Mohon tunggu...
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Yustinus Hendro Wuarmanuk Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Filsafat: Dari “Spectator” Menuju “Aktor": Sebuah Tawaran Estetis (Alternatif) untuk Mengatasi Krisis Nilai di Abad 21

28 November 2014   02:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:39 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

( Tinus WuarmanukS. Fils.)

Peradaban manusia berawal dari pemujaan keindahan. Konsekwensinya keindahan adalah asal dan tujuan dari peradaban itu. Sejauh mana estetika dapat memaknai hidup manusia? Sejauh mana keindahan dapat menawarkan solusi bagi krisis nilai di abad ini? Dewasa ini krisis nilai dan makna dalam skala besar yang ditenggarai melanda dan menggoncang sendi dan struktur dalam masyarakat kita. Di satu sisi ada gejala dekadensi moral atau pengalaman alienasi. Hidup dirasa sudah rusak. Tidak ada lagi prinsip, atau patokan yang dapat memberi orientasi arah dari mana dan mau kemana manusia. Peradaban kita seakan tercabut dari akarnya. Ada yang menyebutnya sebagai the motherless society, hollow man. Akan tetapi disisi lain kita membutuhkan landmark, kita membutuhkan kiblat yang mengarahkan kita menjadi aktor dalam memaknai peradaban hidup kita. Sesungguhnya, sejumlah gerakan radikal dewasa ini yang dibungkus dengan sebutan “neo’-atau “ultra”- atau “konservatif” dan sebagainya adalah jawaban atas ketakpastian manusia mencari jatih diri dalam dunia ini. Mungkinkah kita sedang mengalami kebosanan eksistensial? Dimana kehidupan ditandai dengan kemuakan dan absurditas.

Zaman ini ditandai dengan hidup tanpa prospek, the horizon wiped away. Masa penantian akan nihilisme yang seakan menandai dunia kita. Fenomena pluralisme justru mendatangkan petaka bagi individulisme. Ada gerakan relativisme yang merelatifir semua nilai. Konsekwensinya ada pergeseran paradigma: dari bagian ke keseluruhan, dari struktur ke proses, dari pengetahuan objektif ke epistemik, dari kebenaran ke penggambaran, dari pembedaan ke penggolongan, dari rasional ke intuitif dan analisis menjadi sintesis. Ada juga pergesaran pada ranah nilai: dari kompetisi ke kooperasi, dari dominasi ke mitra, bahkan ada pergeseran dari cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) ke amo ergo sum (saya mencintai maka saya ada).

Sempitnya Dua Jalan di Abad 21: Ilmu dan Agama

Berdasarkan tendensi-tendensi ini manusia sering memecahkan masalah dengan memakai pendekatan Ilmu Pengetahuan. Idealisme ilmu pengetahuan dan logika berpuncak pada veritas (kebenaran). Orang cenderung membuat polarisasi hitam- putih, salah-benar. Sejarah membuktikan bahwa lorong ilmu pengetahuan ini gagal. Peradaban pengetahuan justru dibawah ke dalam muara Perang Dunia II dengan dua tragedi besar: Holocaust Auswitzch (Sho’ah) dan Hiroshima. Keduanya menjadi luka sejarah yang menyeramkan. Teknologi terapan dalam bidang industri (dengan multi dan transnasionalnya serta persejataan dan nuklir) telah menimbulkan krisis ekologi yang mengerikan. Teknologi telah melahirkan paradoks sosial: antara kaya dan miskin, liberalisme dan sosialisme, antara the West and the Rest of the World. Singkatnya, Ilmu pengetahuan dan logika gagal.

Idealisme agama (moral, etika) ialah bonnum commune (kebaikan/kesejateraan bersama). Ternyata, ajaran agama selama ini lebih banyak menekankan kesadaran akan dosa dan keselamatan. Terkadang agama menjadi momok yang menakutkan bagi segelintir orang. Orangpun sering membuat polarisasi antara yang baik dan buruk. Konsekwensinya muncul gejalah fanatisme, fundamentalisme dan radikalisme religus. Orang cenderung mengganggap diri sebagai kubuh kebaikan dan orang lain sebagai kubu kejahatan. Alih-alih penjaga manusia dan kemanusiaan, berubah menjadi penjagal manusia dan kemanusiaan. Sekali lagi sempitnya pemahaman akan nilai agama dan peran lembaga menjadi sebuah wajah demonik ketimbang wajah angelik-nya agama.

Antara Aktor dan Preactor: Menjadi Aktor yang Estetis

Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang Filsuf Eksistensialisme Kontemporer yang membedakan dua figur dalam mengerti makna eksistensi manusia. Kierkegaard berangkat dari sebuah pertanyaan bagaimana dan apa kondisi yang membuat hidup manusia dapat berarti? Baginya eksistensi melampui rasionalitas. Dan untuk memahami eksistensi manusia, ia membedakan manusia dalam “actor dan spectator”. Seorang Spectator tidak pernah mampu mengambil keputusan, dalam hidup manusia spectator adalah penonton yang pasif. Ia hidup dalam pengaruh orang lain, tidak ada kemandirian sebagai manusia. Punya identitas sebagai manusia namun tidak mampu menjadikan eksistensinya ada untuk hidupnya. Sebaliknya seorang aktor adalah pelaku yang aktif, subjek yang kreatif dalam setiap kegiatanya. Ia tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah dipengaruhi. Setiap ada kesempatan untuk mengambil keputusan. Ia menjadi manusia yang berada karena keputusanya.

Sampai titik ini kita dapat katakan, bila semua pertanyaan eksistensi manusia tidak mampu dijawab oleh ilmu dan agama maka salah satu jalan yang bisa memberi pencerahan bagi manusia adalah jalan estetika. Seni mempunyai peran dalam hidup manusia yaitu sebagai seismograf supersensitif untuk melihat dan mengetahui adanya gelagat atau gempa nilai yang akan mengancam dan menghancurkan lingkungan sekitar kita. Maka benar apa yang dikemukakan Hegel bahwa seni sebenarnya sebuah pengetahuan. Sebuah karya seni yang berhasil disebut sebuah mikrokosmos yang dapat merefleksikan suatu konteks sosial tertentu. Sebuah karya seni yang bermutu bisa memantulkan realitas sosial, bisa mencangkup kehidupan etis, kebaikan dan kejahatan. Bahkan bagi Hegel keindahan itu memberikan akses yang paling mendalam kepada Yang Ilahi. Dengan kata lain realitas sejati dapat kita saksikan dalam keindahan. Oleh karena itu dalam refleksi Kekristenan, Yang Ilahi tidak selamanya transenden, tapi imanen dalam pengalaman hidup manusia, imanen dalam PuteraNya, imanen dalam peristiwa inkarnasi. Nah, nilai yang paling efektif melahirkan yang imanen absolut yang dalam bahasa agama disebut Allah yaitu Causa Prima (penyebab pertama).

Bagaimana menterjemahkan aktor dan spectator dalam hubungan dengan estetika? Bagi penulis manusia yang mampu bertahan dalam era digital ini adalah actor yang estetis. Dalam arti pengalaman menunjuk begitu banyak spectator yang hidup dari perjuangan orang lain. Negara kita adalah negara yang kaya akan identitas, kaya akan budaya terlebih kaya akan sumber daya alam. Orang seakan berlomba membawa payung bonnum commune untuk memperoleh keuntungan sendiri. Berdiri menyuarakan keadilan padahal sendiri menjadi spectator penghancur nilai keadilan. Tak dapat dipungkiri bahwa baik dalam sejarah dahulu maupun dewasa ini citra politik tidak lepas dari aspek negatif. Tak jarang politik dianggap “kotor” bukan saja rakyat dipermainkan oleh spectator-spectator tak bertanggungjawab, tetapi juga perjuangan untuk kepentingan pribadi dengan cara-cara yang disebut sebagai kriminal dan tanpa pemulihan keadilan. Walaupun secara verbal dipertegas konsep negara sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai arah dan patokan hidup, namun dipraktekan secara diskriminatif. “I’Etat c’est moi”, “negara adalah saya”, sehingga saya (raja) dapat berbuat apa saja sesukanya. Dapat membeli kekuasaan dengan uang, dapat membeli jabatan dengan uang, dapat membunuh orang karena ingin berkuasa, semua yang diusulkan harus diterima. Ada pragmantisme verbal yaitu dengan mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan tapi tidak direalisasikan. Ada opurtunisme: obral janji sebelum pelantikan, setelah itu menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri. Ada formalisme: tampil memukai seperti tokoh panutan, tetapi munafik dan pura-pura tanpa terusik dengan hati nurani. Dan ada positivisme hukum: bukan kebenaran dan keadilan, melainkan kepentingan dan uang yang dijadikan tolak ukur. Untuk itu, kita perlu menjadi aktor estetis yang berusaha mewujudkan kesejateraan umum bersama. Diperlukan aktor yang punya keprihatinan akan penderitaan orang lain, ada prinsip dan punya keputusan yang tidak merugikan orang lain. Seorang pimpinan yang tidak takut akan sanksi, dipecat, dipulangkan karena kebenaran. Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan sebuah paradigma retorika-fisafati, melainkan memberi tawaran baru dengan mengedepankan nilai estetika sebagai bagian dari perjuangan manusia dalam mencapai pengetahuan dan keimanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun