Smartphone Mas Romo yang buatan China berdering, nyaringnya memang tak semerdu gadget yang berlambang apel digigit tapi cukup untuk membuat seorang yang tidur terbangun. Ketika melihat layarnya yang terbilang lebar, nomor yang memanggil tak dikenal oleh Mas Romo. Tapi dasar Mas Romo, nomor dikenal maupun tidak akan tetap diterimanya.
“Hallo, selamat siang”
“Mas, Japar ini ...”, begitu suara dari seberang.
“Eh, Pak Ketua .. apakabar, tumben kok nelepon saya?”
“Iya Mas ... ada perlu sedikit”, begitu seseorang yang mengaku Japar hendak menyampaikan keperluannya.
Singkat cerita, Japar yang adalah seorang anggota legislatif dan kemudian hendak mencalonkan diri untuk kedudukan yang sama pada periode yang kedua hendak meminta Mas Romo untuk membantu membuat materi publikasi untuk dirinya. Japar meminta Mas Romo mengembangkan materi pendidikan politik untuk digunakan sebagai media kampanye pada konstituen di daerah pemilihannya.
“Pendidikan politik itu kan penting to Mas Romo”, begitu ucap Japar ketika Mas Romo tak segera menjawab permintaannya.
“Ya, penting sih. Tapi bukankah itu seharusnya sudah dilakukan sejak dahulu. Salah satu tugas partai kan mendidik masyarakat agar melek politik. Kalau sudah dekat pemilu begini tak perlulah lah rakyat diberi informasi sejarah pemilu yang panjang itu. Cukup yang sederhana saja bagaimana cara memilih yang baik dan benar”, sahut Mas Romo.
“Maksud saya juga begitu Mas Romo”, ujar Japar.
“Ya, tapi urusan seperti itu biar saja LSM, organisasi mahasiswa atau organisasi sipil lainnya lah yang urus. Kalau caleg ujung-ujungnya memilih yang baik dan benar tentu saja ya pilih dirinya, itu bukan pendidikan politik tapi kampanye”, sambar Mas Romo cepat.
“Wah, Mas Romo, kami ini sebagai politisi tetap saja punya idealisme. Kami juga ingin politik negeri kita ini baik dan benar”, sanggah Japar.
“Benar juga, tapi kepentingannya kan biar sampeyan nggak banyak keluar peluru. Tidak seperti sekarang ini kan, rakyat, kaum pemilih tak ubahnya seperti peminta-minta kalau ketemu calon peserta pemilu. Jadi yang kurang gizi bakal mati kering”, ujar Mas Romo.
“Nah, Mas Romo tahu kan. Itulah yang harus kita perbaiki. Kalau masyarakat, konstituen tidak meminta-minta ke kami, maka kami juga tidak akan mencari uang kanan-kiri. Comot sana comot sini”
“Tapi kan yang mengajari masyarakat jadi peminta-minta kan para politisi, yang karena nggak tahu banyak permasalahan masyarakat, kalau datang berkunjung ke warga selalu tanya perlu bantuan apa. Ya terang sajalah kalau kemudian masyarakat memandang politisi yang baik itu yang nggak pelit”, kata Mas Romo tetap dalam nada sedikit menyerang.
“Jangan memandang politik hitam putih begitu Mas. Politik memang abu-abu”
“Atau lebih tepat buram” sahut Mas Romo cepat.
“Nah, makanya perlu penyadaran, pendidikan politik biar praktek politik semakin baik dan benar”
“Saya setuju saja, cuma pendidikan politik kan mesti jujur juga, tujuannya benar buat masyarakat dan bangsa. Bukan seolah-olah untuk masyarakat tetapi sebenarnya tujuan palingutama adalah mengumpulkan suara masyarakat”, sanggah Mas Romo.
“Pendidikan politik yang dilakukan oleh aktor politik menjelang pemilihan umum menjadi sia-sia sebab lima tahun yang telah berlalu mata masyarakat tidak tertutup. Mereka tahu, orang-orang yang sekarang ngomong politik bersih, selama ini tak lebih hanya tahu wani piro.” sembur Mas Romo.
“Jadi Mas Romo tidak bisa bantu saya untuk mengadakan pendidikan politik?”
“Saya tetap akan melakukan pendidikan politik, tapi bukan atas permintaan sampeyan”, pungkas Mas Romo singkat sambil menutup smarphonenya yang mulai panas.
Pondok Wiraguna, 16 Januari 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H