Datah Naha, Lirung Ubing, Naha Aru dan Long Isun merupakan empat kampung yang berada dalam satu deretan. Kawasan atau hamparan tempat empat kampung itu berada di sebut sebagai Datah Suling. Disebut sebagai Datah Suling untuk mengingatkan bahwa nenek moyang dari keempat warga kampung itu dulu berasal dari sebuah hamparan atau daerah di sekitar Sungai Suling.
[caption id="attachment_256768" align="aligncenter" width="599" caption="Bandara Datah Dawai. Dok. Pri"][/caption]
Datah Suling sendiri merupakan pemukiman hasil re-grouping kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah sekitarnya. Misalnya warga kampung Long Isun, awalnya bermukim di daerah dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam dengan memakai Ketinting. Daerah re-grouping ini mulai ditempati sekitar tahun 1993. Mayoritas penduduk kawasan data Suling adalah suku Dayak dari sub etnis Bahau Busang. Namun ada juga orang Jawa, salah satunya adalah Pak Juarno yang berasal dari Yogyakarta. Pak Juarno tinggal di Long Isun karena beristri seorang wanita dari Dayak Bahau. Pasangan suami istri, Jawa-Bahau ini memilih tinggal di kampung setelah Pak Juarno pensiun sebagai guru di Tering.
Tanggal 25 Mei 2013, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Datah Suling. Rencananya selama 4 hari akan tinggal di Lirung Ubing. Baru satu malam menikmati suasana pemukiman di tepi sungai, saya disarankan untuk kembali ke Samarinda dengan menumpang pesawat yang jadwal terbangnya dua kali seminggu. Bukan diusir namun hanya sekedar saran agar tidak terlalu banyak waktu terbuang untuk perjalanan di sungai dan darat antara Kabupaten Mahakam Hulu dan Kota Samarinda.
Perjalanan melalui sungai dan darat antara Lirung Ubing yang terletak di Kecamatan Long Pahangai Kabupaten Mahakam Hulu hingga Kota Samarinda bisa memakan waktu tempuh kurang lebih dua hari jika tidak terkoneksi di Long Bagun. Perjalanan panjang itu akan terpangkas jauh apabila bisa menumpang pesawat yang menerbangi rute dari Bandara Datah Dawai Long Pahangai ke Bandara Temindung Samarinda yang waktu tempuhnya kurang lebih 1,5 jam. Atau turun di Bandara Melak Kutai Barat dengan waktu tempuh yang hampir sama dan kemudian disambung dengan perjalanan kurang lebih 8 jam dari Melak Kutai Barat ke Samarinda.
Beruntung di Lirung Ubing saat itu ada Kepala Adat Besar Long Pahangai yang bersedia menguruskan surat rekomandasi dari pihak yang berwenang di Long Pahangai. Unik memang karena ada kuota untuk menumpang pesawat itu. Setiap kali penerbangan daerah Long Pahangai diberi kuota sebanyak 8 orang penumpang. Calon penumpang yang tidak masuk dalam kuota yang ditandai dengan surat rekomandasi harus bersiap-siap tidak bisa terbang karena kursi telah penuh terisi.
Hari Sabtu siang saya datang ke Lirung Ubing dan hari Senin pagi-pagi saya sudah harus bersiap untuk menaiki ketinting kurang lebih 1,5 jam ke Long Lunuq kampung dimana bandara Datah Dawai berada. Bandara Datah Dawai berada di daerah mudik (ke atas) dari Kampung Lirung Ubing. Hari Senin, begitu bangun saya segera mandi di MCK yang berada di tepian sungai. MCK itu selain berfungsi untuk kegiatan sanitasi dan cuci mencuci juga sebagai tempat untuk mendarat dan menambatkan perahu ketinting atau long boat. Pagi dan sore MCK dipenuhi dengan deretan perahu dan di dermaganya berjejer mesin ketinting yang ditinggalkan karena berat untuk mengangkat, pergi pulang ke rumah.
Sekitar jam 8 pagi, Kepala Adat yang tinggal di Long Pahangai datang membawa surat rekomandasi. Dengan membawa surat itu, saya diantar oleh seorang ‘motoris’ Ketinting menuju Datah Dawai. Sebenarnya ada perasaan enggan untuk meninggalkan Lirung Ubing yang baru saya ‘nikmati’ selama dua malam. Namun sekaligus muncul perasaan bahagia karena segera akan menikmati pemandangan Mahakam Hulu dari atas pesawat.
[caption id="attachment_256776" align="aligncenter" width="300" caption="Berdiam di tepian, menunggu "]
Perjalanan antara Lirung Ubing menuju Long Lunuq (Datah Dawai) dihiasai oleh hamparan hijau di kanan kiri sungai. Bukit-bukit yang dihiasi kabut pagi hari menyajikan pemandangan yang menyejukkan hati. Sedikit perkampungan, yang sesekali nampak di kanan diri adalah pondok-pondok tempat istirahat dari orang yang berladang. Setelah 30 menit perjalanan nampak di bagian kiri mudik sungai deretan perahu berdiam di pinggiran sungai, berdiam di bawah pepohonan yang menjorok ke arah sungai. Mereka berdiam di tepian sungai untuk menunggu rombongan “Babi Berenang’ dari satu sisi sungai ke sisi lainnya. Itu adalah keadaan terlemah bagi Babi hutan sehingga bisa ditombak untuk kemudian ditangkap dan dibawa pulang bagi yang berhasil melumpuhkannya dengan tombakan.
Menurut ceritanya, fenomena ‘Babi Berenang’ ini terjadi dalam siklus setiap 5 atau 6 tahun sekali. Namun kini rombongan Babi hutan yang menyeberang semakin kecil jumlahnya. Dulu bisa ratusan ekor setiap kali menyeberang, namun sekarang kerap kali hanya Babi jantan, induk dan anak-anaknya saja. Babi hutan mulai berkurang secara drastis karena diburu dengan senapan dan jerat, diburu bukan untuk dimakan oleh pemburunya melain menjadi komoditas untuk diperdagangkan.
Selain pemandangan alam yang menghijau, sepanjang perjalanan nampak juga beberapa ekor Monyet bermain dan bergantungan di dahan, burung beterbangan dan “Pohon Kelelawar”. Tak jauh sebelum mencapai Bandara Datah Dawai ada sebuah pokok pohon yang tinggi besar dipenuhi dengan kelelawar yang bergantungan dan beterbangan di sekitarnya. Tarian Kelelawar di pohon Benuang itu menjadi pemandangan indah yang jarang ditemui di tempat lainnya.
[caption id="attachment_256772" align="aligncenter" width="599" caption="Nenek Menunggu Penerbangan. Dok. Pri"]
Akhirnya setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam sampailah saya di Kampung Long Lunuq tempat Bandara Datah Dawai berada. Bandara sendiri terletak kurang lebih 500 meter dari tepian sungai dan dihiasi oleh bebukitan di sebelah sisi jauh dari arah sungai. Dari kampung ke arah bandara harus melewati jalan kayu yang bagaikan jembatan panjang terbuat dari susunan kayu ulin.
[caption id="attachment_256771" align="aligncenter" width="612" caption="Memanfaatkan Signal Kuat di bandara. Dok. Pri"]
Setelah menyerahkan surat rekomandasi kepada petugas, saya diminta menunggu. Waktu saya manfaatkan untuk melihat-lihat keadaan di sekitar bandara. Saya berjalan menuju apron dan dari kejauhan melhat truk dan escavator tengah beraktivitas untuk memperlebar dan memperluas bandara. Dari pegawai dinas perhubungan yang bertugas di Bandara Datah Dawai saya mendapat informasi proyek pembangunan bandara itu dikerjakan oleh tentara. Bandara Datah Dawai juga merupakan lokasi strategis untuk pertahanan di perbatasan (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Serawak). Menurut rencana pada tahun 2015 Bandara Datah Dawai sudah bisa didarati pesawat yang lebih besar.
[caption id="attachment_256769" align="aligncenter" width="598" caption="Memilih Manik-Manik. Dok. Pri"]
Tak nampak wajah orang-orang yang sok sibuk dan bergegas sebagaimana biasa di bandara lainnya. Calon penumpang duduk-duduk bercengkerama di berbagai sisi bandara. Ada yang asyik bertelepon ria karena signal di sekitar bandara kuat. Ada pula yang asyik memilih dan mematut-matut diri dengan hiasan manik-manik yang dijual oleh seseorang di bagian teras bangunan utama bandara.
Penumpang yang akan mendarat di Samarinda sudah ditimbang beserta barang bawaannya. Dan kemudian diberi tiket serta boarding pasnya. Saya sendiri sebenarnya berniat untuk turun di Samarinda, namun tidak bisa karena kursi telah terisi penuh. Maka saya akan turun di Melak dan penumpang yang ke Melak akan ditimbang dan didata setelah penumpang yang ke Samarinda berangkat.
Kurang lebih satu setengah jam saya berada di Bandara Datah Dawai bertukar cerita dengan orang-orang yang baru saya temui. Ceritanya masih seputar eforia mereka dengan peresmian pemekaran Kabupaten Mahakam Hulu, peluang dan juga tantangan utamanya. Ketika asyik bercerita, saya melihat orang-orang mulai menarik kopornya berjalan meninggalkan area bandara. Wah, ternyata pesawat tak jadi datang karena cuaca buruk di Samarinda dan Melak. Petugas mengumumkan dengan berteriak “Pesawat batal datang”, itu saja dan diulang.
Dan perkataan petugas ibarat sabda atau titah raja yang segera diikuti dengan bubarnya calon penumpang tanpa bisa protes. Tak ada substitusi untuk pembatalan hari ini, pesawat akan datang kembali pada jadwalnya yaitu hari Kamis depan dan semua penumpang harus kembali mengurus ‘rekomandasi’. Yang sudah diberikan tak bisa dipakai lagi.
Saya segera angkat tas dan berjalan menuju arah sungai untuk kembali pulang menaiki ketinting menuju Lirung Ubing. Di warung makan yang berada tak jauh dari sungai, saya mendengar seorang calon penumpang mengerutu. Penumpang yang berasal dari Long Apari tentu saja kehilangan banyak ongkos gara-gara pembatalan penerbangan, akibat pesawat tidak datang. Butuh ratusan ribu untuk ongkos pulang pergi antara Long Apari dan Long Lunuq yang berada di kecamatan berbeda.
Ada perasaan jengkel dan sekaligus gembira dengan pembatalan itu. Saya batal pulang ke Samarinda yang membuat kembali bisa menikmati kehidupan di Lirung Ubing paling tidak untuk sehari semalam sebelum esok menempuh perjalanan sungai dengan long boat atau speed menuju Long Bagun dan Tering. Ketika sampai di kampung Lirung Ubing, orang-orang yang kembali saya temui tersenyum dari jauh ketika melihat saya datang. Mereka mengatakan “Wah, cepat sekali kembali”.
“Kalau sudah minum air Mahakam memang akan kembali lagi”, begitu ucap seseorang mengingatkan saya pada mitologi air sungai Mahakam yang selalu akan memanggil pulang siapapun yang pernah meminumnya.
Pesawat batal datang dan terbang memang cerita biasa di Long Pahangai dan Long Apari, meski dongkol dan jengkel, warga sepertinya sudah mahfum dengan keadaan ini. Layanan yang nampaknya setengah hati gara-gara penerbangan dan tiketnya yang disubsidi. Karena subsidi, ongkos naik pesawat ke Samarinda atau Melak, bisa memangkas separo lebih biaya yang harus dikeluarkan apabila memakai jalan sungai dan darat (dari Kutai Barat ke Samarinda).
[caption id="attachment_256773" align="aligncenter" width="612" caption="Burak "]
Jadi meski tanpa ucapan maaf dari operator pesawat, saya berusaha untuk menerima batalnya perjalanan udara di atas Mahakam Hulu. Kabar baik itu toh bisa menjadi kabar baik karena ada yang belum sempat saya cicipi di Datah Suling yaitu Burak, sejenis tuak hasil fermentasi dari tape ketan. Dan malam itu saya akhirnya bisa mencicipi minuman manis, asam dan menghanggatkan badan itu di rumah Pak Joseph. Saya pergi di kampung ujung milir Datah Suling yaitu Kampung Long Isun. Diatas hamparan lampit rotan bersama Pak Joseph dan warga lainnya kami menikmati seceret Burak sebagai upacara perayaan untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan. Dan di tangan kanan saya telah melingkar gelang manik yang menjadi tanda bahwa saya diterima sebagai keluarga oleh masyarakat Dayak Busang Bahau di Datah Suling, penerimaan yang tentu saja membahagiakan untuk saya.
Pondok Wiraguna, 30 Mei 2013
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H