Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Pasca Pencoblosan 09 : Efek Sukarno – Hatta

14 April 2014   17:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak pengamat yang tentu saja diamini oleh media mengatakan bahwa Jokowi Effect tidak punya pengaruh significant terhadap perolehan suara dari PDIP. Capaian PDIP dalam pemilu 2014adalah capaian yang diperoleh dari captive market suara PDIP.

Saya sendiri tidak mau mendebat kesimpulan itu. Karena bagi saya memang tidak benar sebuah partai mendulang suara karena figur-figur tertentu. Persoalan lokomotif di gerbong partai menjadi kurang sehat apabila terus dipelihara. Partai akan menjadi tergantung pada gerbong-gerbong tertentu sehingga tidak bisa mengembangkan budaya politik yang kuat. Padahal untuk menumbuhkan demokrasi yang kuat, kita butuh partai yang punya sistem dan budaya politik yang mapan, bukan timbul tenggelam akibat ada tidaknya tokoh yang bisa menjadi lokomotif partai.

Berbicara soal efek, saya lebih mempercayai kesimpulan dari seorang kawan yang terlibat dalam proses pemenangan kandidat di berbagai tingkatan. Kawan yang fungsionaris partai dan di sakunya terselip ballpoint bertulis pembekalan juru kampanye nasional itu mengatakan bahwa yang paling punya efek adalah Sukarno – Hatta.

Awalnya saya kurang paham, namun akhirnya saya mengerti yang dimaksudkan olehnya adalah prolehan suara dari caleg dan partai peserta pemilu tergantung pada lembar seratus ribuan. Kawan saya yang fungsionaris partai itu mengatakan “Kalau tidak punya uang yang cukup memang sulit untuk mendapatkan suara yang banyak”.

Disebutkan juga olehnya jumlah-jumlah yang dikeluarkan oleh peserta pemilu untuk menarik suara pemilih. Di tingkat kabupaten atau kota saja ada yang sampai mengeluarkan uang lebih dari 5 milyard. Bahkan konon peraih suara terbanyak di sebuah kabupaten dalam 3 hari masa tenang telah mendistribusikan uang sejumlah 3 milyard, luar biasa.

Namun mengeluarkan uang dalam jumlah banyak toh tidak menjadi jaminan akan terpilih. Tidak sedikit caleg yang gagal total, sudah mengeluarkan uang banyak, tapi suaranya sedikit dan kemudian menanggung beban hutang dalam beberapa tahun ke depan.

Dalam politik di manapun uang memang penting. Kampanye tidak akan berjalan mulus bila tidak ditopang uang yang cukup. Nah kampanye yang tidak berjalan dengan baik tentu akan berpengaruh pada perolehan suara. Pangkalnya tidak banyak pemilih mengenal betul para caleg, sementara untuk memperkenalkan diri kepada seluruh pemilih tidak tersedia waktu yang cukup, mengingat para caleg hanya gemar berkampanye untuk pemilu, bukan kampanye politik jangka panjang. Maka cara termudah agar pemilih ingat pada caleg dan kemudian memilihnya adalah memberi ‘sesuatu’ pada pemilih. Sesuatu itu bisa berupa materi, barang, jasa, pertolongan atau uang.

Peningkatan jumlah uang yang beredar menjelang pemilu bisa dikonfirmasi ke otoritas keuangan. Dan data memang menunjukkan hal yang demikian. Bahkan saking banyaknya uang yang digunakan untuk berkampanye, menarik suara pemilih, membuat perputaran ekonomi menjadi melemah, investasi menurun. Uang lebih banyak dipakai untuk urusan konsumsi.

Kita semua tahu bahwa pemberian mandat dari pemilih ke peserta pemilu karena pengaruh uang tentu saja tidak sehat. Politik transaksional dalam jangka pendek berpotensi membuat konsentrasi para wakil rakyat di gedung perwakilan lebih condong ke arah kebijakan untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan dalam pemilu.

Namun bicara soal maraknya politik uang dan betapa permisif-nya masyarakat pemilih terhadap politik transaksional, saya mengamini sebuah analisis menarik dari seorang kawan aktivis yang berdiam di kota pinggiran laut di Indonesia Timur sana.

Kawan itu mengingatkan betapa ada masalah mendasar di balik maraknya politik uang. Kemiskinan begitu katanya. Kemiskinan yang bukan saja mencerminkan kekurangan sumberdaya ekonomi belaka, melainkan juga kemiskninan ahklak. Jika kesimpulan kawan itu benar, maka sesungguhnya kita telah memasuki era kemiskinan yang sempurna. Jika kemiskinan material telah bercampur dengan kemiskinan ahklak, maka dalam masyarakat seperti ini yang disebut dengan kecurangan dan kejahatan akan diterima sebagai hal yang biasa.

Jadi untuk siapapun yang nanti duduk di kursi terhormat sebagai buah dari kemenangan pada pemilu, catatlah bahwa tugas anda berat sekali. Karena anda harus menelurkan kebijakan untuk mengurangi atau bahkan memberantas kemiskinan ekonomi sekaligus ahklak. Anda perlu menjadi seorang yang progresif revolusioner layaknya para Nabi dahulu.

Pondok Wiraguna, 13 April 2014

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun