Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Menjelang Pencoblosan 04: Three in One

7 April 2014   18:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak ada teman dan lawan yang abadi dalam politik. Begitu bunyi mantra yang sangat dikenal dan dipercaya dalam percaturan di dunia politik nusantara. Fakta ini bisa dilihat dari fenomena kabinet indonesia bersatu misalnya. Betapa partai-partai yang sebenarnya saling berseberangan bahkan saling serang di pemilu legislatif tiba-tiba bisa bersatu padu dalam pemilu presiden.

Partai-partai yang berbeda atau bahkan bertolak belakang platformnya, menyingkirkan segenap perbedaan kemudian bersatu dalam sebuah koalisi untuk mengusung satu orang tokoh yang sama agar bisa duduk di kursi presiden.

Namun kemudian seiring dengan perjalanan waktu, partai-partai yang tadinya disebut sebagai koalisi, tiba-tiba saja beraksi bak oposisi, menyerang habis-habisan. Secara logis ada saja penjelasan yang bisa diterima, artinya walau berkoalisi tak berarti akan menghilangkan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang didukungnya. Namun seperti biasanya alasan hanyalah sekedar alasan agar elok saja nampaknya. Yang terjadi sesungguhnya sering kali adalah sifat ‘meraju’ bak anak remaja yang tidak dituruti keinginannya oleh orang tua.

Politik praktis nampaknya memang kerap menunjukkan kejutan-kejutan. Apa yang tidak disangka oleh orang kebanyakan bisa saja terjadi dan dianggap normal. Dalam pemilu sekarang ini muncul koalisi-koalisi baru, kandidat pada berbagai level perwakilan bersatu, berjuang bersama, saling dukung untuk kemenangan bersama.

Sebutan yang terkenal adalah paket 3 in one, mirip kopi mix, dimana creamer, kopi dan gula sudah dicampur, tinggal dituangi air panas, aduk lalu dinikmati. Three ini one adalah praktek dimana kandidat dari DPR RI, DPR Propinsi dan DPR Kota/Kabupaten bergerak dalam satu tim, satu kali pukul untuk meraup suara bagi semua. Dengan berkoalisi maka sumberdaya bisa dimaksimalkan, sekali bayar 3, satu suara untuk 3 kandidat langsung dikantongi.
Biasanya yang bekerja adalah kandidat dari level kota/kabupaten yang lebih mengenal medan perang, sementara kandidat dari level atasnya menyediakan dukungan, subsidi pendanaan bagi kandidat yang bekerja di lapangan.

Tentu saja kerjasama antar caleg dari tingkatan yang berbeda adalah wajar karena bisa mengefektifkan pembiayaan kampanye. Namun yang aneh bin ajaib, kerjasama 3 in 1 ini tak selalu terjadi antara kandidat yang tergabung dalam satu partai yang sama.  Tak sedikit kerjasama 3 in 1 itu terjadi antara kandidat yang berasal dari partai berbeda.

Pertanyaannya bagaimana para pengkabar mengkampanyekan tiga sosok dari partai yang berbeda itu. Platform partai mana yang mau diterangkan, Visi misi dan program siapa yang mau diperkenalkan. Dan bagaimana jika program dari ketiga kandidat yang dijual itu berbeda jauh antara satu dengan yang lainnya.

Tapi inilah politik yan gpenuh dengan negosiasi. Demi tujuan yang sama untuk meraih kursi kekuasaan, perbedaan yang tajam sekalipun bisa dikesampingkan asal kursi bisa direngkuh atau dikuasai. Maka tak heran jika kemudian ada yang berpendapat dalam politik itu tujuan menghalalkan cara. Untuk meraih kekuasaan maka jalan apapun dan kompromi macam apapun akan ditempuh.

Praktek semacam ini sadar atau tidak telah meracuni dan mengotori demokrasi. Masyarakat makin hari makin melihat betapa institusi partai sulit untuk dipercaya. Dan tingkat kepercayaan terhadap partai yang rendah akan berimbas pula pada kandidat yang dicalonkan oleh partai. Dan dalam konteks pemilu akhirnya hasil pemilupun rendah legitimasinya.

Tak heran jika kemudian sikap yang tumbuh subur di masyarakat terhadap pemilu adalah sikap apatis, masa bodoh. Kebanyakan pemilih yang tidak menggunakan hak suara beralasan bahwa memilih atau tidak memilih tak akan banyak berdampak pada kehidupan mereka. Jika sikap atau perilaku semacam ini terus dibiarkan dan tidak diarahkan kepada kesadaran baru tentang pentingnya ikut memilih, maka masa depan pemilu dan demokrasi di negeri ini bakal suram.

Pondok Wiraguna, 5 April 2014
@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun