Mohon tunggu...
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Yustinus Hendro Wuarmanuk Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian Dalam Perspektif Iman Kristian

28 November 2014   19:43 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 15358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Yustinus Hendro Wuarmanuk, S. Fils

Pendahuluan

Kematian merupakan sebuah kenyataan hidup yang harus dialami oleh setiap manusia siapapun dia. Menghadapi kenyataan ini sadar atau tidak, kita sering merasa takut akan kenyataan akhir hidup kita di dunia ini. Kematian lalu dipandang sebagai suatu kenyataan yang akan menghapus segala keberadaan hidup manusia. Tidak heran kalau kemudian ada begitu banyak orang memuja kehidupan dan masa muda yang penuh vitalitas serta sedapat mungkin menghindar dari ketuaan. Bayang-bayang kematian terasa sangat kelam dan menakutkan. Benarkah demikian? Bagaimana kita semestinya menyikapi kenyataan yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai suatu ancaman bagi hidupnya sendiri? Haruskah kita juga jatuh pada ketakutan yang sama?

Dalam paper ini, kami akan menguraikan beberapa gagasan tentang kematian itu sendiri dari perspektif iman kristiani. Pandangan ini diharapkan bisa sedikit menepis rasa takut atau paling kurang membuka cakrawala iman yang pada gilirannya membawa kita untuk secara proporsional memandang kematian itu.

Untuk maksud ini, maka sistematika pembahasan dalam papar ini akan dibagi sebagai berikut. Pertama, kematian sebagai kodrat manusia. Kedua, kematian sebagai konsekuensi dari dosa. Ketiga, kematian sebagai jalan penebusan. Dan bagian yang keempat, kematian Yesus dan bedanya dengan kematian kita.

I. Kematian sebagai Kodrat Manusia

I.1. Apa itu Kematian Manusia?

I.1.1. Pandangan umum

Kematian adalah kenyataan paling penting dalam kehidupan seseorang. Lewat kematian seseorang beralih dari keadaan fana dunia ini ke keadaan pasti di akhiratsebagai keselamatan atau kegagalan abadi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS. Poerdarminta mendefenisikan, kematian (‘mati’) adalah tidak bernyawa lagi, tidak hidup lagi atau meninggal dunia. Pemahanan ini menghubungkan kematian dengan kehidupan. Sementara itu dari sudut pandang ilmu kedokteran, kematian dipandang sebagai pemberhentian kehidupan dalam organisme tumbuh-tumbuhan, binatang atau manusia. Kematian dipandang sebagai konsekuensi logis dari kenyataan natural dari mahkluk bertubuh. Sebagai mahkluk biologis yang ada secara natural, setiap mahkluk termasuk manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mati. Karena itu, tidak dapat disangkal bahwa manusia yang terdiri dari tubuh mortal dan jiwa imortal harus mengalami kematian sebagai konsekuensi logis persatuan keduanya.

I.1.2. Menurut Kitab Suci

Secara umum dalam Kitab Suci, kematian adalah peralihan status “hidup” kepada status “tidak hidup”, tidak dipandang sebagai pemisahan jiwa dari badan melainkan sebagai hilangnya vitalitas: hidup berhenti, tetapi bayang-bayang manusia masih hidup dalam Syeol (dunia bawah tanah). Orang-orang yangmeninggal bukan lagi “jiwa yang hidup” sebagaimana statusnya sejak ia tercipta (1 Kor 15:45), sebab ia sudah ditinggalkan oleh Roh yang kembali kepada Allah, satu-satunya yang tidak pernah mati (Pkh 12:7; 1 Tim 6:16). Dalam Perjanjian Baru, kematian paling sering muncul dalam konteks kebangkitan, bukan dalam konteks kebinasaan.

Kitab Suci menegaskan bahwa kehidupan dan kematian adalah dua realitas eksistensial yang harus dijalani oleh setiap orang (2 Sam 1: 23; Ams 18: 21). Kematian dirumuskan hakekatnya sebagai penarikan kebali nafas kehidupan atau Roh Allah dari dalam kehidupan manusia (Ayb 34: 14-15). Manusia dianggap sudah mati, ketika nafas kehidupan sudah tidak ada lagi dalam tubuhnya (1 Raj 17: 17). Kenyataan tentang kematian ini secara tegas dapat ditemukan dalam kitab Pengkhotbah yang mengatakan bahwa setiap makhluk sama dihadapan kematian (Pkh 2: 16).

Dalam konteks Perjanjian Baru, kematian lebih dimengerti sebagai mati bersama Kristus dengan harapan akan bangkit bersama Kristus. Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi, mengungkapkan arti kematian kristen, bahwa oleh Kristus kematian itu memiliki arti yang lebih positif “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1: 21). Dengan ini Paulus menampilkan dimensi baru dari kematian kita: “Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia (2 Tim 2: 11). Aspek yang baru pada kematian kristen terdapat dalam kata-kata ini: “oleh pembaptisan warga kristen secara sakramental sudah ‘mati bersama Kristrus’, supaya dapat menghidupi satu kehidupan baru”.

Dalam pandangan Paulus di atas kita mengerti bahwa kematian merupakan titik akhir peziarahan manusia di dunia ini. Kematian merupakan suatu kesadaran bahwa hidup manusia adalah terbatas di hadapan Allah. Keterbatasan manusia di hadapan Allah ini disebabkan oleh kuasa dosa. Dosa telah membawa manusia kepada kematian dan keterputusan relasi dengan Allah sendiri. Kitab Mazmur mengungkapkan realita ini dengan baik: “Masa hidup kita tujuh puluh tahun dan jika kita kuat delapan puluh” (Mzm 90: 10). Ungkapan kitab Mazmur ini mengingatkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara.

II. Kematian sebagai Konsekuensi dari Dosa

II.1. Dosa

Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik. Dosa adalah suatu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar suatu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Dosa melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Dosa oleh Agustinus didefenisikan sebagai “kata, perbuatan atau keinginan untuk bertentangan dengan hukum abadi”.

Dosa adalah suatu penghinaan terhadap Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:6). Dosa memberontak tehadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidak-taatan, satu pemberontakkan terhadap Allah, oleh kehendak menjadi “seperti Allah”, dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3: 5). Dengan demikian dosa adalah “cinta diri yang mengikat sampai menjadi penghinaan Allah. Karena keangkuhan ini, maka dosa bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus yang melaksanakan keselamatan.

II.2. Upah Dosa: Maut

Bapa-bapa Gereja memandang kematian selain sebagai akhir hidup manusia, tetapi juga kematian dipandang sebagai akibat dari dosa. Karena kematian adalah akibat dosa, maka kematian itu tidak netral dan bukan sesuatu yang baik bagi manusia. Sebab itu kematian membutuhkan penebusan. Tertulianus menulis: “Kita yang mengenal asal mula manusia, menjelaskan atas dasar kebenaran ini: maut secara alamiah bukan mengejar manusia, tetapi akibat suatu kesalahan, yang juga bukan sesuatu yang alami. Andaikata manusia tidak berdosa, maka dia juga tidak mati”. Ajaran ini memiliki kosekuensi yang besar. Pendapat ini mempengaruhi cara bagaimana teologi kristen melihat, merasakan dan mendiskusikan kematian.

Agustinus mempunyai pandangan tentang kematian sebagai akibat dosa mengatakan seperti ini: “Kematian badani adalah satu akibat dari dosa, bukan karena satu hukuman alam, sebab Allah tidak menentukan nasib manusia lewat kematian seperti itu”. Pokok-pokok ajaran St. Agustinus ini adalah: kematian adalah siksa dosa asal. Kitab Suci membuktikan bahwa dalam hubungan dengan siksa di taman Firdaus, Allah bersabda: “Engkau berasal dari debu dan engkau harus kembali menjadi debu” (bdk. Kej 3: 19). Dalam kematian, Agustinus melihat satu pengalaman yang negatif: “Kematian itu bukanlah sesuatu yang baik, karena membuat orang yang mati menderita. Kematian itu pahit, karena memisahkan badan dan jiwa dan ini bertentangan dengan hukum alam. Kematian adalah sesungguhnya satu siksaan bagi semua orang yang dilahirkan sebagai akibat dari keturunan manusia pertama. Kematian adalah upah dosa. Kematian itu merupakan sarana Tuhan untuk ‘menakuti’ supaya manusia jangan berdosa lagi”. Sebab itu kematian bukanlah sesuatu yang baik. Dengan kata lain, bila orang menjalankan satu hidup yang baik, maka kematian bukanlah malapetaka.

Dalam dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes no 18, dikatakan bahwa sebagai akibat dosa asal, manusia harus mangalami kematian badani yang darinya manusia akan lolos, andaikata ia tidak berdosa. Dari pernyataan ini kita mengerti bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia, karena manusia telah berdosa. Tetapi walau manusia dapat mati, Allah menentukan supaya ia tidak mati. Dengan demikian kematian bertentangan dengan kehendak Allah. Kematian masuk ke dunia sebagai akibat dari dosa. Kematian adalah musuh terakhir manusia yang harus dikalahkan.

Kematian menjadi indikasi keterbatasan manusia di hadapan Penciptannya. Karena dosa, manusia tidak dapat lagi menghayati hidup sebagai anugerah Allah yang harus dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab (bdk. 2 Kor 5: 15). Terhadap sikap mementingkan diri sendiri, kematian menjadi ancaman serius. “Kematian tidak diciptakan oleh Allah dan tidak juga berasal dari kehendak Allah Pencipta yang baik”. Nabi Yehezkiel mengungkapkan bahwa Allah tidak berkenan pada kematian orang berdosa, melainkan supaya mereka bertobat dan hidup (Yeh 33:11).

Kematian tidak berasal dari Allah tetapi dari manusia itu sendiri. Karena dosa, manusia diperhadapkan dengan maut yang tidak terelakan. Manusia yang berdosa dikuasai oleh maut dan ia tidak dapat membangun relasi dengan Allah (bdk. Rm 5:12-14). Sejarah kematian manusia akibat dosa dimulai sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Konsekuensi dari kedosaan Adam dan Hawa adalah dosa asali. Kenyataan ini membuat manusia jauh dari Allah. Dosa asal menyebabkan manusia memiliki kodrat kesadaran dalam diri, yang menyebabkan situasi keberdosaan selalu merupakan bagian dari hidup manusia yang terus disadari.

III. Kematian sebagai Jalan Penebusan

Dalam perspektif iman kristiani, dosa mendatangkan maut dan bahwa maut mengakhiri segalanya. Tetapi maut bukan akhir dari segalanya atau batas akhir hidup kita. Kematian merupakan jalan masuk kepada penebusan dan pemuliaan kita dalam Allah. Kematian sebagai sarana penebusan berkaitan erat dengan pribadi Kristus. Dalam Yesus Kristus dan berkat kematianNya, manusia boleh terus berharap pada penyelamatan Allah.

Karena itu kematian sebagai sarana penebusan lalu ditempatkan dalam perspektif kematian Kristus. Dalam dan melalui Yesus Kristus, Allah menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian. Tindakan penyelamatan Allah bukan demi kepentingan Allah, melainkan demi manusia. Allah sebagai Allah yang maha cinta tidak membiarkan ciptaan kesayanganNya binasa dari mati karena dosa. Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk hidup. Daya pengerak karya penyelamatan Allah ialah kasih (bdk. Yoh 3: 16).

Yesus memilih kematian sebagai jalan satu-satunya kepada penebusan. Yesus menyadarai bahwa hanya melalui kematian, penebusan dapat terlaksana. Karena itu Yesus tidak menolak dari kematian, melainkan siap menerimanya sebagai jalan yang harus dilalui untuk menghantar manusia kepada persekutuan yang selamat dengan Allah Bapa.

Menerima kematian sebagai sarana penebusan dengan demikian membutuhkan iman percaya kepada Yesus Kristus yang telah bangkit dan menebus dosa-dosa manusia. Kematian hanya dapat diterima sebagai rahmat penebusan juga ditegaskan oleh rasulPaulus kepada umat di Korintus: “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah keprcayaan kamu” (1 Kor 15: 17).

Jadi syarat untuk menrima kematian sebagai rahmat penebusan adalah iman akan Kristus yang bangkit. Yesus sendiri menegaskan “Akulah kebangkitan dan hidup, barang siapa percaya kepadaKu Ia akan hidup walau ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11: 25-26). Yesuslah daya kebangkitan kita, dan dalam Dia kita boleh menerima kematian sebagai rahmat kehidupan baru dalam kebahagiaan kekal.

Kalau kematian dipandang dari pespektif iman sebagai sarana penebusan, menjadi pertanyaan sekarang adalah seberapa jauh kematian menjadi satu pengalaman iman? Greshake dan banyak teolog modern memandang kematian sebagai kebangkitan individual. Para teolog ini tidak menerima adanya ‘jarak’ antara kematian dan kebangkitan badan. Dengan mati, kata mereka, terjadi perubahan tertentu dalam relasi antara jiwa dan badan; dan justeru perubahan itulah yang disebut kebangkitan. Maksudnya adalah bahwa hidup sekarang ini di dunia, dalam hidup yang belum diubah oleh kematian, roh ditentukan oleh badan, khususnya sejauh badan membuat roh kitaterikat pada waktu dan tempat, dan dibatasi olehnya. Akan tetapi dalam kebangkitan, sebaliknya, badan ditentukan oleh roh. Dalam hidup kebangkitan, terwujudlah waktu dan tempat yang baru. “Langityang baru dan bumi yang baru” (Why 21: 1) adalah dunia material seluruhnya, yang diangkat ke dalam roh. Oleh sebab itu tubuh yang bangkit disebut“rohaniah” (I Kor 15: 44), “baka” (ay.53), “tak dapat binasa” (ay.42,53-54).Dalam hidup kebangkitan, materi tidak lagi berarti kesementaraan dan kefanaan. Dalam kebangkitan, tubuh mencapai kebakaan justru karena tubuh menjadi ekspresi hidup baka dalam kesatuan dengan Allah. Satu hal yang mau ditekankan di sini adalah bahwa kematian tidaklah terpisahkan dari kebangkitan. Mati berarti bangkit.

IV. Kematian Yesus dan Bedanya dengan Kematian Kita

Kematian dan kebangkitan memiliki hubungan erat dan tak dapat dipisahkan. Kematian mendapat artinya dalam kebangkitan. Yang satu tidak meniadakan yang lain. Yesus mengalami nasib sebagai manusia, karena itu Iapun mengalami kematian. kematianNya bukan akhir dari segala-galanya, karena jika demikian kematian dan penderitaanNya menjadi tidak berarti apa-apa.

IV.1. Kematian Yesus:Tanda Solidaritas Allah

Rasul Paulus kepada umat di Roma menegskan bahwa “Kita diselamatkan dalam pengharapan” (Rm 8: 24). Pengharapan kita bukan tak berdasar sebab dasarnya ialah wafat dan kebangkitan Kristus. Wafat dan kebangkitan Kristus sebagai peristiwa penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kristus membebaskan manusia dari kematian, berkat wafat dan keabngkitanNya ini. Wafat Kristus adalah solidaritas Allah dengan manusia sampai kedalam kematian, dan dalam kebangkitan Kristus kesatuan Allah dengan manusia itu dibawa kepada kepenuhannya. Di sini kita bisa mengerti bahwa pembicaraantentang kematian Yesus lalu tidak dapat terlepas dari kebangkitanNya.

IV.1.1. Hubungan antara Wafat dan Kebangkitan Kristus adalah Hubungan Pribadi antara Kristus dengan Allah

Sebagaimana sudah kita mengerti bahwa kematian Kristus tak dapat dipisahkan dari kebangkitanNya. Hanya berkat kesatuan antara wafat dan kebangkitan Kristus memungkinkan kebangkitan sebagai penyempurnaan hidup bagi orang-orang lain sejauh mereka bersatu dengan Kristus. Tanpa kebangkitan Kristus, kematian sebetulnya tidak dapat dipikirkan sebagai penyelesaian hidup. Dan tanpa hubungan pribadi antara Putera dan Bapa, tidak ada hubungan antara wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam kebangkitan Kristus, Allah mewahyukan diri sebagai Allah keselamatan, dan dari cahaya kebangkitan ini kematian Kristus mendapatkan artinya.

IV.1.2. Wafat Kristus berarti Keterbukaan Kristus bagi Tindakan Keselamatan Allah Bapa

Misteri Yesus Kristus sebagai sungguh Allah dan sungguh manusiasebagai misteri yang paling besar harus ditempatkan dalam kematian, wafat Kristus itu sendiri. Benar bahwa Allah tidak dapat mati, dan bahwa kodrat insani Yesus harus dibedakan bukan hanya dari kodrat ilahiNya melainkan juga dari kepribadianNya yang ilahi namun tidak benar mengatakan bahwa Kristus hanya wafat menurut kodrat insaniNya, seolah-olah kodrat itu tinggal di luar diri pribadi Kristus. Kematian Yesus adalah pengungkapan ketergantungan total kepada Bapa. Yohanes menyebut wafat Yesus itu “Pergi kepada Bapa” (Yoh 14: 28; 6: 28). Surat kepada umat di Ibarani mengungkapkan seperti ini: “ Kristus oleh Roh yang kekal telah mempersembanhkan diri kepada Allah” (Ibr 9: 14). Kekosongan maut tanda dosa itu, oleh Kristus dijadikan ungkapan ketaatanNya secaratotal. “Ia taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2: 8). Tanda dosa sekarang menjadi tanda rahmat. Kematian dalam Kristus menjadi hidup.

IV.1.3. Kebangkitan: Tindakan Penyelamatan Allah di dalam Kristus

Dalam Perjanjian Baru selalu dikatan bahwa Yesus “dibangkitkan”. Peristiwa ini dilihat sebagai anugerah dari Allah. Allahlah yang membangkitkan puteraNya dari antara orang mati. Jadi bukan perkembangan diri Kristus sendiri. Bukan perkembangan melainkan “ ciptaan baru” (bdk. 2 Kor 5: 17; Gal 6: 15). Perkembangan berarti kontinuitas, tetapi manusia ciptaan baru berarti diskontinuitas. Tidak ada kontinuitas sungguh-sungguh antara peristiwa wafat dan peristiwakebangkitan. Kontinuitas tidak terletak pada peristiwanya, tetapi dalam diri Yesus sendiri, yakni dalam hubungan pribadiNya dengan Bapa. Antara kematian sebagai peristiwa kehidupan insani dengan kebangkitan sebagai rahmat Ilahi tidak ada kontinuitas. Karena itu kebangkitan dipandang sebagai ciptaan baru. Secara hakiki kebangkitan merupakan tindakan Allah yang dibedakan dari kegitan manusia. Karena itu, manusia tidak bisa menangkap dan menjangkau arti kebangkitan. Kebangkitan hanya dimengerti sebagai rahmat Allah. Kristuslah rahmat Allah itu sejauh Ia bersatu dengan manusia dan dengan Allah. Dalam kematianNya, Yesus bersatu dengan manusia. Kristus dibangkitkan “dari antara orang mati”. Ini berarti bahwa Ia berada di antara mereka, senasib dan sepenanggungan. Justru karena Kristus solider dengan orang mati, bersatu dengan mereka, kebangkitanNyapun mempunyai akibat bagi mereka. Itulah bahwa mereka pun diselamatkan. Bapa menerima bukan hanya Kristus, melainkan semua orang yang mati bersama Kristus.

Kristus menderita kematian orang berdosa- “Ia akan terhitung di antara orang-orang durhaka” (Mrk 15: 28 ;Yes 53: 12). Tetapi dalam kematian itu, Ia bersatudengan Allah. Kematian Kristus di satu pihak sebagai keterasingan dari Allah dan di pihak lain kematianNya sebagai kesatuan dengan Allah dalam ketaatan sebagai penebusan umat manusia. Arti keselamatan yang ada dalam pada wafat Kristus tidak menjadi jelas dari kematian itu sendiri, tetapi baru dari kebangkitanNya. Kesatuan dengan Allah dalam kebangkitan itu dipahami sebagai arti yang sesungguhnya dari wafat Kristus.Kematian Kristus merupakan peristiwa keselamtan bagi manusia justru karena dalam kematianNya itu, Yesus menghayati kesatuanNya baik dengan manusia maupun dengan Allah.

IV.2.Kematian Manusia: Partisipasi dalam Kematian Kristus

Dalam pandangan kristiani kematian manusia bukanlah suatu kesia-siaan. Dari perspektif iman kita percaya bahwa kematian kita terjadi dalam rahmat Kristus. Kematian orang beriman kristiani berarti keikutsertaan dalam kematian Kristus. Kita mati dalam Kristus. Kematian sebagai upah dosa diubah menjadi berkat, karena kita mati dalam Kristus. Rasul Paulus menegaskan hal ini kepada umat di Filipi: “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1:21). Di sini relasi antara kematian manusia dinyatakan. Kematian kita dilihat dalam cahaya keikutsertaan dalam peristiwa Yesus, kematian dan kebangkitanNya. Mengambil bagian dalam kematian Kristus berarti kita juga mengambil bagian dalam kebangkitanNya. Rasul Paulus menegaskannya bahwa “Bersama Kristus kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaan kepada kerja kuasa Allah yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Kol 2: 12).

Penutup

Dari uraian seputar kematian dari perspektif iman kristiani, kita mengetahui beberapa hal penting. Pertama, kematian merupakan kodrat manusia. Manusia siapapun dia tidak dapat menghindar dari kenyataan alamia ini. Kedua, kematian merupakan konsekuenasi dari dosa. Ketiga, walaupun kematian merupakan penderitaan bagi manusia sebagai akibat dosa, tetapi lewat kematian manusia boleh mengalami penebusan. Dan keempat, penebusan yang dimaksud tidak lain adalah kematian manusia yang disatukan dengan kematian Kristus sendiri.***

Daftar Kepustakaan

1.A Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1992.

2.WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

3.R.A. Osbourn, “Death”, dalam New Catholic Encyclopedia, New York,1966.

4.Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi PB, Yogyakarta: Kanisius 1990.

5.H. Nijiolah, Dunia Orang Mati Menurut Kitab Suci, Yogyakarta: Pustakan Nusatama, 2002.

6.Katekismus Gereja Katolik, Ende-Flores: Arnoldus, 1995.

7.KWI, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor, 1996.

8.P. Dori Wuwur Hendrikus, SVD., “Kematian dalam Ajaran Bapak-bapak Gereja”, dalam Umat Baru No. 186. Thn. XXXI, (November-Desember 1998).

9.G. Kircberger, Pandangan Kristen tentang Manusia dan Dunia, Ende: Nusa Indah, 1986.

10.T. Anugerah, Di Balik Tirai Kematian, Jakarta: JK, 2000.

11.Dr. Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

A Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1992), hlm. 280.

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm.638.

R.A. Osbourn, “Death”, dalam New Catholic Encyclopedia, (New York, 1966), hlm. 684.

Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi PB (Yogyakarta: Kanisius 1990 ), hlm. 388.

Bdk. H. Nijiolah, Dunia Orang Mati Menurut Kitab Suci (Yogyakarta: Pustakan Nusatama, 2002), hlm. 11.

Katekismus Gereja Katolik (Ende-Flores: Arnoldus, 1995), hlm. 289.

KWI, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor, 1996), hlm. 463.

Ibid.

Katekismus Gereja Katolik, hlm. 486

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun