Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Pemilu Mas Romo 27: #Puyeng

3 Februari 2014   12:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang tua tidak berharap apa-apa pada anaknya, selain kemudian menikah dan kemudian memberikan cucu untuknya. Para orang tua itu sadar bahwa jerih payah membesarkan anaknya, akan dibayar oleh anaknya itu dengan membesarkan cucunya secara lebih baik. Jadi Mas Romo yang dulu sewaktu kanak-kanak sering bikin puyeng bapak ibunya, maka kelak akan merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasa oleh orang tuanya kala nanti mempunyai anak.

Anak tentu saja diharapkan oleh siapapun yang sudah menikah. Kalau menikah lalu tak segera punya anak maka pasangan suami istri pasti akan berusaha mulai dari cara medis sampai non medis, rasional sampai irasional agar segera dikarunia putra atau putri. Banyak yang kemudian mengangkat anak, konon sebagai pancingan agar kemudian dikaruniai anak sendiri.

Meski begitu diharapkan kehadirannya, tak seorang tuapun bakal menolak kenyataan bahwa anak-anak kerap bikin pusing kepala. Semakin maju sebuah jaman maka semakin canggih pula kelakuan anak-anaknya. Dengan asupan gizi yang lebih baik, anak-anak sekarang jelas lebih aktif, lebih sehat dan lebih pintar dibanding anak-anak pada jaman Mas Romo kecil dahulu.

Sebuah cerita MOP di Papua misalnya mengisahkan seorang bapak yang menyuruh anaknya untuk memberikan rokok.

“Eh, anak ..belikan Bapa rokok dulu”

Anaknya yang sedang bermain tak menghiraukan, hingga bapaknya mengulang permintaan untuk kedua kali. Karena didesak anak itu menjawab “Bapa, tra lia kalau saya sedang bermain kah?

Karena anaknya menolak meninggalkan permainnya, bapak itu mengeluarkan jurus dengan menawarkan uang seribu rupiah, 500 untuk beli rokok dan 500 untuk anaknya.

Sang anak yang diiming-imingi uang jajan 500 rupiah tak bergeming. Bapaknya terus membujuk namun tetap saja anak itu menolak untuk membelikan rokok dan balik berkata “Bapa, ini saya ada uang 2000, ambil sudah untuk beli rokok, tapi bapak beli sendiri atau suruh orang lain”.

Mendengar perkataan anaknya, orang tua itu hanya melonggo.

Mas Romo tertawa terbahak-bahak kala mendengar cerita itu, cerita yang sungguh lucu namun mempunyai pesan yang mendalam. Betapa anak-anak sekarang memang lebih pintar membalik keadaan, kalau orang tua salah bicara bisa-bisa dibalas dengan pernyataan yang bikin KO.

Kalau orang tua dibikin puyeng oleh anak-anaknya, pada masa ini para calon legislatif juga sedang dibuat pusing oleh konstituennya, masyarakat pemilih. Menjelang hari pemunggutan suara, wajah para caleg banyak yang bersunggut, lantaran pusing. Tiap kali kunjungan sosialisasi dan kampanye selalu berakibat sakit gigi sehingga sulit tersenyum. Di mana-mana masyarakat selalu minta yang riil-riil saja, tidak tertarik jika ditawari visi, misi atau program kerja.

Masyarakat sudah bosan dengan janji-janji politik yang terus mengalir dari pemilu ke pemilu namun tak juga mendatangkan keuntungan buat masyarakat. Kalaupun ada perbaikan dalam pelayanan publik, itu semua bukan didasari atas keinginan untuk mengabdi pada masyarakat melainkan karena tuntutan jaman. Coba saja kalau buat KTP lalu pakai mesin ketik, maka negeri ini bakal dibilang sebagai negeri tertinggal, terkebelakang.

“Dalam soal pemilu masyarakat kita memang sudah cenderung praktis-praktis saja, pikirannya adalah kalau saya berikan suara dapat apa” ujar Mas Romo kala berbincang dengan kawannya yang merupakan aktivis demokrasi.

“Wani piro” begitu kerap diucapkan orang ketika ada tim sukses, tim kampanye, tim sosialisasi atau relawan apapun yang berniat mempromosikan caleg untuk dipilih. Kalimat yang sebelumnya dikenal karena iklan rokok, kini seolah menjadi mantra utama dari masyarakat kala berhadapan dengan kandidat peserta pemilu.

“Betul Mas, wani piro ini yang sekarang membunuh demokrasi, persis kayak peringatan merokok itu membunuh” kata kawan Mas Romo.

“Belum membunuh sih, cuma bikin para caleg pusing, bergerak sedikit mesti duit. Sampai-sampai mendengar ketukan pintu rumahpun para caleg berpikir duit bakal keluar lagi” sahut Mas Romo sambil tersenyum.

“Ya, Mas, kita doakan saja semoga tidak ada caleg yang puyeng gara-gara wani piro itu lalu bunuh diri. Kasihan nanti jadi caleg abadi”

Pondok Wiraguna, 28 Januari 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun