Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Batu Bara ke Batu Karang

29 Mei 2014   19:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wakatobi, Bunaken, Derawan adalah sederet tempat yang menjadi impian para pelancong terutama yang menyukai pemandangan bawah laut.Namun untuk saat ini tak pelak lagi, Raja Ampat-lah yang menjadi impian semua pelancong pecinta pemandangan dan kehidupan laut.

Diantara mereka yang bermimpi itu, saya menjadi salah satu yang beruntung karena bisa kembali ke Raja Ampat tanpa mengeluarkan ongkos pribadi. Perjalanan kali ini menjadi perjalanan ketiga mengunjungi sepotong surga di tanah Papua. Perjalanan yang pertama adalah saat saya diminta menjadi fasilitator untuk pelatihan Community Concervation Organizer. Saat itu saya tidak sampai ke pulau utama, melainkan hanya sampai ke Pulau Jefman. Di pulau itu ada sebuah bandara yang dibangun oleh Belanda. Bandara itu kini dibiarkan terbengkalai karena dibangunnya Bandara Dominic Eduard Osok (DEO) di Kota Sorong.

Perjalanan kedua ke Raja Ampat saya lakukan untuk mengambil gambar sebagai bahan pembuatan film dokumenter tentang kegiatan macro finance yang dilaksanakan oleh COREMAP. Saat itu saya sempat mengunjungi beberapa tempat di pulau Waigeo, Pulau Pam, gugusan pulau Pianemo, Pulau Jefman dan beberapa pulau lainnya.

Dan perjalanan ketiga ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya karena kali ini adalah sekedar jalan-jalan, melancong sebagai wisatawan. Perjalanan ini adalah sebuah hadiah karena sedikit memberi bantuan kepada seorang kawan yang memenangkan kompetisi yang diselenggarakan oleh solusimu.org. Perjalanan kali ini membuat saya merasa bak orang kaya, karena selembar tiket pp Garuda Indonesia Airways tertulis harga sebesar 11 juta lebih.

Samarinda Kota Batu Bara

Jam 11.00 tepat dengan menumpang Kanggaroo Travel saya meninggalkan Kota Samarinda. Perjalanan dimulai dengan menyusuri pinggir sungai Mahakam, itulah kenapa Samarinda dinamai sebagai Kota Tepian. Beberapa puluh tahun lalu pemandangan utama sungai ini adalah lalu lalang ponton yang membawa tumpukan log kayu atau kayu gelondongan. Namun kini kejayaan kayu sudah berakhir dan pemandangan kapal membawa tumpukan kayu menjadi sangat langka.

Pemandangan utama di alur sungai Mahakam saat ini adalah deretan gunung hitam yang berjalan pelan mulai pagi menjelang hingga gelap malam. Ribuan ton gunungan Batubara berbaris dari hulu menuju hilir. Sepanjang sungai Mahakam berdiri kokoh puluhan atau bahkan ratusan conveyor yang menyemburkan bongkahan kecil emas hitam ke atas ponton pengangkut untuk kemudian dikirim ke seluruh penjuru dunia.

Tidak semua ponton yang melewati depan perkantoran Gubernur Kalimantan Timur mengangkut batubara yang ditambang dari Kota Samarinda. Sebagian besar berasal dari Kutai Kartanegara dan Kutai Barat. Hanya saja sebagai ibukota propinsi, barangkali Samarinda adalah satu-satunya ibukota propinsi yang membiarkan sebagian besar wilayahnya dikuasai oleh konsensi tambang batubara.

Tambang batubara di Kota Samarinda tidak tersembunyi di pedalaman, melainkan sudah menyentuh wilayah pemukiman. Saking dekatnya dengan pemukiman, lubang-lubang tambang yang dibiarkan menjadi danau telah menelan korban 8 anak yang tak mampu menahan diri untuk bermain di kubangan itu.

Semenjak dulu kota ini dikenal sering tergenang, dinamai Samarinda karena konon permukaan daratannya hampir sama tinggi dengan permukaan sungai Mahakam. Maka jika hujan atau air pasang sebagian wilayah Samarinda akan tergenang, baik sementara maupun dalam bentuk rawa-rawa di banyak tempat. Namun kini dengan pembongkaran lahan-lahan perbukitan baik untuk keperluan mengeruk batubara maupun pembangunan kawasan real estate, wilayah banjir semakin meluas dengan intensitas yang semakin sering. Anginpun terasa semakin kencang karena perbukitan yang melindungi Samarinda dari terpaan angin semakin berkurang.

Sayangnya meski kaya dengan batubara, masyarakat Samarinda tidak menikmatinya dalam bentuk energi listrik yang berlimpah. Penduduk kota Samarinda sebagai warga ibukota dari propinsi yang berjuluk lumbung energi nasional terbiasa dengan listrik yang byar pet. Listrik yang dinikmati oleh warga Samarinda dibangkitkan dengan energi fosil yang didatangkan dari luar wilayahnya.

Dari AM. Sulaiman hingga Dominik Eduard Osok

Perjalanan Samarinda hingga Balikpapan normalnya ditempuh selama 2,5 hingga 3 jam. Pada saat tertentu bisa saja lebih lama karena jalanan macet akibat tumpukkan kendaraan di ruas jalan yang sempit. Beberapa tempat di ruas jalan Samarinda – Balikpapan juga sering longsor, jalanan anjlok karena tanah tak kuat menahan beban.

Pertengahan perjalanan akan memasuki bebukitan yang dikenal sebagai Bukit Suharto, Kawasan Taman Hutan Rakyat yang merupakan hasil reboisasi atas lahan HPH. Namun kawasan hutan bukit Suharto terus mengalami tekanan, dirambah hingga luasannya semakin menyusut. Di sepanjang pinggiran bisa disaksikan berdiri pondok-pondok yang bisa menjadi tempat istirahat bagi pengendara yang melewati jalanan Samarinda-Balikpapan. Bahkan dititik tertentu ada deretan panjang warung yang semakin lama semakin membesar dan permanen.

Setelah melewati bukit Suharto hati terasa lega, Balikpapan semakin dekat dan rasa bosan terperangkap waktu di jalan mulai menguap. Balikpapan sudah di depan mata, tak lama lagi kaki bakal menjejak lantai Bandara AM Sulaiman, Sepinggan yang kini nampak lebih megah dengan tambahan bangunan barunya.

Sosok kemegahan bandara AM Sulaiman, Sepinggan Balikpapan akan terasa begitu memasuki teras depannya. Bandara terasa longgar dan meski belum sepenuhnya selesai ditata namun ada atmosfir yang jauh berbeda dibanding dengan bangunan sebelumnya.

Setelah check in di counter maskapai Garuda Indonesia Airlines, sebagai seorang perokok, ruang tunggu bandara yang baru terasa menyiksa. Tidak ada ruang untuk merokok, hanya ada satu tempat sempit di gerai kopitiam. Semua perokok berkumpul disitu sehingga mata terasa perih. Untunglah tak perlu lama-lama melamun di ruang tunggu, karena pesawat berangkat tepat pada waktunya.

Bandara Balikpapan tadinya disebut dengan nama Bandara Sepinggan, namun kemudian diganti menjadi Bandara Sultan AM Sulaiman, yang merupakan nama Sultan Kutai Martadipura. AM Sulaiman menjadi mahsyur karena pada masa pemerintahannya kerajaan Kutai menjadi makmur. Kemakmuran datang dari royalti atas ekpolitasi sumberdaya alam oleh Belanda. Konsesi pertama diberikan tahun 1888, kepada JH. Menten untuk membuka pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal. Kemudian JH Menten juga mendapat konsesi untuk membuka sumur minyak yang menumbuhkan kota Sanga Sanga dan Balikpapan.

Tak sampai dua jam, roda pesawat mendarat di bandara SHIA. Beruntung tak perlu mengitari langit Jakarta dua atau tiga kali karena traffic yang padat. Masih ada waktu 2 jam lebih untuk istirahat, merokok dan minum kopi sambil bertemu dengan rekan seperjalanan yang berangkat dari Jakarta.

Announcer mengumumkan agar penumpang menaiki pesawat dan seperti biasa gate yang dicetak di tiket terkadang tidak tepat. Perlahan pesawat meninggalkan tempat parkir menuju landasan pacu. Perlahan berjalan sambil diumumkan pesawat akan terlambat lepas landas karena harus mengantri untuk terbang. Lewat jendela terlihat ada tiga atau empat pesawat berada dalam urutan untuk menunggu giliran terbang.

Hampir tengah malam kaki menjejak di Bandara Hassanudin Makassar. Turun dari tangga pesawat mesti berhimpit di bus untuk menuju ruang kedatangan. Bandara sudah mulai lenggang. Beruntung ada beberapa gerai yang buka 24 jam sehingga bisa menjadi tempat untuk istirahat menunggu penerbangan berikutnya ke Sorong.

DI bandara Hassanudin Makassar sebenarnya ada private cabin yang bisa disewa untuk istirahat sampai dengan 6 jam. Namun istirahat dalam private cabin bisa berbahaya karena bisa terlelap dan nanti tertinggal pesawat. Maka gerai kopi Amerika yang ternama menjadi pilihan untuk beristirahat, menunggu keberangkatan sambil menyeruput segelas Americano Hot dalam gelas besar.

Sekitar jam 03.00 dini hari pesawat membelah dingin udara Sulawesi terbang menuju Papua. Perjalanan kurang lebih 2 jam, dengan selisih satu jam antara WITA dan WIT lewat jendela terlihat matahari sudah menyembul di ufuk kala pesawat mulai memasuki kawasan Indonesia Timur. Sesekali langit memerah, namun kebanyakan berkabut sehingga gugusan pulau kecil di bawah terlihat samar. Sinar mentari yang hangat menyambut kedatangan di Bandara Domine Eduard Osok yang mulai ramai.

Ada waktu sekitar 6 jam di Sorong sebelum berangkat menuju Waisai, Raja Ampat. Karena hari minggu dan masih terlalu pagi susah mencari warung yang buka untuk beristirahat menunggu hingga loket penjualan tiket kapal cepat untuk menyeberang dari Sorong buka. Sopir mobil sewaan mengajak berkeliling Kota Sorong yang masih sepi, melewati tepian kota menelusuri pinggiran pantai yang kerap disebut sebagai tembok. Di malam hari tempat yang disebut tembok akan dipenuhi tenda-tenda penjual makanan dan minuman.

Warung makan ikan bakar menjadi tempat untuk beristirahat. Warung Marinda 2 sebenarnya belum buka, namun pemilik mengijinkan untuk masuk beristirahat dan bersedia menyajikan kopi panas. Warung yang luas dengan alas tikar itu menjadi tempat yang nyaman untuk membaringkan badan. Samar-samar bau ikan bakar mulai mengelus hidung dan jam sudah menunjuk pada angka 11 lebih. Setelah menyantap ikan kakap merah bakar, mobil sewaan juga sudah kembali menjemput maka Pelabuhan Rakyat Sorong menjadi tujuan untuk memasuki wilayah Raja Ampat.

Entah apa artinya Marinda, mungkin singkatan dari Samarinda?. Tapi nanti di Raja Ampat, Marinda adalah singkatan pasangan Bupati dan Wakil Bupati, yaitu Markus Wama dan Indar Arfan. Tulisan Marinda banyak tersebar dimana mana termasuk menjadi nama dari Bandara di Raja Ampat.

Kurang lebih jam 02.00 siang, Bahari Express meniupkan horn-nya sebagai pertanda siap berangkat meninggalkan Pelabuhan Rakyat Sorong. Kapal berjalan pelan menyusuri pinggiran Kota Sorong seakan berpamitan. Tak lama setelah melewati Pelabuhan Samudera Sorong, kapal mulai dipacu mengarungi laut yang mulai bergelombang. Sesekali guncangan amat terasa, namun kursi di ruang VIP yang lega serta pertunjukkan video clip di TV layar lebar membuat perjalanan terasa nyaman.

Perjalanan kurang lebih dua jam untuk mencapai Waisai dari Sorong. Samar pelabuhan Waisai sudah terlihat, tidak banyak berubah. Hujan deras menyambut kedatangan kapal yang merapat di dermaga. Mesti sabar mengantri untuk keluar dari kapal. Setelah kaki menjejak di dermaga beton yang menjorok kelaut, harus segera berlari menuju ruang tunggu yang cukup jauh agar badan tidak basah diguyur hujan.

Dari emperan ruang tunggu, terlihat ada perbedaan dibanding 3 tahun lalu. Waisai mulai banyak dihuni mobil, mobil sewaan mulai berderet di tempat parkir menunggu calon penyewa yang enggan naik ojek untuk menuju tengah kota Waisai. Karena hujan deras, perjalanan menuju tempat penginapan yang tidak sampai 10 menit harus ditempuh dengan menumpang mobil sewaan itu. Perjalanan singkat itu berongkos antara 100 – 150 ribu rupiah.

Penginapan Najwa Indah menjadi pilihan untuk menginap melewati hari pertama di Raja Ampat. Penginapan dengan kamar kopel memanjang dua deret berhadapan itu cukup nyaman. Ada ruang tamu, kamar cukup luas, kamar mandi dengan shower dan dapur. Ada satu perangkat PC dengan modem namun koneksi internetnya sangat lelet.

Setelah membersihkan badan, perjalanan untuk mulai menikmati Raja Ampat segera bermula. Dengan jalan kaki tak lama pusat keramaian di Waisai bisa dicapai, pasar dan pantai WTC. Untuk menyongsong Sail Raja Ampat maka pasar dipindah, namun sore itu masih ada pedagang yang tersisa. Ibu-ibu yang duduk menjaga lapak sirih pinang selalu menjadi pemandangan favorit. Dan kemudian di sisi kiri pantai WTC dekat muara sungai, berderet penjual ikan yang mengelar aneka bentuk ikan tangkapan yang menarik untuk dilihat.

Dulu saya mengira, WTC adalah singkatan dari Waisai Tourism Centre, namun duga-duga saya itu ternyata salah. WTC ternyata kependekan dari Waisai Torang Cintai. Dan sore itu WTC terasa berantakan karena masih dibenahi untuk menyambut Sail Raja Ampat. Tugu berhias Manta yang ada di pinggir pantai sudah lenyap entah akan diganti apa. Tak banyak yang bisa dilihat karena material bertebaran disana-sini dan ada beberapa pekerja masih sibuk meski hari sudah mulai gelap. Ada pemandangan berbeda, di pintu masuk depan kini dihiasi dengan patung besar lumba-lumba di sisi kanan dan kiri.

Malam hari tak ada yang lebih nikmat selain menyantap ikan bakar. Warung Ayu yang letaknya tak jauh dari Masjid Raya yang lampu-lampunya warna-warni menjadi pilihan. Warung yang 3 tahun lalu masih berdinding kayu itu kini sudah bisa membangun ruang makan beton dengan lantai keramik. Namun ruang lama masih dipertahankan dan karena ingin bernostalgia maka bangunan lama menjadi pilihan untuk duduk menyantap ikan Kakap bakar yang tercium harum dan terasa manis kala dicecap dilidah.

Menikmati Raja Ampat

Banyak yang menyebutkan bahwa Raja Ampat adalah sepotong surga di tanah Papua. Kabupaten kepulauan hasil pemekaran dari Sorong itu kini menjadi destinasi utama dan impian banyak pelancong. Tapi apa yang sebenarnya bisa dinikmati disana dan bagaimana caranya?.

Pantai. Raja Ampat mempunyai banyak pantai yang indah, panjang dan berpasir putih. Ketika air laut surut atau disebut sebagai meti, lantai karang terasa panjang, landai menuju lautan. Di beberapa tempat, kumpulan karang aneka bentuk yang indah akan bisa dinikmati tanpa harus snorkel atau diving, cukup melangkahkan kaki dengan hati-hati maka kumpulan karang sudah ada di depan mata. Di cekungan air tersisa jika jeli terutama yang didekat kumpulan lamun akan ditemui ikan kecil warna warni. Dari tepian pantai, jika beruntung pada jam-jam tertentu kita bisa menyaksikan lompatan gerombolan Lumba-Lumba melintas.

