Salah satu kota di Indonesia yang terang-terangan memamerkan penjualan telur penyu adalah Samarinda. Telur penyu itu dipasok dari salah satu pulau dalam gugusan kepulauan Derawan yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Berau. Dan beberapa hari lalu, sekumpulan anak muda melakukan aksi untuk menghimbau penjualan telur Penyu.
Selain karena dilarang oleh undang-undang, telur Penyu sejatinya bisa disubtitusi oleh telur Ayam. Artinya kandungan protein telur Penyu tidak jauh lebih tinggi dari telur Ayam. Dengan membeli dan kemudian mengkonsumsi telur Penyu, kita sebenarnya rugi, rugi karena membayar jauh lebih mahal, karena harga satu butir telur penyu berkisar Rp. 10.000 keatas. Belum lagi kandungan lemak telur Penyu yang lebih tinggi dari telur Ayam sehingga berpotensi meningkatkan lemak jahat dalam tubuh.
Tapi sebenarnya saya tak ingin bercerita tentang Penyu, melainkan kisah sewaktu mengambil gambar anak-anak muda yang beraksi itu. Buat saya ada sebuah ironi besar, sewaktu anak-anak muda dengan pakaian seragam, atribut yang disiapkan dengan baik punya kepedulian yang sangat besar terhadap binatang. Aksi mereka itu disaksikan oleh beberapa anak kecil, anak-anak usia sekolah dasar yang bergelut dari pagi di simpangan jalan untuk menjual koran.
Saya sempatkan diri untuk mengambil gambar aktivitas mereka dan ketika mereka mendekat saya lontarkan tanya “Sekolahnya jam berapa dik?”. “Siang Om”, jawabnya. Beberapa saat kemudian saya kembali bertanya “Jualan korannya dari pagi sampai jam berapa?”. Cepat dia menjawab “Sampai malam Om”. Tapi kemudian dia tersadar “Sampai siang saja Om, sebelum sekolah”, katanya mengoreksi jawaban sebelumnya. Buat saya kemudian menjadi jelas bahwa anak-anak itu tak lagi sekolah.
Aksi stop perdagangan telur Penyu, stop penebangan hutan, stop penambangan, stop pembukaan kebun sawit, dan lain-lain adalah aksi yang biasa di kota Samarinda, namun saya belum menyaksikan sebuah aksi yang menyerukan stop pekerja anak di sektor berbahaya. Jalanan adalah salah satu sektor yang berbahaya untuk anak-anak. Selain karena soal kesehatan dan keselamatan, kultur jalanan berbahaya untuk perkembangan moralitas dan kejiwaan anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Saya tak hendak menggugat anak-anak muda yang peduli terhadap alam, lingkungan dan binatang sebagai abai pada lingkungan kemanusiannya. Bukan itu, sebab kepedulian mereka pada alam, flora dan fauna adalah juga bukti kepedulian pada kehidupan manusia dan sesamanya. Karena kritik mereka atas ekploitasi yang berlebihan pada alam semesta demi keuntungan ekonomi, pararel dengan kondisi yang membuat anak-anak itu turun ke jalan menjajakan koran.
Investasi, industrialisasi, ekpoitasi pada alam dengan gambaran indah soal kesejahteraan rakyat adalah mitos belaka, layaknya kepercayaan banyak orang bahwa dengan mengkonsumsi telur Penyu akan meningkatkan stamina secara luar biasa. Potret anak-anak penjual koran adalah gambaran betapa pendapatan yang tinggi dari pemerintahan di Propinsi Kalimantan Timur karena investasi ternyata tak cukup untuk menyediakan kesejahteraan yang merata untuk penduduknya.
Bukankah pemerintah sudah berjanji bahwa pendidikan dasar itu gratis. “Ya, gratis, tapi harus membayar uang ini dan itu, terutama uang buku yang sangat mahal”, begitu gugat ibu penyapu jalan. Dan sekolah memang tidak sekedar bebas uang SPP lalu beres, ada banyak hal lain yang bisa saja membuat anak-anak terhenti langkahnya menuju gerbang sekolah. Kemiskinan orang tua membuat anak-anak menjadi sumberdaya untuk membantu memperoleh pendapatan. Di pedesaan tenaga anak-anak dimanfaatkan untuk membantu orang tua berkebun, berladang atau bersawah. Sementara di perkotaan tentu saja dengan berjualan di jalanan.
Dan jualan koran tentu saja yang paling gampang, tak perlu modal besar selain hanya tahan berdiri di persimpangan jalan. Koran yang anak-anak jual, bukanlah koran yang mengharap pendapatan dari penjualan eceran. Halaman koran itu dipenuhi oleh advetorial hasil kontrak pembelian ruang dari pemerintah, entah eksekutif maupun legislatif, yang tentu saja nilainya bisa milyard-an setiap tahunnya.
Saya hanya bisa berharap, ketika menyusuri jalan tepian sungai Mahakam tak lagi melihat lapak-lapak pedagang menumpuk telur Penyu di mejanya, namun akan lebih mengembirakan lagi jika kemudian ketika saya menyusuri jalanan, menunggang angin keliling kota Samarinda tak lagi melihat anak-anak yang terpaksa menghentikan cita-citanya di perempatan jalan.
Pondok Wiraguna, 30 November 2013
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H