Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu...

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Serba-Serbi Nama Alias

20 April 2013   21:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:53 1797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena tak punya tradisi nama marga (fam) maka banyak orang mempunyai nama yang persis sama. Kesamaan nama itu terkadang membingungkan sehingga butuh kiat tertentu untuk mengatasi kebingungan itu. Dulu waktu masih di sekolah dasar, saya mempunyai teman yang sama-sama bernama Poniman.Dan tanpa memakai bubur putih dan merah, ibu guru walikelas memberi tambahan nama, yang satu Poniman A dan yang satunya Poniman B.Dengan tambahan A dan B maka bu guru tak susah untuk mengabsen, juga saat membagikan kembali hasil ulangannya.

Poniman bukan hanya teman kelas melainkan juga teman saya bermain. Meski dalam kumpulan yang jumlahnya sedikit, ternyata kesamaan nama juga jadi persoalan. Maka saya dan teman-teman lainnya menyepakati nama panggilan yang berbeda, Poniman yang digelari A di sekolah dipanggil dengan nama Man Nggaling, lantaran senang dengan tokoh Sawung Nggalih, sementara yang digelari B disekolah dipanggil dengan nama Poni saja, selain menyingkat, kebetulan gaya rambutnya selalu dicukur poni.

Tetangga yang bernama Sastro juga banyak, maka ketika ada orang bertanya “Dik, tahu rumahnya mbah Sastro?” Pasti saya akan bertanya balik “Mbah Sastro yang mana? Satro Tempe, Sastro Dokar, Sastro Nomer atau Sastro Jinten?” Semua memang saya panggil dengan Mbah Satro, namun saya tahu persis bahwa ada Mbah Sastro yang membuat tempe, ada Mbah Sastro yang ngandhong Dokar, ada Mbah Sastro yang jualan nomer buntut dan terakhir Mbah Sastro Jinten yang adalah guru silat.

Nama alias atau nama lain pada seseorang terkadang memang diperlukan terlebih ketika banyak orang di satu tempat mempunyai nama yang sama. Nama alias lazimnya dilekatkan dengan profesi, kesenangan, tanda-tanda fisik, kebiasaan baik maupun buruknya dan lain sebagainya. Saya punya teman yang dipanggil dengan nama Parlan Kebo karena suka mengembalakan Kerbau, ada juga yang dipanggil dengan Keno Kiyer, karena – maaf – matanya agak kiyer-kiyer, di televisi juga ada artis yang memakai panggilan Herman Ngantuk karena tampangnya mirip orang ngantuk.

Namun dalam perkembangannya, nama alias juga kerap dipakai meski seseorang tidak sedang berada dalam keadaan dimana banyak orang lain memakai nama yang sama dengannya. Seseorang yang mengidolakan orang tertentu, berlaku seperti orang yang diidolakan kerap menambahkan nama idolanya dibelakang namanya sendiri. Maka Sudiro yang dipanggil Diro kerap memperkenalkan diri sebagai Diro Jakson lantaran terobsesi dengan Michael Jakson.

Dalam dunia keartisan, nama alias bahkan kerap menenggelamkan nama aslinya. Nama alias dipilih karena nama aslinya dipandang tidak komersil. Memakai nama Syurkiyani misalnya sebagai nama panggung bisa bikin orang mesam-mesem, kesannya ndeso sekali, maka biar ngehit penyanyi itu kemudian memakai nama Zaskia Gotik. Gotik bukanlah jenis aliran atau jaman seni tertentu melainkan Goyang Itik. Tidak banyak pula orang yang tahu nama Virgianto Listiawan, yang kemudian dikenal sebagai Iwan Fals.

Nama alias tidaklah selalu berupa nama yang keren-keren, ada orang tertentu yang justru memakai nama yang ‘ndeso’ untuk memperoleh rejeki ‘kutho’. Ambil contoh saja nama Rianto yang kemudian justru terkenal sebagai Tukul Arwana. Bahkan ada yang sengaja memakai nama-nama yang seolah-olah konyol namun justru menunjukkan kehebatan macam Ki Joko Bodho atau Ki Gendheng Pamungkas.

Di jaman pergerakan pada masa orde baru, banyak anak-anak muda memakai nama yang jauh dari nama aslinya. Nama-nama berbau Amerika Latin tempat gerakan sosialis subur berkembang untuk melawan regim kapitalis. Banyak anak muda dikenal dengan panggilan Castro, Ramos, Fidel, Che, Alex, Francis, Manuel padahal nama aslinya Haryadi, Husien, Ismail, Rahmat, Dadang atau Sukamto. Konon Adi Prasetyo yang kemudian dikenal secara luas sebagai Stanley bisa melenggang aman keluar negeri karena surat pencekalan tertulis atas nama Stenly saja. Dan si Stenly yang dicekal ini berpaspor Adi Prasetyo.

Karena kepentingan gerakan bawah tanah, maka penting bagi seseorang untuk mengaburkan identitas namanya dengan memakai nama sasaran. Gonta-ganti nama kerap pula dipakai oleh para buronan polisi terutama yang tersangkut dalam kasus terorisme. Tak heran jika kemudian polisi menempel pengumuman pencarian maka namanya menjadi panjang karena ada lebih dari 5 nama alias yang dipakai oleh orang yang masuk daftar DPO itu.

Kalo menangkap orang polisi juga kerap menyebut nama alias, untuk menyembunyikan identitas asli sebagai penghormatan atas asas praduga tak bersalah. KPK-pun sering memakai nama alias saat melakukan konperensi pers untuk mengumumkan penetapan seorang tersangka. Namun nama alias itu kerap menjadi tak berguna karena siapa yang diperiksa oleh KPK jelas terekam di moncong kamera media. Dan lagipula dalam menulis berita, media sering menaruh atribut di belakangnya, misalnya AU, Ketua Umum Partai Demokrat, maka jelaslah orang bakal tahu kalau AU itu adalah Anas Urbaningrum.

Ledakan pemakaian media sosial juga menyuburkan pemakaian nama alias. Banyak nama aneh-aneh muncul di account facebook atau twitter seseorang. Nama alias yang kemudian bernada alay dan lebay. Di twitter misalnya banyak account memakai nama alias yang agak aneh yang kemudian dikenal sebagai account anonim dengan isi tweet-nya yang menghebohkan. Beberapa account twitter dengan nama dan ava yang non real itu, kicauan bahkan menjadi rujukkan pemberitaan di media-media mainstreams. Dunia maya memang banyak berisi nama alias yang benar-benar maya.

Nama alias juga banyak dikenal dalam dunia tulis menulis, istilah kerennya nama pena, meski sekarang hampir tak adalagi penulis yang memakai pena dalam berkarya. Saya dulu pernah memakai nama Prof. Fosil sebagai nama samaran, hanya sekedar untuk keren-kerenan, bersenang semata. Kemudian suatu saat saya pernah dipanggil dengan sebutan Kertas lantaran kesukaan saya mendekorasi, jadi setiap kali ada kepanitiaan untuk acara tertentu saya selalu dimasukkan ke seksi dekorasi, berurusan dengan kertas. Lalu pada waktu lainnya pernah dipanggil juga dengan nama Kereta Api, karena merokok tiada henti, asap selalu mengepul dari mulut saya.

Nama samaran atau alias memang terkadang diperlukan, membantu banyak orang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya yang beridentitas nama sama. Menyenangkan, keren dan gagah untuk mereka yang sedang mencari identitas. Jadi silahkan mereka-reka  nama alias dan memakainya, namun saya harap semua itu tak dilakukan untuk menyembunyikan kejahatan, niat busuk atau sikap tidak satria yang merugikan banyak orang.

Pondok Wiraguna, 20 April 2013

@yustinus_esha

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun