Bdk. Wawancara dengan Bpk. S. Batlyol