Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Invasi Angkringan

21 September 2014   21:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:01 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski jarang dibicarakan dalam urusan pendatang Samarinda sebenarnya punya keterbukaan dan daya tarik yang sama sebagaimana Jakarta. Samarinda semenjak jaman jaya-jayanya kayu bulat menarik banyak pendatang untuk bekerja, betah, menikah, membeli tanah, membangun rumah, beranak-pinak, menjadi tua dan mati serta dikubur disini.

Beruntung tingkat kesesakan Samarinda belum seperti Jakarta, dimana pada banyak pemukiman untuk tidur saja dalam satu keluarga mesti bergantian jadwal.  Sekarang ini yang cenderung sesak adalah jalanan karena invasi kredit kendaraan bermotor yang terlalu gampang. Di gang yang sempit mudah ditemui kendaraan roda empat diparkir di jalanan sebab pemiliknya tak punya garasi untuk menyimpan mobil hasil kreditan.

Persoalannya sulit untuk mencegah orang membeli kendaraan apabila sudah merasa mampu. Sebab selama puluhan tahun terakhir ini, perkembangan transportasi umum di Kota Samarinda cenderung stagnan atau bahkan menurun. Sebagai Ibukota Propinsi yang besar, Samarinda tidak punya taksi argo yang melayani kebutuhan dalam kota. Kalaupun ada perkembangan yang perlu dicatat hanyalah kemunculan travel antar kota (Samarinda – Balikpapan) dengan pelayanan yang lumayan baik.

Invasi lain yang menyumbangkan kesesakkan adalah kemunculan café-café franchise yang mengambil lokasi pinggir jalan tanpa punya cukup ruang parkir. Tempat nongkrong yang ramai itu menjadi trend di beberapa ruas jalan. Bahkan warung atau grobakpun kemudian banyak yang menyebut diri menjadi café walau tak dilengkapi dengan wifi dan banyak colokkan yang lazim menjadi standard café saat ini.

Entah siapa yang memulai, satu tahun belakangan ini yang paling invasif  adalah kemunculan warung angkringan. Warung dengan andalan nasi kucing dan berbagai jenis bakaran serta kopi joss sekarang ini mudah di temui di berbagai tempat. Soal harganya jangan dibayangkan sama dengan yang ada di Ngayogjokarto Hadiningrat sebab berani main comot sana-sini kala waktu membayar bisa-bisa dompet sekarat.

Di banding membuka warung ayam gepuk, penyet atau keprek, nampaknya warung angkringan memang jauh lebih menjanjikan. Namanya juga angkringan, jadi tidak perlu mebelair yang serba bikinan pabrik. Cukup kursi kayu panjang dan tikar di sana-sini, asal bisa duduk lega pasti pengunjung sudah bersuka.

Dengan membawa nama angkringan juga taka da kewajiban moral bagi pemiliknya untuk menyediakan sambungan wifi dan colokan listrik untuk nge-charge smartphone yang boros baterei. Nah, urusan kopi joss barangkali angkringan di Samarinda lebih nge-joss karena arangnya bisa diganti dengan batubara yang tentu lebih panas.

Kenapa bisnis angkringan begitu marak di Kota Samarinda?.  Entahlah, sebab sampai saat ini belum ada satu skripsi dari mahasiswa yang adalah salah satu kelompok sasaran angkringan menuliskan tentangnya. Tapi kalau belajar dari ilmu ekonomi, sebuah usaha akan berkembang atau diikuti oleh yang lainnya apabila menguntungkan. Rumusnya sederhana, kalau modalnya nggak terlalu besar namun bisa menguntungkan maka bakal banyak yang mengekornya. Nah, barangkali itu yang terjadi dengan angkringan di Samarinda.  Atau meniru naskah proklamasi, dengan modal yang tidak seberapa, dapat untung berlipat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sebenarnya di Samarinda ada kisah juga tentang warung sejenis yang jauh lebih dulu popular. Sebutannya adalah warung Jingo. Entah apa hubungan warung itu dengan Minakjingo atau film wild west si Jango. Salah satu yang sering terdengar adalah kabar bahwa di warung Jingo pedagangnya banyak memakai kalkulator rusak ketika menghitung apa yang dimakan dan diminum oleh pengunjungnya.

Lalu siapa yang membuka warung angkringan, apakah mereka kebanyakan adalah dari Klaten, sebagaimana kepeloporannya di Yogjakarta. Atau orang yang sebenarnya sudah lama tinggal di Samarinda dan kemudian banting stir untuk menghadirkan ingatan kala kuliah di Yogjakarta dulu. Entah juga karena lagi-lagi belum ada survey atau pengumpulan data yang bisa dipakai untuk dasar menarik kesimpulan soal siapa di balik warung angkringan ini. Lagi pula sampai saat ini juga belum ada asosiasi warung angkringan yang bisa menjadi rujukan untuk menanyakan pertanyaan diatas.

Jadi untuk urusan angkringan nampaknya pengusaha warung tempat nangkring ini masih tertinggal karena belum membentuk organisasi. Padahal di Samarinda ini hampir semua jenis usaha telah membentuk asosiasi. Petani singkong saja gedung asosiasinya mentereng, jauh lebih meyakinkan ketimbang kantor LSM yang pembesarnya tiap hari keluar di Koran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun