Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikmati Kopi di Rumah

23 Mei 2015   15:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14323710361506297155

Dari semula cerita tentang kopi selalu berada dalam konteks relasi sosiokultural dan politik. Kopi di bawa ke Indonesia oleh kaum kolonialis Belanda untuk dikembangkan sebagai komoditas eksport. Budidaya kopi di masa itu ditopang oleh pekerja atau buruh paksa. Sebagai kelas pekerja terendah, mereka dilarang untuk turut menikmati kopi yang ditanam dan dijaganya.Kisah tentang ‘perbudakan’ di kebun kopi ini melahirkan cerita tentang kopi Luwak dan Kopi Daun serta kebiasaan mengkonsumsi kopi robusta dark roasted.

Sebelum muncul ‘pencerahan’ kopi yang umum dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia adalah jenis kopi robusta, kopi yang aroma kurang kuat, rasanya kurang kaya, cenderung pahit dan kandungan kafeinnya banyak. Tak heran jika kemudian gambaran kopi yang umum di benak kita adalah pahit.

Di masa pemerintahan kolonial Belanda, Indonesia pernah mencatatkan diri sebagai penghasil kopi utama dunia. Namun pada suatu masa penyakit menyerang tanaman kopi dan hasil kopi terus menurun. Setelah jaman kemerdekaan perkebunan kopi yang tersisa sebagian masih terus dipertahankan. Dan di beberapa daerah kopi menjadi tanaman utama para petani. Hampir di seluruh wilayah Indonesia kopi dikenal sebagai tanaman rakyat.

Masyarakat di beberapa daerah Indonesia juga mengenal kopi sebagai minuman utama. Namun secara umum kopi masih kalah dibanding dengan teh. Seingat saya sewaktu kecil dulu, anak-anak lebih diperbolehkan untuk minum teh ketimbang kopi. Kopi dianggap sebagai minuman lak-laki dewasa. “Nanti cepat tua,” begitu kata Ibu saya ketika mendapati saya mencuri-curi sisa kopi tamu bapak saya.

Teh lebih dikenalkan sebagai minuman keluarga. Di rumah kakek ada kebiasaan minum teh pagi dan sore hari sambil berkumpul di ruang tengah. Teh yang diseduh di poci dinikmati dengan cuilan gula batu atau gula aren.

Meski ada persediaan kopi di rumah, nampaknya kebiasaan menikmati kopi atau ‘medang kopi’ lebih lazim terjadi di warung-warung. Di tengah atau di ujung kampung biasanya ada warung tempat warga terutama laki-laki dewasa berkumpul menikmati kopi tubruk sambil bertukar cerita.

Pengalaman saya berkeliling di berbagai wilayah Indonesia, di setiap daerah selalu ada warung kopi atau kawasan yang ternama sebagai tempat ngumpul-ngumpul sambil menikmati sajian kopi panas.

Munculnya produk bermacam kopi sachet membuat minum kopi semakin mudah. Banyak orang memulai hari dengan meminum kopi di rumah, tidak selalu kopi hitam melainkan kopi cream yang lebih ringan. Kopi juga tidak selalu dinikmati dalam keadaan panas melainkan juga disajikan dalam bentuk kopi dingin atau es kopi.

Hadirnya kedai-kedai kopi modern dengan mesin pembuat kopi menjadikan minum kopi semakin populer. Jenis kopi yang disajikan pun aneka rasa dan rupa. Anak-anak muda mulai terbiasa meminum kopi. Ngopi atau minum kopi menjadi pilihan untuk kumpul-kumpul dengan sesama. Bahkan banyak perbincangan serius seperti meeting project dilakukan di kedai-kedai kopi modern.

Populasi peminum kopi yang bertambah juga menarik perhatian gerai-gerai makanan cepat saji. Mereka turut menjual kopi dan menyediakan tempat di bagian beranda untuk para peminum kopi bercengkerama. Selain gerai cepat saji, jaringan minimarket juga melakukan hal serupa. Banyak minimarket ramai bukan karena orang berbelanja kebutuhan personal dan rumah tangga, melainkan duduk-duduk meminum kopi.

Pertumbuhan peminat kopi mendorong munculnya peminum kopi yang serius, orang-orang yang membuat minum kopi menjadi kompleks. Mereka tidak sekedar minum, melainkan membincang asal kopi darimana, bagaimana prosesnya, diseduh dengan cara apa dan seterusnya. Gejala ini menumbuhkan kedai-kedai kopi baru yang menyajikan single origin coffee dengan cara seduh manual. Kopi menjadi spesial karena selain asal kopi, tingkat kematangan sangrai, rasa akan ditentukan oleh pembuatnya atau dikenal sebagai barista.

Manual brewing ini memungkinkan kopi yang baik dinikmati di rumah. Sebab alat-alat yang dipakai untuk menyeduh harganya jauh lebih terjangkau ketimbang mesin pengolah kopi yang biasa ada di hotel atau kedai kopi modern.

Di dunia maya bisa diperoleh informasi tentang komunitas yang mulai menikmati kopi bersama-sama di rumah dengan cara seduh manual. Komunitas ini berpindah dari rumah kerumah untuk menjajal berbagai jenis kopi. Ada yang sengaja membeli ada pula yang memperoleh karena oleh-oleh dari sanak saudara atau kenalan.

Ketika berbincang di salah satu kedai kopi, terbersit sebuah keinginan untuk ‘ikut-ikutan’membawa kopi ke rumah.Dan niat itu ternyata disambut dengan antusias oleh Ellie Hasan yang menawarkan untuk mengadakan ‘private brewing’ di rumahnya.Tawaran yang menarik karena selama ini Ellie membangun rumah tinggalnya sebagai Galeri Samarinda Bahari. Selain menyediakan rumahnya, Ellie juga mengajak salah satu temannya sebagai penyeduh atau baristanya. Jadi saya dan teman-teman lainnya akan datang dan duduk manis untuk menunggu sajian kopinya.

Sessi seduh kopi secara manual dengan ‘Barista’ Rifki Ramadhan bukan sekedar demonstrasi dan unjuk kebolehannya dalam menyajikan segelas kopi belaka. Rifki disela kesibukannya terus menghambur semua pengetahuannya tentang kopi tanpa perlu dipancing terus dengan pertanyaan.

Dalam hati saya berguman “Minum kopi sejatinya memang kompleks,”

Saya jadi teringat ketika beberapa tahun lalu sering berkumpul-kumpul untuk minum wine di lounge salah satu hotel di Manado. Teman yang memperkenalkan (sekaligus membayari) minum anggur tak henti bercerita tentang jenis anggur, karakternya, bagaimana memperlakukannya, menuang hingga cara memegang gelas, mengoyang gelas, menghirup aroma sampai mencecapnya.

Dan ternyata minum kopi dengan benar ternyata tak kalah rumitnya dengan minum anggur. Maka sekarang kalo diminta untuk memilih antara kopi atau anggur, saya akan memilih kopi. Pertama, meski bukan tanaman asli Indonesia, kopi sekarang sudah menjadi milik kita dibanding dengan anggur. Kedua, kopi ternyata tak kalah mahalnya dari anggur sehingga bisa menghasilkan kepuasan yang sama saat meneguknya. Ketiga, meminum kopi bergelas-gelas tak membuat istri saya marah, karena tak akan meninggalkan aroma alkohol di mulut.

Pada akhirnya pengalaman menikmati seduhan aneka jenis kopi secara manual di Galeri Samarinda Bahari semakin meyakinkan saya bahwa kopi mirip dengan anggur. Sebab meski jenisnya sama, namun ditanam di tempat berbeda, diproses dengan cara beda, di sanggrai dengan tingkat kematangan yang berbeda serta diseduh oleh orang berbeda akan menghasilkan rasa yang berbeda pula. Dan itulah yang membuat segelas kopi selalu terasa istimewa.

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun