Sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso sedikit menghebohkan media konvensional maupun media sosial sepekan ini, karena Jessica dalam sidang pemeriksaan atas dirinya selaku terdakwa menceritakan, antara lain, perlakuan penyidik atas dirinya yang dirasa “kurang wajar”. Dalam persidangan itu, Jessica mengatakan bahwa seorang penyidik telah mendatangi dirinya di ruang tahanan dan meminta dirinya untuk mengaku saja bahwa dirinyalah pelaku pembunuhan.
Menurut Jessica, penyidik itu telah mengatakan bahwa gambar dari rekaman CCTV yang diambil dari tempat kejadian perkara/TKP (locus delicti) sudah jelas-jelas membuktikan bahwa dialah pembunuhnya. Selanjutnya, penyidik mengatakan, “… kalau kamu ngaku, kamu nggak akan dihukum seumur hidup. Paling dihukum tujuh tahun, dikurangi ini itu ...”. Atas anjuran tersebut, Jessica mengatakan, “Saya bingung, saya bengong. Orang ini nyuruh saya ngaku apa?”
Masyarakat yang mengikuti proses persidangan kasus ini tentu tidak sulit untuk memercayai keterangan Jessica, meskipun didasarkan pada latar pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda mengenai sepak terjang penyidik. Untuk sedikit menetralkan impresi negatif di masyarakat, Kapolri, Jenderal (Pol.) Tito Karnavian, dengan segera menjelaskan bahwa apa yang dilakukan penyidik terhadap Jessica di ruang tahanan adalah salah satu teknik penyidikan.
Selama teknik penyidikan dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak tahanan atau tersangka, tentu teknik tersebut dapat diterima. Dalam terang atau semangat due process model of law enforcement, teknik penyidikan seharusnya lebih ditujukan untuk membangun trust atau kepercayaan sehingga tersangka mau mengakui perbuatannya. Meminjam istilah Kapolri Jend (Pol) Tito Karnavian, teknis penyidikan haruslah sebuah “permainan psikologis” yang menentramkan. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak bisa diterima apabila teknik penyidikan yang dilakukan menimbulkan keadaan tertekan atau stress pada tersangka.
Sampai batas-batas tertentu, apa yang dilakukan penyidik terhadap Jessica memang harus diakui masih dalam batas-batas membangun trust guna mendapatkan pengakuan tersangka. Selain itu, apa yang dilakukan penyidik, sekali lagi dalam batas-batas tertentu juga, adalah upaya untuk membawa tersangka ke dalam suatu situasi dilema, atau yang dikenal dengan istilah prisoner’s dilemma, yang dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Dua anggota kelompok kriminal ditangkap dan dipenjarakan tanpa bukti yang cukup. Masing-masing ditaruh di sel yang berbeda tanpa ada akses komunikasi dan informasi, baik kepada/mengenai rekan tahanan maupun kepada/mengenai dunia luar. Kemudian, masing-masing dari kedua anggota kelompok kriminal tersebut dibawa kepada situasi untuk saling berkianat dengan cara kepada masing-masing dari mereka dikatakan bahwa rekan tahanannya sudah memberi kesaksian mengenai fakta yang sebenarnya.
Dilema yang dihadapi tahanan sekarang adalah apabila dia tidak memberi kesaksian yang sebenarnya, hukuman bisa diperberat karena mempersulit penyidikan. Namun, apabila dia memberikan kesaksian yang sebenarnya, dia akan mengianati rekan tahanannya apabila ternyata rekan tahanannya tetap berpegang teguh pada kesepakatan mereka untuk menutupi fakta sebenarnya, kesepakatan yang mereka sangat yakin adalah strategi terbaik bagi mereka karena penyidik tidak akan memiliki bukti yang cukup untuk memproses kasus mereka.
Jessica memang tidak dalam dilema untuk mengianati rekan tahanan karena dia adalah tersangka tunggal. Namun, penyidik telah berusaha untuk memasukkan dia dalam situasi dilemma dengan mengatakan bahwa rekaman CCTV di TKP sudah sangat jelas membuktikan bahwa dialah pelakunya. Sementara itu, Jessica belum mengetahui apa-apa mengenai rekanan CCTV dimaksud.
Pertanyaannya, meskipun sudah digiring ke situasi dilema, mengapa Jessica tidak terjebak dan bahkan dengan tegas menyatakan bukan dia pelakunya? “Orang ini nyuruh saya ngaku apa?, katanya.
Apakah memang inilah kebenaran fakta yang dia miliki (Jessica's truth) sehingga prisoner’s dilemma yang coba dibangun oleh penyidik tidak sukses?
(Oleh Yustinus B Sola Kira)