Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

PLN Plus Sumpah Serapah

12 Juni 2014   20:05 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:02 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu lampu mati, sumpah serapah banyak bertebaran di twitter, baik yang mention maupun no mention ke accountyang dianggap punya hubungan dengan PLN. Twitter memang bisa menjadi sarana untuk memantau kondisi aliran listrik di pelbagai pelosok Indonesia. Pasalnya account kepunyaan Fadjroel Rahman oleh warga twitland dianggap sebagai ruang aduan untuk mati lampu.

Semenjak akhir 2012 ketika mulai tinggal di Samarinda, berurusan dengan PLN lebih banyak tidak enaknya. Salah satu catatan terbaik dari layanan PLN yang saya alami adalah meningkatkan daya yang ternyata tidak butuh waktu lama sebagaimana cerita orang. Dan kemudian suatu waktu saya juga diundang untuk gathering pelanggan PLN serta diberi penghargaan sebagai pembayar yang rajin atau tepat waktu. Saya tidak tahu apakah kecepatan meningkatkan daya saat ini masih seperti yang saya alami lalu, dan saya juga tak pernah lagi mendengar kabar ada gathering pelanggan yang dilakukan oleh PLN.

Semua pasti tahu, tidak enaknya berurusan dengan PLN adalah terkait dengan pemadaman listrik yang datang tak kenal waktu. Seperti perampok atau maling yang datang tak diundang, pergi tidak pamit. Buat warga Samarinda, pemadaman listrik ibarat makan obat, pagi, siang dan malam sehingga sudah mencapai tahap memuakkan. Tak heran jika kemudian yang bisa dilakukan oleh sebagian pelanggan hanya mengirim sumpah serapah di twitter, facebook atau status BBM.

Mungkin saja orang PLN sudah mules membaca atau mendengar sumpah serapah itu. Dan kemudian ada sebuah account yang menulis diri sebagai PLN Samarinda, membalas umpatan bahwa sumpah serapah tak akan menghidupkan listrik. Intinya adalah sudah tak perlu bersumpah-sumpah, kalau nanti saatnya hidup, listrik pasti akan nyata.

Sontak saja kicauan account itu menambah lagi sumpah serapah. Dan kemudian muncul bantahan dari account lain yang menyatakan sebagai official account dari PLN. Bantahannya adalah tidak ada account lain yang sah mengatasnamakan PLN selain account pembantah ini.

Soal bantah membantah mudah saja dilakukan, namun yang lebih penting justru perubahan sikap dari PLN agar tak kemudian menjadi bak sampah dari sumpah serapah masyarakat. PLN mestinya sadar sebagai badan monopolistik penyedia energisetrum tentu saja akan menjadi fokus perhatian pelanggan apabila pelayanannya mengecewakan.

Banyak cerita untuk menyambung baru saja seseorang mesti antri, menunggu giliran yang datangnya bak pungguk merindukan bulan. Giliran bisa dipasang, dicari-cari alasan kurang ini dan kurang itu, harus menyediakan ini dan itu. Tambah tiang, tambah kabel yang semuanya harus dibeli dari PLN dan tiang itu kembali jadi milik PLN meski dibeli oleh warga. Tentu saja aneh bin ajaib, sebagai penyedia jasa tunggal maka failitas jaringan mulai dari kabel sampai tiang tentu saja milik PLN. Kenapa warga misalnya harus membayar tiang apabila di wilayahnya belum ada saluran, bukankah nanti kalau daerah itu berkembang maka tiang itu juga yang akan dipakai untuk menyalurkan aliran ke rumah atau pelanggan yang baru?.

Berhubungan dengan lembaga yang monopolistik memang kerap kali menempatkan pelanggan dalam posisi yang sulit. Pelanggan tak lebih dari obyek penderita, sasaran empuk untuk diperlakukan semena-mena. Terlambat membayar kewajiban sedikit saja maka akan berakhir dengan pemutusan hubungan. Sementara kalau PLN mengecewakan pelanggan sampai ke ulu hati tentu saja pelanggan tak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengeluh dalam hati. Kalau pelanggan patah hati dan tak mau dialiri listrik dari PLN, lalu mau listrik dari mana?. Pakai diesel sendiri, itu sama saja membuat susah diri sendiri.

Pelaku usaha monopolistik memang sudah terlena karena dimanjakan oleh posisi pelanggan yang hanya bisa ‘nrimo’. Pelanggan juga dianggap tidak perlu tahu apa yang terjadi di dalam tubuh PLN, ada masalah dimana. Saya yakin kalau seluruh warga Indonesia diminta iuran 1000 rupiah untuk membuat PLN lebih sehat dan berahklak pasti tak akan keberatan.

Ketika Dahlan Iskan ditunjuk sebagai Dirut PLN, sempat membawa secercah harapan. Namun belum juga harapan yang melambung itu terwujud, justru sang direktur dipromosikan sebagai Menteri BUMN. Dan akembali PLN mati angin, tak ada lagi ambisi untuk memperbaiki diri. Kembali ke cerita lama soal tingginya permintaan ketimbangan ketersediaan pasokan daya; sulitnya modernisasi dan penambahan pembangkit; seretnya suplai energi untuk pembangkit (gas, batubara, dan sebagainya), hingga inkompetensi dan korupsi pada pengurusnya.

Nah, kalau PLN yang kerap dikeluhkan oleh masyarakat juga ikut-ikutan mengeluh dan merenggek-renggek lalu siapa lagi yang bisa memperbaiki kinerjanya dari dalam. Mungkin saja PLN tetap pede meski disumpah serapahi oleh pelanggan, karena PLN memang bukan satu satunya badan layanan yang brengsek tujuh turunan. Masih ada banyak badan atau perusahaan lain yang tak kurang buruknya seperti PDAM. Juga layanan telekomunikasi yang punya slogan mencerdaskan bangsa lewat internet tetapi untuk memasang sambungan internet saja mesti bolak balik dan lobby sana sini.

Semua pelayan kebutuhan publik pasti berkilah bahwa mereka menyediakan ruang keluhan, mekanisme keberatan atau complaint. Tapi tanyalah pada mereka yang bolak balik mengadukan keluhan, pasti yang belum dilakukan hanya mengobrak abrik kantor, membakar sesaji, mengundang jin dan hantu untuk turun tangan atau menyantet para pembesarnya.

Ah, sudahlah kita akhiri saja keluh kesah ini. Jadi marilah kita berdoa saja untuk memperbesar rasa syukur di dada. Toh kita masih beruntung dibanding negara Negara lain ayng dirundung perang, yang hanya diterangi oleh ledakan mortir. Beruntung kita masih punya listrik, air ledeng dan internet, meski kerap byar pet, keruh dan lelet koneksinya.

Pondok Wiraguna, 11 Juni 2014

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun