“Saya menemukanlebih banyak orang baik daripada yang saya harapkan.Tapi sedikit orang yang adil”.
Seorang penyair kondang dari Inggris, W.H. Andrew melalui kalimat diatas sejatinya secara singkat ingin mengatakan jauh lebih mudah menjadi orang baik ketimbang orang adil. Oleh karena itu wajar jika kemudian kehadiran orang adil begitu dinantikan. Dalam dunia perpolitikan di Indonesia terutama di Jawa dikenal mistis Ratu Adil. Orang yang digambarkan sebagai pemimpin yang mumpuni, yang bisa menyelesaikan segala persoalan bangsa dan warganya.
Kedatangan Ratu Adil ditunggu-tunggu oleh orang Jawa sejak jaman perang Diponegoro, kemudian ketika jaman kemerdekaan tiba, orang juga percaya bahwa Ratu Adil akan datang. Sewaktu presiden Suharto lengser, banyak orang bicara dan mengharap kemunculan Ratu Adil. Nah, yang disebut ratu oleh orang Jawa itu Raja, pemimpin yang setelah masa kemerdekaan setara dengan presiden.
Menjelang pemilu presiden 2014, tidak banyak lagi yang bicara soal Ratu Adil, yang mengemuka disaat-saat menjelang pencalonan justru sebutan ‘Petruk Dadi Ratu’. Ini semacam sinisme terhadap seseorang yang dianggap tidak layak untuk menjadi calon presiden. Petruk adalah salah satu punakawan, pembantu dari raja. Orang biasa dan kemudian menjadi Raja bakal dianggap ‘kere munggah bale’, orang miskin tidur-tiduran di tempat tidur raja.
Walau belum memasuki masa kampanye, para capres dan cawapres yang sudah mendaftar ke KPU beserta tim, supporter, simpatisan, relawan dan apalah sebutannya telah melakukan kampanye. Dan dalam mengkampanyekan sang calon terasa bahwa konsepsi Ratu Adil masih menyelimuti benak. Sang calon dijual seolah-olah jika terpilih menjadi presiden sontak bisa menyelesaikan segenap persoalan. Keadaan akan berubah total. Dari miskin menjadi kaya, dari tertindas menjadi bebas, dari negara antek menjadi negara tuan. Semua yang diangan-angankan oleh bangsa ini terwujud dalam sekejap, sim salabim seperti presiden itu tukang sihir saja.
Memang tidak ada yang secara ekplisit bicara soal Ratu Adil, kebanyakan justru bicara soal Ratu yang Gagah Perkasa, Ksatria, Tegas, Sederhana dan seterusnya. Padahal jujur saja kita sebenarnya tak butuh pemimpin yang gagah perkasa, toh kita tidak atau tak akan berperang atau ikut idol-idol-an. Pemimpin yang adil yang sebenarnya kita butuhkan. Adil dalam bentuk lain adalah pemimpin yang sejak awal jujur, jujur pada dirinya dan jujur pada orang lain.
Nampaknya kejujuran menjelang pemilu presiden 2014 menjadi persoalan. Benarkah bergabungnya partai-partai menjadi koalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menyatukan hati, visi dan misi membangun Indonesia?. Atau agar bisa tetap berada dalam orbit kekuasaan yang kemudian tetap memungkinkan partainya berkembang untuk menunggu giliran menang dalam pemilu berikutnya?.
Dalam perbincangan soal latar belakang, track records, catatan masa lalu para kandidat cerseliweran juga nuansa ketidakjujuran. Ada fakta-fakta yang disembunyikan, namun ada juga fakta-fakta baru yang diciptakan sehingga menjadi sebuah fitnah. Pengkaburan atas kejadian yang terjadi puluhan tahun lalu terus dilakukan. Padahal semua peristiwa itu banyak yang mencatatnya dan masih banyak pula saksi mata, orang yang tahu persis atas semua kejadian itu.
Jangan-jangan sepinya perbincangan soal Ratu Adil, menjadi pertanda tipisnya harapan masyarakat akan munculnya sosok pemimpin yang adil. Atau pada sisi lain berarti masyarakat telah menjadi semakin dewasa dan memahami bahwa keadilan adalah sebuah proses yang mesti diperjuangkan bersama dan tidak tergantung pada sosok tertentu.
Entah mana yang benar, namun saya yakin bahwa kita semua sepakat kalau kita masih butuh pemimpin yang adil.
Pondok Wiraguna, 31 Mei 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H