Hampir setahun, sejak pertengahan tahun 2013 hingga bulan Juli 2014, kesekitaran saya dipenuhi dengan aroma dan nuansa politik. Tahun lalu adalah tahun pemilihan kepala daerah, dan begitu pemenangnya dilantik segera disusul munculnya baliho, spanduk, poster dan alat peraga kampanye lain untuk menyongsong pemilu legislatif. Begitu pemilu legislatif usai, giliran muncul berbagai macam alat peraga kampanye untuk pemilu presiden.
Dengan agenda pemilu yang sambung menyambung itu mau tak mau masyarakat terus bicara soal politik. Istilah visi, misi, program, janji, kontrak politik dan lain sebagainya menjadi begitu lekat. Pun demikian dengan istilah money politik,black campaign, kampanye negatif hingga kemudian berkembang istilah kampanye kotor serta kampanye jahat.
Pendek kata semua kalangan mulai dari atas hingga bawah, kaya miskin, pegawai sampai pengangguran, semua bicara politik. Bahkan anak-anak yang masih lama punya hak pilih, mau tak mau juga terpengaruh untuk ikut-ikut bicara politik. Anak saya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD pun kerap meneriakkan singkatan nama dari pasangan presiden dan wakil presiden yang kerap beriklan di televisinya sendiri. Dan kerap nyeletuk “Jangan pilih itu, pilih ini saja”.
Politik itu memang ramai, seperti film atau sinetron laga. Drama politik menjelang pemilu presiden misalnya begitu seru. Tokoh-tokoh partai kasak-kusuk kesana kemari, terkadang beriringan namun banyak pula yang jalan sendiri. Tujuannya adalah satu yaitu membentuk koalisi untuk mengusung capres dan cawapres. Banyak partai kemudian ribut sendiri, karena ada ketua atau elit partai membuat komitment tanpa bilang-bilang kepada yang lainnya.
Ada pula partai yang marah-marah ke partai lainnya, karena dianggap mengingkari janji dan komitment yang sudah dibangun sejak lama. Jadilah saling mengungkit-ungkit masa lalu, membongkar budi yang telah ditanam namun tidak dibalas.
Drama kemudian juga semakin seru ketika menyangkut sosok-sosok tertentu. Ada yang tadinya pingin jadi presiden kemudian menurunkan keinginan menjadi wakil presiden saja. Ada yang sejak lama mengiklankan diri sebagai calon presiden, namun akhirnya tak ingin jadi apa-apa. Ada yang hari ini ingin jadi presiden, tapi besoknya jadi wakil saja. Ada yang kemarin dengan pasangan yang itu, tapi besoknya sudah dengan pasangan yang ini. Kejadian-kejadian itu kemudian mengingatkan pada ucapan yang kerap disampaikan oleh Satria Bergitar “Terlalu”.
Kemudian ketika calon presiden dan wakilnya sudah mengerucut menjadi dua pasangan, ternyata keriuhan tak juga berkurang. Padahal sudah jelas, hanya ada dua pilihan, A atau B, jadi seharusnya tak mesti ribut-ribut. Namun virus persaingan memang tak hanya mengenai para calon saja melainkan juga menular ke para pendukungnya, entah pendukung yang dibayar maupun pendukung sukarela.
Peperangan paling jelas terlihat di sosial media yang kemudian berefek viral karena masuk ke ruang media mainstream. Ada perang hastag dan avatar, namun lama kelamaan yang tumbuh adalah saling fitnah dan gemar menuduh kelompok lain secara serampangan.
Linimasa twitter yang biasanya dihiasai oleh status galau, fiksi mini dan puisi picisan, gombal-gombalan, nomention dan kode-kodean, tiba-tiba saja menjadi panas. Tak terhitung jumlah analis dan pengamat politik yang tiba-tiba saja muncul. Berbagai hal ditafsirkan secara politik, mulai dari foto hingga pernyataan-pernyataan, semua ditarik kesimpulan dengan bumbu yang terkadang berlebihan.
Pertemuan atau kunjungan yang tadinya biasa-biasa saja, kini menjadi luar biasa. Makan pagi bersama, minum kopi ramai-ramai di sore hari bisa ditafsir sebagai lobby-lobby. Pertemuan dengan orang tertentu bisa dianggap sedang bersepakat mengatur hasil.
Begitulah yang terjadi kalau sekarang banyak yang mendadak politik, tak lagi ada istilah netral-netral saja. Saya sendiri sampai hari ini terus berusaha untuk menikmati hiruk pikuk sebagai sesuatu yang mengembirakan. Mengamati kejadian demi kejadian sebagai sesuatu yang menyenangkan sembari berdoa agar panas politik ini tidak membakar emosi banyak orang yang kemudian akan berakhir dengan aksi-aksi kekerasan.
Toh, pada akhirnya siapapun yang akan terpilih sebagai presiden maka dia akan menjadi presiden Indonesia, presiden kita semua. Dia akan menjadi presiden baik bagi orang yang memilihnya maupun yang tidak memilihnya. Dan bukan hanya itu, karena dia akan pula menjadi presiden bagi mereka yang tidak memilih sekalipun alias golongan putih.
Pondok Wiraguna, 4 Juli 2014
@yustinus_esha