Snorkel. Untuk menikmati kehidupan bawah air dengan snorkel tak perlu pergi jauh-jauh. Cukup menunggu air laut naik dan kemudian mulai berkeliling, kecipak-kecipuk hingga jarak 100-200 meter dari bibir pantai.

Fish Feeding. Buat yang enggan bersnorkel, duduk-duduk saja di dermaga yang biasanya selalu ada di setiap resort atau kampung. Selain menikmati pemandangan pagi atau sore hari yang indah saat matahari menyembul atau tenggelam, berbekal roti di tangan, ikan bisa dipanggil untuk berkerumun dengan menebar remah roti di sekitar dermaga. Tak perlu waktu lama, ikan aneka bentuk dan warna segera agar berkumpul saling berebut untuk menyambar remah roti. Andai kita duduk di bui-bui, bisa saja kumpulan ikan itu dipegang.

Olah raga air. Di setiap resort atau homestay pasti ada kano dari fiber. Pagi atau sore hari adalah kesempatan yang baik untuk bermain-main kano di pantai. Jangan khawatir tak perlu waktu yang lama untuk menguasai cara berkendara dengan kano. Dengan sedikit keberanian maka jarak 100 sampai 200 meter dari bibir pantai bisa ditempuh sambil menikmati buaian ombang-ambing ombak.

Gugusan Pulau Karang. Raja Ampat menyimpan beberapa kawasan yang mempunyai gugusan pulau-pulau karang kecil nan indah. Yang paling jauh dan konon paling indah adalah Wayag. Namun untuk kesana dengan speed boat dari Waisai diperlukan ongkos sekitar 11 juta, kemudian ada Pianemo yang kerap disebut sebagai Wayag kecil. Dari Waisai bisa ditempuh dengan ongkos sewa speed boat sekitar 7 juta. Kedua tempat ini selain mempunyai spot diving dan snorkel yang indah juga tempat untuk mengambil gambar (video atau foto) yang bisa menghasilkan gambar-gambar dramatis. Di luar tempat itu ada kumpulan pulau karang kecil di Teluk Kabui. Untuk mencapai Teluk Kabui dari Waisai diperlukan ongkos sekitar 3,5 juta. Namun semua ongkos itu bisa disiasati jika kita punya waktu dan jiwa petualang tinggi. Ongkos menjadi jauh lebih murah jika berani pergi kesana dengan menyewa perahu atau long boat dengan resiko perjalanan jauh lebih lambat, diombang ambing ombak dan kemungkinan basah kuyup tersiram cipratan air laut.

Taman Laut. Inilah kekayaan utama Raja Ampat, keanekaragaman karang dan ikan didalam lautan. Spot diving tersebar di seantero Raja Ampat. Ongkos Diving sendiri tidak mahal sekitar 250 ribu per tabung. Namun sekali lagi jika lokasi divingnya jauh maka ongkos transportnyalah yang menjadi mahal. Hanya saja tidak semua wisatawan bisa diving karena untuk menikmati keindahan bawah laut dengan cara menyelam diperlukan lisensi. Tanpa lisensi akan sulit membujuk dive master untuk mengantar dan memandu menikmati keindahan bawah laut Raja Ampat. Di youtube bisa ditemui banyak video bawah laut Raja Ampat dengan ikan Pari atau Manta yang menari-nari.

Gusung Pasir. Jika air surut ada tempat yang disebut pasir timbul, pulau pasir. Tempatnya di depan Mansuar. Menyinggahi Pulau Pasir akan menikmati keindahan tersendiri, di pinggirnya bisa ditemui kumpulan karang yang indah dan ikan-ikan kecil serta biota laut lainnya yang mungkin belum pernah kita lihat. Gusung pasir juga menjadi tempat singgah kumpulan burung laut untuk bermain dan beristirahat serta mencari makanan. Bagi banyak pelancong, pasir timbul menjadi tempat favorit untuk berfoto ria.

Tapi sebenarnya Raja Ampat tidak melulu pantai dan laut juga karang serta biota laut lainnya. Ada keindahan lain yang juga tersembunyi di daratan Raja Ampat. Namun untuk menikmati keindahan itu butuh perjuangan dan sedikit keberuntungan. Dua pulau besar di Kabupaten Raja Ampat yaitu Waigeo dan Batanta menyimpan kekayaan lain dari tanah Papua yaitu Burung Cendrawasih. Cendrawasih Merah adalah burung endemik di Raja Ampat. Jika berada di Pulau Waigeo, tempat dimana Waisai, Ibukota Kabupaten Raja Ampat, Cendrawasih Merah bisa disaksikan di Saporkren, Yenbesser atau Sawingrai. Di bebukita kampung-kampung itu ada beberapa tempat yang mempunyai pepohonan tempat Cendrawasih Merah bermain-main pada jam tertentu.

Waktu paling tepat untuk menyaksikan tarian Cendrawasih jantan adalah pagi dan sore hari. Untuk menyaksikan keindahan Cendrawasih kita perlu diantar oleh pemandu yang sekaligus adalah pemilik lokasi Birds Watching itu. Kita perlu pemandu karena dialah yang menguasai rute bukit yang cukup terjal dan tahu persis di pepohonan mana Cendrawasih akan bermain-main.

Selain burung Cendrawasih masih banyak burung lain yang bisa disaksikan di atas bebukitan, seperti Nuri Putih berjambul kuning dan jenis burung betet lainnya yang berwarna-warni. Pagi hari adalah saat terbaik karena saat kita menelusuri punggun bebukitan kita akan dihibur oleh orkestra riuh kicauan burung. Pada tempat-tempat tertentu di punggung bukit akan tersaji pula pemandangan lautan membentang luas dibawah. Di atas bebukitan juga bisa ditemui anggrek liar juga tanaman lain seperti tumbuhan yang disebut sebagai sarang semut yang biasa dikeringkan dan dijual sebagai obat herbal.

Menyinggahi perkampungan yang terletak di pinggir pantai juga bisa menjadi pilihan lain. Di dermaga kampung biasanya menjadi tempat berkumpul anak-anak, bermain-main, sesekali mereka berlari dari dermaga dan meloncat akrobatik ke dalam lautan. Banyak juga warga berkumpul di dermaga memancing. Jangan khawatir, warga di perkampungan adalah orang-orang yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Jika beruntung di beberapa kampung, ada warga yang membuat ikan asin dari Tenggiri yang berdaging tebal, beberapa juga mengolahnya menjadi kerupuk. Di Pulau Saonek misalnya kita bisa membeli dari warga ikan asin atau kerupuk Tenggiri. Sekilo ikan asin Tenggiri dihargai antara 75-80 ribu rupiah. Sementara kerupuk Tenggiri mentah dijual dengan hitungan per biji, sekitar 1000 hingga 1500 per bijinya.

Untuk yang ingin mencicipi sagu atau mbal bisa juga membeli di warung-warung yang ada di kampung. Makanan kering itu ada yang terbuat dari bahan sagu dan ketela. Cara memakannya adalah dengan mencelupkan di teh atau kuah sayuran. Menikmati sagu atau mbal dengan lauk ikan bakar akan terasa nikmat. Makanan lainnya adalah Papeda, sagu basah yang diberi air panas sehingga menjadi bubur kental seperti lem. Namun tidak banyak tempat yang menjual Papeda. Di Waisai, Papeda bisa dibeli di rumah makan Rama dekat kompleks perkantoran Raja Ampat, atau di sebuah warung dekat Bank BRI sebelum pantai WTC.

Kisah dan cerita tentang Raja Ampat tentu saja bisa diperpanjang hingga berlembar-lembar. Namun untuk apa membaca keindahan lewat berlembar-lembar tulisan. Menabunglah mulai sekarang agar suatu saat bisa menyaksikan keindahannya secara langsung. Atas segala keindahannya, seorang teman bahkan berpesan “Jangan mati dulu sebelum pergi ke Raja Ampat”.

Pondok Wiraguna, 29 Mei 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun