Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suhu Politik, Panas-panas Tahi Ayam

2 Juni 2014   15:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua puluhtahun lalu, kalimatdunia semakin panas atau panas membara barangkali lebih cocok untuk judul film. Film yang dibintangi oleh artis panas macamEnni Beatrix, Eva Arnaz, Lina Budiarti dan seterusnya. Namunsepuluh tahun terakhir ini istilah dunia semakin panas lebih dikaitkan dengan fenomena efek rumah kaca. Yang mengakibatkan pemanasan global, salah satu bukti nyata adalah semakin banyaknya gunung es abadi di daerah kutub meleleh sehingga menyebabkan naiknya permukaan air laut.

Pemerintah di berbagai negara berlomba-lomba menciptakan strategi mitigasi untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. Juga dibuat aneka skema untuk menahan laju pengrusakan hutan dan lahan yang merupakan penyumbang utama pelepasan karbon ke udara. Negara-negara besar dan kaya namun tak mempunyai ruang atau kawasan untuk menyimpan karbon menyokong negara-negara miskin (uang) untuk mempertahankan ruang atau kawasan penyimpan karbon. Muncullah istilah dagang karbon lewat skema REDD.

Beberapa bulan yang lalu telah didirikan BP REDD, sebuah badan kuasi negara yang akan mengelola semua uang hasil perdagangan karbon untuk kemudian disalurkan dalam berbagai bentuk program yang ditujukan untuk mengurangi pelepasan karbon di berbagai kawasan. Namun tak banyak yang tahu soal badan ini lantaran isu pemanasan global kalah panas dengan suhu politik menjelang pemilu legislatif dan presiden 2014.

Pada pemilu legislatif suhu politik tidak begitu panas karena tingkat persaingan terdistribusi. Situasi agak memanas justru terjadi pada saat rekapitulasi suara mulai dari tingkat PPS, PPK, Kab/Kota hingga perhitungan nasional. Namun masyarakat tak terlalu terpengaruh, keributan hanya terjadi diantara segelintir peserta pemilu yang merasa suaranya hilang, dicaplok oleh sesamanya.

Situasi berubah ketika menyambut pemilu presiden. Begitu terbentuk koalisi untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mengerucut dalam dua blok segera saja ‘genderang perang’ ditabuh. Masing-masing blok mulai melontarkan serangan kepada blok sebelahnya. Sahut menyahut dan mulai dibumbui dengan aksi tertentu, seperti penyerangan pada kelompok pendukung, pembakaran posko dan lain sebagainya.

Mereka yang tadinya agak pendiam, tiba-tiba saja doyan berkicau bahkan terkadang merancau dengan pernyataan-pernyataan yang membuat situasi semakin keruh. Serangan tidak hanya ditujukan kepada masing-masing calon melainkan juga kepada partai pendukung serta sosok-sosok lain yang secara tegas mendeklarasikan diri sebagai pendukung calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Dunia maya menjadi pilihan untuk melakukan pertempuran. Bukan hanya melalui tulisan melainkan juga otak-atik gambar dan pernyataan. Sebagian asli namun kebanyakan palsu. Namun saking banyaknya kabar yang berseliweran maka sulit untuk melakukan konfirmasi satu per satu.

Muncul istilah cyber troops atau cyber army, pasukan atau tentara yang bersenjata account sosial media. Mereka terus memproduksi cerita dan wacana yang secara konsisten dilempar ke jejaring sosial media, untuk menimbulkan efek pusaran kisah yang terus membesar.

Timeline atau linimassa di twitter dipenuhi dengan kicauan tentang calon presiden dan wakil presiden, juga polah dan tingkah dari tim pendukung masing-masing pasangan. Semua berebut untuk menjadi yang terpercaya, walau banyak kicauan hanya karangan belaka atau mengabung-ngabungkan penggalan fakta menjadi fakta baru yang bisa saja membunuh karakter dari mereka yang diserangnya.

Tapi tenanglah, panas suhu politik itu ibarat panas-panas tahi ayam, tidak lama bakalan mendingin begitu dilayar televisi muncul running text hasil quick count. Jadi tak perlu mengeluh kalau selama sebulan kedepan, semua berita terasa membosankan. Hitung-hitung itu sebagai bahan ujian untuk mempertebal rasa sabar, apalagi pemilu beririsan dengan bulan puasa. Dan segera setelah suhu politik mulai reda maka kembali kita mesti berpikir benar tentang pemanasan global.

Pondok Wiraguna, 2 Juni 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun