Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kambing Hitam

31 Mei 2014   18:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:53 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau di sebuah kotaterjadi banjir siapa yang salah?.Curah hujan yang tinggi atau lebih kejam lagi got yang mampet karena menjadi tempat favorit untuk membuang sampah. Jawaban seperti itu bukan baru satu dua tahun ini melainkan sudah sejak berpuluh tahun. Pertanyaan saya dimana kaum cerdik pandai yang sekolah entah dengan beasiswa maupun biaya sendiri hingga keluar negeri?. Tidak adakah yang bisa menjawab pertanyaan kenapa terjadi banjir secara meyakinkan.

Persoalannya pasti bukan karena tak ada yang bisa menjawab, melainkan tak ada yang mau menjawab dengan jujur. Sebab soal banjir pasti terkait dengan banyak pelanggaran terutama terkait dengan tata ruang dan peruntukan lahan. Pelanggaran terhadap kedua hal itu terkait dengan kepentingan yang melibatkan banyak uang. Uang yang pasti mengalir ke berbagai pihak yang kebanyakan tidak sah.

Karena pertanyaan soal banjir biasanya hanya gerutuan, omelan di pojok-pojok rumah, maka curah hujan yang tinggi sebagai sebuah kambing hitam menjadi pilihan mudah untuk menjawabnya. Kambing hitam atau menyalahkan yang tidak salah kerap kali menjadi pilihan bagi yang berwenang yang enggan menyelesaikan persoalan.

Menjelang pemilihan presiden selain kampanye hitam, muncul pula banyak kambing hitam. Seseorang mengajak orang lain untuk memilih kandidat tertentu dengan cara mengkambinghitamkan kandidat lainnya. Yang kerap dikambinghitamkan adalah latar belakang privat yang sebenarnya tak berhubungan dengan kedudukannya sebagai kandidat presiden atau wakil presiden.

Konstitusi mengisyaratkan bahwa yang bisa menjadi calon presiden adalah warga negara Indonesia. Aturan lain menyebutkan bahwa kandidat harus diusung oleh partai atau gabungan partai yang mempunyai suara dalam pemilu legislatif minimal 20%. Tak ada aturan bahwa tidak boleh berasal dari etnis, agama, suku ini dan itu.

Sejak kecil barangkali sebagian dari kita pernah dikasih tahu kalau kambing hitam itu mahal harganya. Pun demikian dengan meng-kambinghitam-kan sesuatu. Ada ongkos yang harus dibayar, ongkos mahal itu adalah membuka aib sendiri betapa kebodohan kita tak berbatas dan menjadi lebih mahal lagi karena si pengkambinghitam tak menyadari kebodohannya itu.

Banyak yang menyangka dan percaya kalau calon presiden itu mempersiapkan diri sejak kecil. Sedari anak-anak pingin menjadi presiden dan berusaha membangun diri kearah sana. Maka disembunyikanlah segenap latar belakang yang mungkin akan menganggu perjalanannya untuk menjadi presiden nanti. Tak heran jika kemudian muncul perbincangan soal calon presiden itu ternyata etnisnya ini atau itu, agamanya juga ini atau itu.

Aneh bin ajaib, seolah sang calon presiden itu muncul tiba-tiba, keluar dari batu sehingga tak banyak yang bisa diminta konfirmasi soal perjalanan panjang hidupnya. Padahal ada ribuan orang yang bisa diminta kesaksian mulai dari teman bermain di kampung, teman sekolah, teman kuliah dan tetangga di kampung hingga lain sebagainya.

Tapi begitulah cara kerja kambing hitam, begitu virus itu merasuk dalam diri seseorang maka secara otomatis orang itu bukan hanya menjadi gemar menyalahkan sesuatu yang tidak salah melainkan juga mengalami kebutaan, bukan hanya mata tetapi juga buta nalar. Meskipun berbadan tinggi besar namun otaknya kerdil dan kecil.

Namun menghapus atau membasmi virus kambing hitam bukan soal mudah. Sebab selalu saja ada orang yang rela membutakan diri demi menunjukkan loyalitas, dukungan pada pihak lain yang berseberangan. Mereka tak peduli dianggap tolol bin bodoh, asalkan nanti kepentingan diakomodir oleh yang didukungnya.

Alangkah nistanya pemilu jika kemudian dari pemilu ke pemilu terus membeber kenyataan akan adanya parade kebodohan untuk menopang usaha meraih kemenangan.

Pondok Wiraguna, 1 Juni 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun