[caption id="attachment_246034" align="aligncenter" width="604" caption="Kopi Jarod, Dok. Pribadi"][/caption]
Seingat saya, di rumah dulu, bapak dan ibu jarang menyediakan kopi sebagai minuman sehari-hari. Sesekali ibu meminta saya untuk membeli kopi giling di warung kalau ada Mbah Soma, Lik Tukiran dan Om Win bertamu ke rumah untuk ngobrol-ngobrol dengan bapak. Karena penasaran terkadang saya menyeruput kopi yang tersisa dan jika dipergoki oleh ibu maka akan berkata ‘Anak kecil ndak boleh minum kopi, nanti cepat tua”.
Saya sedikit diberi kebebasan untuk ikut meminum kopi kalau pergi berlibur ke rumah kakek dan nenek. Tidak seperti di rumah Bapak dan Ibu yang hanya membeli kopi yang digiling sendiri oleh pemilik warung, di rumah kakek dan nenek selalu tersedia kopi kemasan, yang kalau tidak salah bermerek “Kopi Munthu”. Karena nenek tahu kalau saya senang kopi, maka setiap kali saya pergi ke rumah nenek maka untuk saya selalu disediakan kopi sementara untuk saudara-saudara yang lain disajikan susu.
Jaman merdeka minum kopi terjadi ketika saya setamat SMA pergi ke Sulawesi Utara. Masyarakat disana lebih biasa meminum kopi, bukan hanya pagi dan petang melainkan juga di siang hari. Kopi menjadi minuman sehari-hari dan kopi yang ternama adalah kopi Kotamobagu, kopi hasil pertanian rakyat di Kabupaten Bolangmongondow (*saat ini sudah dimekarkan menjadi beberapa kabupaten dan kota).
Kebiasaan minum kopi tercermin dari banyaknya rumah kopi di Sulawesi Utara. Yang meski dinamakan sebagai rumah kopi, namun bukan hanya kopi saja yang disajikan melainkan juga teh, teh susu dan kopi susu. Selain minuman, rumah kopi biasanya juga menyajikan pangganan untuk menemani tamu menikmati minumannya. Di Minahasa misalnya, rumah kopi biasanya menyediakan pangganan, Kue Biapong (seperti Ba’ Pao), yang berisi daging (kebanyakan babi) atau ‘Unti’ tumbukan kacang dan parutan kelapa yang manis. Ukurannya yang besar membuat satu Biapong cukup untuk menganjal perut sebagai penganti sarapan di pagi hari.
Di Manado, pangganan yang disajikan lebih beragam, selain jenis kue tradisional semacam Panada, Balapis, Lalampa, Bolu Peca’, Kolombeng dan Apang serta Pisang Goroho Goreng ditemani Sambal Roa, ada juga yang menyediakan aneka roti bakar. Beberapa di antaranya yang buka semenjak pagi-pagi buta, juga menyediakan nasi kuning, entah yang dibungkus dengan daun pisang maupun daun woka.
Rumah kopi yang ternama berada di bilangan Tikala, Jl. Samratulangi dan Jalan Roda. Kesemuanya mempunyai pelanggan, tamu-tamu setia yang berbeda-beda. Dari berbagai lokasi rumah kopi, yang termahsyur atau bahkan menjadi salah satu icon dari kota Manado adalah rumah-rumah kopi yang berada di Jalan Roda.
Jalan Roda terletak di Pusat Kota Manado, Pasar 45, tepatnya di lorong tak jauh dari komplek President Plasa. Jalan Roda mempunyai sejarah yang panjang sebagai tempat pertemuan masyarakat dari luar Kota Manado saat mereka berurusan di Kota Manado. Dinamai sebagai Jalan Roda, karena disitulah dahulu masyarakat dari luar kota Manado menaruh Roda (Gerobak yang ditarik kuda). Maka tempat itu menjadi tempat istirahat sekaligus bertukar cerita. Lama kelamaan lorong di belakang pertokoan itu tumbuh warung-warung untuk melepas penat, menunggu saat yang tepat pulang ke rumah.
Sejarah Jalan Roda sebagai tempat pertemuan dan bertukar cerita terus terjaga tatkala jaman Roda, gerobak yang ditarik kuda berganti menjadi gerobak yang digerakkan oleh mesin. Sejarah itu dilestarikan dari jaman satu ke jaman lain oleh rumah kopi yang bertebaran di sepanjang lorong itu.
Saya mengenal Jalan Roda semenjak tahun 1996, dan sejak itu menjadi salah satu pengunjung tetap hingga menjelang akhir tahun 2002, sebelum melangkah kaki berpindah ke pulau Kalimantan. Setiap sore, jika tak ada kepentingan yang mendesak, saya selalu melangkahkan kaki ke Jalan Roda, menikmati satu dua cangkir kopi sambil mengepulkan asap kretek, bertukar cerita hingga sekitar jam 7-8 malam.
Saya biasanya memilih duduk di Rumah Kopi milik Om Hani, yang terletak di ujung sebelah dalam. Dapur Rumah Kopi Om Hani, berada di sebagian kecil ruko tiga lantai yang dikenal sebagai Rumah Makan Tante Dolly, yang lantai duanya adalah tempat minum-minum dan mangkal Pekerja Seks Komersil yang beroperasi sejak siang hingga dini hari, sementara lantai tiganya adalah kamar-kamar tempat pelanggan dan Pekerja Seks Komersil melakukan upacara kemasksiatan. Duduk-duduk di Rumah Kopi Om Hani, sesekali akan melihat atau bertemu dengan PSK yang STW memesan kopi atau kopi susu dengan gelas yang dibawa dari Rumah Makan Tante Dolly.
Anatomi Jalan Roda memang menarik, beragam manusia dan kelompok hadir di tempat ini dengan kekhasan masing-masing, namun duduk berdampingan tanpa mengusik satu sama lain. Kalaupun ada ‘gesekan’ itu muncul dalam bentuk gurauan dan sindiran yang makin menghangatkan suasana. Di ujung jalan masuk bagian depan, biasa berkumpul kelompok seniman, budayawan dan jurnalis senior plus kelompok lain yang dekat atau berurusan dengan mereka. Maka tempat ini biasa hinggar binggar, kerap kali ada yang datang membawa perangkat musik (Keyborard) lengkap dengan soundnya, pengunjung datang bergantian menyanyi ditimpali dengan celetukan-celetukan untuk meramaikan suasana. Om Kale, Om Obe dan Tante Min, komedian yang terkenal saat itu kerap berada disitu ikut meramaikan suasana.
Di bagian sebelahnya, kerap berkumpul politisi atau birokrat senior, entah yang masih aktif atau sudah pensiun. Maka suasananya agak tenang dan pembicaraan agak bernuansa nostalgia. Duduk dan mendengarkan cerita dari mereka, akan banyak mendapatkan kisah-kisah yang berada di bawah permukaan, cerita di balik cerita kehidupan politik dan pemerintahan di Sulawesi Utara umumnya dan Manado khususnya.
Lebih masuk ke dalam lagi, ada Rumah Kopi yang menjadi tempat berkumpul para ‘bussinessman’, pedagang atau pengusaha kecil, calo, broker, pedagang perantara, termasuk pedagang batu mulia. Suasananya relatif lebih tenang, banyak yang bicara sedikit berbisik-bisik, seolah sedang membicarakan pokok yang eklusif dan tidak ingin diketahui oleh banyak orang.
Saya lebih memilih untuk ngopi di Rumah Kopi Om Hani, ujung bagian dalam. Di sini banyak berkumpul aktivis politik, sosial keagamaan, pemuda dan mahasiswa, serta organisasi non pemerintah, komunitas yang merupakan habitat saya. Buat saya dan teman-teman lainnya berada di Rumah Kopi bukan semata untuk menghabiskan waktu melainkan juga untuk bertukar cerita, menggali gagasan bahkan juga untuk berkegiatan. Saya dan beberapa teman kerap mengadakan dialog dan diskusi publik di Rumah Kopi, pertama karena ongkosnya murah, tidak perlu menyewa ruang dan tak perlu sibuk mengedarkan undangan. Tinggal membawa perangkat sound sytem sederhana dan menyediakan pemantik diskusi saja, dan bisa dipastikan dialog atau diskusi akan berlangsung dengan hangat dan panas, karena disitu berkumpul para jagoan, macan panggung dan dedengkot pergerakkan pada berbagai bidang.
Dengan postur sosio antropologis semacam itu maka tak heran kalau semua calon Walikota Manado, pertama-tama akan menyambangi Jalan Roda, untuk memperkenalkan diri sekaligus meminta ‘restu’ dari warga Jalan Roda untuk maju sebagai calon pemimpin kota Manado. Dan bukan hanya itu, calon legislatif dan calon-calon lainnya biasanya juga akan datang ke Jalan Roda untuk mencari dukungan dan membicarakan strategi pemenangan. Maka pada musim ‘suksesi’ perbincangan di Jalan Roda bakal panas, karena penghuni Jalan Roda akan terpecah-pecah lantaran memberi dukungan pada sosok yang berbeda-beda. Sindir menyindir, ejek mengejek yang terkadang membuat muka merah, telinga panas dan terkadang juga kemarahan yang meledak tak sulit untuk ditemui.
Selain suasana apa yang membuat saya betah dan ‘nyandu’ untuk pergi ngopi di Jalan Roda, tentu saja adalah kopinya. Bukan karena kopi bubuknya adalah pilihan dan diolah oleh Barista. Kopi di Jalan Roda adalah kopi bubuk biasa, bukan kopi spesiality, bukan kopi yang dipilih dari daerah tertentu. Yang membedakan kopi Jalan Roda dengan kopi di rumah adalah cara seduhnya. Kopi Jalan roda bukan ‘Kopi Tubruk’, dimana bubuk kopi ditrauh dalam gelas lalu disiram air panas. Kopi Jalan Roda, diseduh dengan cara dijerang dalam saringan kain yang ditaruh di ceret kuningan dan dipanaskan di atas bara arang. Makanya Jalan Roda menjadi serba ‘Hot’, panas karena perbincangan yang ditemani dengan kopi panas sekaligus pancaran panas dari perapian yang terus menyala dengan bara arang.
Berkaitan dengan budaya ngopi, di Jalan Roda dikenal istilah ‘Kopi Stengah dan Kopi Lombo’. Apabila tamu tak ingin minum terlalu banyak kopi maka akan memesan sambil teriah “Kopi Stengah’ dengan kode mengacungkan jari telunjuk dan ujung jempol yang dilekatkan di ruas kedua jari telunjuk. Ya, sebenarnya tidak benar-benar setengah karena pesanan dengan kode kopi stengah akan disajikan di cangkir yang terisi dua pertiga.
Kopi di Jalan Roda, kepekatannya juga rata-rata, standard saja. Namun tak semua sanggup menahan degup di dada kala meminumnya, maka banyak pula yang akan memesan dengan kode “Kopi Lombo”. Maka sang ‘Barista’ akan menuang kopi yang telah diseduh ke cangkir dengan sampai setengah gelas dan kemudian menambahkan dengan air panas. Jadilah kopi lombo, kopi yang agak encer.
So, buat siapa saja yang punya kesempatan singgah di Kota Manado, setelah puas menikmati keindahan Bunaken, cuci mata di Boulevard, menyantap segarnya Bubur Manado dan ‘merasai’ Bibir Manado, jangan lupa singgah minum kopi di Jalan Roda. Tak perlu khawatir pergi kesana, biarpun tak ada orang yang dikenal, datang saja dan duduk sambil menikmati kopi, tak perlu waktu lama pasti ada yang menegur dan memulai perbincangan. Orang Manado adalah orang yang suka berbincang, mengobral cerita dan cepat akrab dengan ‘orang asing’.Di Jalan Roda ini kita akan menikmati atmosfir Kota Manado, Propinsi Sulawesi Utara yang dulu punya slogan “Torang Samua Basudara”.
Pondok Wiraguna, 3 April 2013
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H