Sebagai warga bangsa, saya jarang merasa terteror. Bukan karena saya pemberani atau tak terlalu peduli pada sesuatu ancaman yang bersifat kolektif untuk bangsa ini. Namun, ketika menyaksikan perhitungan suara pemilu 2014 dilayar televisi, muncul breakingnews yang menyiarkan konperensi pers calon presiden nomor urut 1 yang tidak didampingi oleh calon wakil presidennya. Dengan berapi-api, Prabowo Subianto menyatakan menarik diri dari pemilu presiden 2014 karena merasa proses dan tahapan pemilu presiden 2014 dipenuhi dengan kecurangan. KPU dituduh mendalangi kecurangan yang disebut sistematis, terstruktur dan massif.
Saya terpukul dengan pernyataan itu dalam hati saya mulai menduga-nduga, jangan-jangan benar kabar burung yang mengatakan bahwa pemilu akan diakhiri dengan chaos. Dengan demikian masa kepemimpinan SBY akan diperpanjang untuk menyiapkan pemilu berikutnya. Untung saja duga-duga itu tak terbukti karena pada akhirnya pasangan nomor urut 1 membawa sengketa perhitungan suara pemilu ke MK.
Tapi rupanya calon presiden nomor urut 1 dan para pendukungnya tidak sekedar menyerahkan semua keputusan di MK. Ada serangkaian upaya untuk melakukan tekanan, sesekali juga muncul pernyataan yang provokatif dan berbau teror. Semua bisa disimpulkan dalam kalimat pendek “Menang atau pemilu ulang”.
Saya jadi teringat dengan wejangan nenek soal ilmu pokoke, kudu (harus). Nenek saya bilang kalau saya ingin melihat dunia ini luas jangan sekali-kali memakai ilmu pokoke. Dunia ini terdiri dari banyak hal, banyak unsur dengan berbagai spektrum, maka kalau diringkas dalam satu hal semua akan menjadi kerdil, sempit dan mengingkari kenyataan.
Jadi apa bedanya pernyataan “Menang atau Pemilu Ulang” dengan apa yang dideklarasikan oleh ISIS. Perbedaan keduanya hanyalah jalur, tetapi kesamaannya adalah harus, tidak ada alternatif lain. Secara implisit calon presiden nomor urut 1 menyatakan dialah yang harus keluar sebagai pemenang. Sementara ISIS secara implisit atau ekplisit menyatakan bahwa warga satu dunia harus berada dalam satu kepemimpinan, berada dalam sistim khilafah.
Sesuatu yang didasari oleh ‘harus’ selalu akan menjadi teror bagi siapapun yang bukan hanya berseberangan melainkan juga yang berada dalam posisi netral. Harus berarti kesemuanya, tidak ada pilihan lain. Padahal untuk menyimpulkan sesuatu sebagai sebuah keharusan dibutuhkan argumen yang ade kuat, akurat dan menyakinkan.
Dari dua kali sidang pendahuluan di MK, bisa disaksikan bahwa argumen dan bukti-bukti yang dibawa oleh tim calon presiden nomor urut 1 banyak mendapat catatan dari majelis hakim. Ada banyak asumsi, bukti yang kabur, bersumber pada katanya, kalimatnya bersayap dan seterusnya. Saksi yang dihadirkan juga kurang meyakinkan, apa yang disampaikan bukan apa yang dilihat, penyebutan angka juga tidak akurat. Sidang yang seharusnya serius kemudian kerap diwarnai oleh senyum bahkan gelak tawa.
Pun demikian dengan ISIS, di media sosial banyak beredar gambar-gambar bukti kekejaman mereka. Nyawa seolah tidak berharga. Namun beredar pula video-video propaganda, ajakan untuk mendukung dan bergabung dengan perjuangan mereka menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi. Memang tidak pantas kita tertawa, namun sesungguhnya mereka melakukan sesuatu yang menggelikan, mau menegakkan kerajaan Allah tetapi jalannya berlawanan dengan apa yang Allah perintahkan.
Dunia ini mungkin saja masih dipenuhi dengan ketidakadilan, pemilu di Indonesia mungkin juga belum sepenuhnya memenuhi harapan terutama dalam azas langsung, umum, bebas dan rahasia. Integritas pemilu juga masih diragukan. Tapi jika bicara ketidakadilan dunia, pemilu yang tidak berintegritas tentu tidak bisa menunjuk hanya satu pihak atau satu kelompok saja yang bertanggungjawab.
Dalam pemilu misalnya, banyak pihak yang terlibat. Integritas pemilu ditentukan oleh kesemua pihak yang terlibat, mulai dari pelaksana, pengawas, peserta dan pemilih. Kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif tak mungkin bisa dilakukan oleh salah satu pihak saja.
Mereka-reka kebenaran sepotong-potong dan kemudian disambung-sambungkan menjadi sebuah narasi untuk menarik kesimpulan yang memandatkan keharusan jelas sebuah tindakan yang menghina akal sehat.
Jadi kepada tim koalisi merah putih dan simpatisan, simpul atau penggagas ISIS di Indonesia silahkan bawa drama ini ke Indonesia Lawak Klub saja. Jangan bawa semua sepak terjang ini di ruang publik. Adulah semua argumen anda dengan Cak Lontong, siapa tahu jawaban anda akan jauh lebih jitu darinya. Dan kami akan bersyukur karena akan tertawa terbahak-bahak, bahagia karena anda lucu luar biasa.