Ada dua nama yang kerap menyeruak ketika masa-masa menjelang pemilu. Dua nama itu adalah Rhoma Irama dan Iwan Fals. Namun dalam pemilu 2014, nama Iwan Fals lenyap, dia lebih memilih menjadi ‘Begawan’ dengan OI-nya. Iwan Fals tetap saja punya pengaruh tetapi tidak memilih lewat jalan politik. Sementara itu Rhoma Irama yang biasanya hanya menjadi ‘peraup suara’ kini memilih untuk mengekplisitkan peran dan fungsinya dengan menjadi calon presiden.
PKB menjelang pemilu legislatif disebut-sebut bakal mengusung Rhoma Irama menjadi calon presidennya. Lewat media sosial muncul ‘olok-olok’ lewat kicauan ‘Dari Satria Pininggit ke Satria Bergitar’. Istilah satrio pininggit kerap muncul menjelang pemilu, ada semacam mitos bahwa pemimpin adalah orang yang tersembunyi, sosok luar biasa tapi belum dikenal dan kemudian akan muncul untuk membawa perubahan.
Dan bagi mereka yang percaya mitologis bernuansa kargoisme, maka munculnya sosok Rhoma Irama menjadi pengejawantahan dari Satrio Pininggit itu. Tapi sudahlah, kepercayaan kepemimpinan mitologis semacam itu tentu saja tidak benar, sebab ketika SBY terpilih untuk pertama kali dulu, banyak yang menyakini bahwa SBY adalah satrio pininggit itu tapi nyatanya gambaran satrio pininggit tidak terbukti ada dalam diri SBY, karena kepemimpinannya biasa-biasa saja, tidak menampakkan bahwa SBY adalah seorang satria. Bagi kebanyakan orang SBY bahkan mewakili sosok satrio yang lembek.
Soal Rhoma Irama, mungkin benar bahwa dia menjadi pujaan banyak orang. Saya sendiri sewaktu kecil juga termasuk yang memujanya. Pangkalnya tidak ada sosok lain yang sehebat dia dalam berdangdut ria. Tapi seiring dengan waktu, melihat perjalanan Rhoma di jaman saya kecil sampai menjelang tua, Rhoma Irama tetap saja begitu-begitu saja. Gaya dalam membawakan lagu-lagunya tetap begitu-begitu saja. Maka jika dianalisa dari sisi kreatifitas dalam berkesenian, Rhoma sesungguhnya telah macet, tidak ada gebrakan baru, sajian yang menyegarkan yang bisa menyakinkan saya bahwa Rhoma adalah orang yang terus berproses dalam bermusik dan berkesenian.
Jadi ketika kemudian PKB mencalonkan Rhoma Irama menjadi capresnya, maka saya memandang Muhaimin sebagai ketua PKB tengah memainkan teknik marketing politik yang disebut sebagai ‘Unique Selling Point’. Rhoma Irama dipakai sebagai penanda kampanye politik yang berbeda dengan partai politik lainnya. Pilihan Muhaimin adalah pilihan yang jauh lebih cerdas ketimbang teknik marketing yang dipakai oleh Suryadarma Ali, ketua PPP yang kemudian muncul di kampanye akbar partai Gerindra.
Sejak awal saya meyakini bahwa PKB tidak benar-benar serius mencalonkan Rhoma Irama, karena buat saya sosok Rhoma Irama jelas tidak mewakili platform dan marwah PKB sama sekali. PKB adalah partai terbuka, namun Rhoma Irama dalam setiap pernyataannya justru mengkerdilkan PKB menjadi partai yang sempit. Maka saya juga tidak meyakini kalau kenaikan jumlah perolehan suara PKB karena ‘Rhoma Effect’. Buat saya Rhoma Effect adalah olok-olok pengamat politik yang tidak tajam dalam melakukan analisa terhadap perolehan suara PKB.
Kepintaran Muhaimin dalam melakukan marketing politik adalah dengan membentengi pencalonan Rhoma Irama dengan angka 20% perolehan suara pada pemilu 2014. Dan tentu saja angka itu mustahil akan dicapai oleh PKB. Sebab perolehan tertinggi PKB dalam pemilu sebelumnya adalah 14%, itupun dicapai saat Gus Dur masih di PKB.
Dan benar saja ketika capaian perolehan suara PKB sekitar 8%, Muhaimin tidak lagi menyebut-nyebut Rhoma Irama sebagai calon presiden. Sikap yang kemudian dipertanyakan oleh Rhoma Irama dan pendukungnya. Menurut Rhoma seharusnya dalam perundingan-perundingan untuk membentuk koalisi dalam Pilpres, PKB harus menawarkan dirinya sekurangnya sebagai calon wakil presiden. Rhoma dan para pendukungnya mengancam jika itu tidak dilakukan maka dalam perhelatan Pilpres nanti akan menarik dukungan terhadap PKB.
Nampaknya ‘ancaman’ Rhoma Irama dianggap sambil lalu oleh PKB, apa yang disebut dengan ‘Rhoma Effect’ tidak terlalu dikhawatirkan. Sebab yang disebut dengan ‘Rhoma Effect’ dalam pemilu legislatif juga mudah untuk diperdebatkan. Buat saya, kenaikan suara PKB pada pemilu legislatif 2014 yang lebih tinggi dari perolehan suara pada pemilu 2009 dikarenakan kembalinya kaum nahdiyin ke PKB.
Dengan demikian yang disebut sebagai ‘Satria Pininggit’ itu bisa dipastikan bukan ‘Satria Bergitar’.
Pondok Wiraguna, 2 Mei 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H